Laman

Sabtu, 19 Januari 2013

Lontara Panre Lopi (Cara Membuat Perahu)

PANRE LOPI
------------------------------------------------------------------------------


Naia suke’na lopie, patujue. Nakko, tasuke’ lampe’na, kalebiseangnge, rekko pitug’se. Seragi, rasiliweng pannyambunna. Naia Panyambungnge, ritaroiwi, malappa riolo mau seuamua, jiri, passauang. Naia ri munri naia sakka.na, kale biseangnge, sijakka. Inaro riaseng paribiseangngi alena.

Naia babana lopie, makkedua reppana rikekeng, mpali-wali. Naia lampena seppuloi dua reppana, ri warekkeng, matoi, wali-wali. Narekko sireppai, malatopa ale, Sakka’na babanna, aseratoisa reppana lampe’na. Malatopaale.

Aja mupattujuiwisangkilanna. Pannyambung papengnge, pannyambung kale biseangnge, aja mupattujui bango, bango sompung papengnge, sompung lunase, napasuga Narekko engka lopi-lopi, aja muparisaliwengngi. Parilaleng lopiwi, narilaleng kurung, namariawa, silasa narapi’e uwae. Rekko de’lise’na, teasa rekko tennarapi’i uwae lopielopie.

Narekko engka bakkulinna, malampe, aja’na muali. Narekko engka pasu, rirapekkengnge, aja mualai.

Narekko engka pasu, ripattawa duanna, tampukue, napapettogi, nalunasattogi, aja muali.

Narekko engka, pasu natettu lenra aja mualai. Narekko engka pasu ritujunnae tudang, pong lopie narilaleng, aja mualai. Tettaroko risaliwengngi. Narekko engka pasu, natettiki barateng popo rilalettogirisaliwettogi, aja mualai.

Narekko engka pasu, ripa’marunna riolo, naegkato antre tampelu, rimunri talokogi, madecengngi.

Narekko engka pa’marung, massebo matteru, ripannyambungnge, madecengngi. Narekko engka penyambung, napada reppa, nasaipa, reppa’na madecengngi. Narekko engka pasu, rikerokang natoppo’ tataripangnge. Rise’denagi, narekko rire’dui posi’na nakenai, uae madecengngngi. Narekko engka pasu riwawo, galageng, dua risewalie, naseua, risewalie, madecengngi. Narikero kattogi, nariolo kerokattogi, narimunri kerokattogi, ia riaseng La Tepe De Apinna.

Narekko engka papeng ma’deppa, narikerokattogi, narimunri kerokattogi, nariolo kerokattogi, majai.

Nareko engka lopi, massesbo papeng lemma’na . narikairi, narilaleng kurung, madecengngngi. Iana riaseng La Pa’berrung. Padamotisa, rekko ilaoi, lopi, rekko ilaoi. Mabbola, gaukenna, essona, rebana ajue. Naia rialae kale biseang, talai pincinna. Narekko ale’ta ilao, naia lebbina, ritaroiriwawona aliri tengangae.

Seutopi, rekkua llaoi’ mallopi, tasuke’i, lampenna rilaleng bebbo. Tainappa leppe duai. Ia natuju poncinna, lekkong duanna, Madecengngi.

Semoga sebagian isi lontara Panre Lopi ( Lontarak tata Cara Pembuatan Perahu ) ini bermamfaat bagi kita semua sebagai kebanggan akan nilai-nilai sejarah leluhur.

Rumah Bugis

Rumah BUGIS
( Strata Sosialnya )
-------------------------------------------------------------------------

Menurut adat istiadat yang berlaku pada suku bugis, strata sosial orang dapat dilihat dari atap rumahnya. Pada atap rumah suku bugis berbentuk prisma, terdapat berbagai yang disebut dengan timpa’ laja. Berbagai model tutup bubungan inilah yang mewujudkan perbedaan strata sosial masyarakatnya.

Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Saoraja raja, yang terdiri dari dua kata yaitu :sao berarti, gelar rumah raja dan raja berarti : besar besar, atau raja, penguasa. Jadi saoraja adalah rumah raja (penguasa). Yang ditempati oleh raja dan keturunannya atau kaum bangsawan. Sedangkan bala, adalah gelar rumah yang ditempati oleh orang maradeka atau orang biasa.

Bila dilihat darisegi bangsawannya, kedua jenis rumah (tempat tinggal) ini, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada status penghuninya dan ukuran rumahnya.

Masalah rumah bugis serta yang bersangkut paut dengan rumah menurut kepercayaan / adat bugis. Dari ketaerangan La Ceppaga seorang Panrita Bola (70 – th) Alamat kampung Garessi Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kab. Barru. Dikutip dari Disst. Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid SH.
-------------------------------------------------------------------------

Bentuk Rumah Bugis


Bentuk rumah bugis : Persegi Empat
Kerangka Rumah bugis : (gambar sebelah)
Untuk mendirikan rumah selalu menggunakan dua arah sebagai arah yaitu timur dan barat.
Kalau rumah menghadap ke timur, maka letaknya :rumah terdiri dari : 4 tiang ke samping (dari kiri ke kanan). No. 1-2-3-4. dan 4 tiang ke belakang (dari depan ke belakang). No. I-II-IIIIV
Tiang 1 = I adalah tiang tempat bersadarnya tangga yang mempunyai sifat laki-laki karena tangga adalah tempat lalu lintas mencari dan membawa rezeki darisang pria (Kepala Rumah Tangga) untuk sang wanita (Ibu rumah tangga).
Tiang II+2 adalah tiang pusat yang mempunyai sifat perempuan untuk menyimpan dan mempergunakan rezeki/hasil yang diperoleh sang kepala rumah tangga. Tiang II – 2 bila hanya terbatas pada lantai, maka tiang III – 2 menggantikan fungsi fosil bola atau tiang pusat (pusar rumah).

Menurut kepercayaan orang bugis, mendirikan rumah adalah bagaikan menciptakan hidup baru bagi pria dan wanita, justru karena rumah itu rumah diklassifikasikan sebagai manusia.

Bagaikan kehidupan sebagai pria dan wanita yaitu :
Tiang I – 1 = tempat bersandarnya tangga diumpakan pria. Tiang II – 2 atau III – 2 tiang pusat (pusar rumah) diumpakan wanita.

Dalam mendirikan rumah yang membujur ke timur diumpamakan rumah itu sebagai manusia berbaring membujur ke timur maka urutan tiang-tiangnya adalah:

I – 1, 1 – 2, 1 – 3, 1 – 4.
II – 1, II – 2, II – 3, II – 4.
III – 1, III – 2, III – 3, III – 4.
  1. Tiang I – 1 difiksikan sebagai kepala manusia dan inilah yang dijadikan sandaran tangga, karna fungsi kepala sebagai manusia itu diterapkan kepada rumah tersebut, menjadi fungsi tempat sandaran rumah. Tangga itulah tempat lalu lintas sang pria mencari dan membawa rezeki kepada wanita. (diumpamakan pula sebagai bagian kepala/mulut tempat masuknya makanan ke perut.
  2. Tiang II – 1 adalah masih merupakan bagian dari kepala, sedangkan tiang II – 2 atau III – 2 pusat rumah (fosi’ bola).
Pusat manusia adalah bagian perut yang menyimpan makan untuk hidupnya. Sedang rumah diterapkan sebagai tempat menyimpan hasil/rezeki yang diperoleh oleh sang pria. Setelah kita mengetahuifungsi kedua tiang tersebut maka untuk mendirikan rumah maka kedua tiang inilah yang terlebih dahulu dipilih dan diteliti mutu dan sifat – sifatnya baiknya. Sifat baik dari tiang tersebut dilihat dari pusar (pangkal tangkai yang disebut pasu).
  1. Kalau Tiang itu bulat maka empat tiang harus diperiksa yaitu Pada tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 atau III – 2 tidak boleh ada pusar yang berhadapan antara tiang I – 1 dan tiang II – 2 dan tiang II – 1 dengan tiang II – 2 atau II – 2.
  2. Kalau tiang tiu persegi empat dan tiang II – 2 tidak melewati lantai maka hanya tiga tiang yang harus diperiksa yaitu tiang I – 1, dan tiang I – 2, dan tiang II – 1, tidak boleh ada pusar yang berhadapan antar ketiga tiang tersebut.
ad. a dan ad. b semuanya diperiksa mulai pada arateng sampai pada padongkot. 
Lantai yang terdapat diantara tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 adalah lantai yang suci, yaitu tempat pertama – tama harus ditempati kepala dan ibu rumah tangga bermalam semalam atau tiga malam bila rumah itu mula ditempati dan setelah itu barulah pindah ke tempat tidurnya yang telah ditentukan khusus baginya, yaitu ruang yang ke II dari depan (Lontang Tengngae).

Sedang setiap orang yang meninggal dalam rumah tersebut harus ditempatkan pada lantai tersebut (lantai suci). 

Setelah tiang untuk sandaran tangga dan tiang untuk pusat rumah telah ditentukan, barulah tiang-tiang dan perkakas rumah lainnya disiapkan.
-------------------------------------------------------------------------

Tata Cara Mendirikan Rumah

  1. Melubang semua tiang-tiang dan melicinkannya (mappa’ dan makkattang). Kalau tiang – tiang itu akan dilubangi dan dilicinkan maka yang pertama – tama yang harus dikerjakan ialah tiang sandaran tangga dan tiang pusar rumah setelah itu barulah alat – alat lainnya yang dikerjakan. 
  2. Mendirikan rumah. Dalam mendirikan rumah yang pertama-tama didirikan ialah tiang dasar atau pusar rumah barulah tiang tempat sandaran tangga yang menyusul tiang – tiang lainnya. Untuk mendirikan rumah menurut kepercayaan orang bugis, kedua tiang ini mempunyai fungsi  yang ketat dan oleh karena itu di bawah tiang tersebut disimpan benda-benda sebagai berikut :
  • a. Kaluku (kelapa)
  • b. Golla (gula)
  • c. Aju Cenning (kayu manis)
  • d. Ade Cenning (adas manis)
  • e. Buah Pala
ad a, b, dan c diharapkan agar kehidupan rumah tangga selalu rukun dan bahagia dan murah rezeki.
ad. d, diharapkan agar setiap anggota rumah tangga menaati aturan-aturan adat yang berlaku dalam rumah tangga itu sendiri.
-------------------------------------------------------------------------

Menempati Rumah Baru (Menre Bola Baru)

1. Kepala dan Ibu rumah tangga bila menempatirumah baru, harus membawa ayam yaitu : Kepala rumah tangga membawa ayam betina. Ibu rumah tangga membawa ayam jantan. Setelah kepala dan ibu rumah tangga sampai diatas rumah kedua ayam tersebut dilepaskan dan tidak boleh dipotong, karena dianggap sebagai ayam penjaga rumah. 

Menurut kepercayaan orang Bugis, membawa ayam berarti kehidupan dan penghidupannya selalu dalam keadaan baik dan tentram, karena dalam istilah Bugis ayam adalah “Manu” diterapkan dalam kehidupan adalah manuanu mutoi atuwotuwongenna. Artinya baik-baik.

Didalam menempatirumah baru Kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati tempat yang sucisatu malam, lalu pindah ke tempat yang telah disediakan yaitu pada Lontang Tengga (ruang tengah).

2. Sebelum kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempatirumah baru tersebut, terlebih dahulu ditempatkan buah-buahan yaitu :
  • 1. Kelapa bertandan (Kaluku mattunrung) tua dan mudah.
  • 2. Pisang bertandang (OttiMattunrung) yang tua.
  • 3. Nangka yang tua
  • 4. Nenas yang tua
  • 5. Tebu
  • 6. Dan lain-lain yang manis-manis.
ad. 2. Dengan menghubungkan buah-buahan lainnya, dicita-citakan agar kehidupan dan penghidupan rumah tangga itu baik-baik dan bahagia. Anasa- cita - cita terkabul. (rifominasai).

3. Setelah upacar menempatirumah baru berlangsung, disediakanlah makanan untuk para tamu-tamu dan bahkan seisirumah, terutamah makanan yang menurut keper-cayaan orangorang bugis membawa penga-ruh dalam kehidupan dan penghidupan dalam rumah tangga itu, antara lain :
  • Lana-lana (bedda’), kue ini adalah tepung mentah yang dicampur dengan kelapa dan gula merah. Lana-lana artinya “Mas-agena” (Longgar) = berkecukupan.
  • Jompo-jompo dan Onde-onde. Kue ini dibuat dari tepung ketan, bentuknya bundar, isinya gula merah. Khusus onde-onde cara memasaknya ialah dengan memasukkannya kedalam air yang se-dang mendidih dan sebelum masak onde-onde tersebut muncul terapung di atas air. Menurut kepercayaan orang-orang Bugis, bahwa generasi di masa mendatang memper-oleh kehidupan dan penghidupan yang baik dan bahagia.
Mompo – Timbul – Muncul. Upacara menempatirumah baru kadang-kadang berlangsung selama 3 sampai 7 hari berturut-turut, yang dikunjungi oleh segenap famili, bahkan segenap penduduk dalam kampung tersebut.
-------------------------------------------------------------------------

Macam-macam Rumah Bugis dahulu kala
  1. Salassa’ atau Saoraja, Salassa’ hanya ditempati oleh arung (raja) yang memimpin pemerintahan dan lazim juga disebut Saoraja. Saoraja dapat pula ditempati oleh Bangsawan dan/atau keturunan raja yang terdekat.
  2. Salassa Baringeng (lantainya rata), Salassa Baringeng (lantainya rata) yang ditempati oleh bangsawan yang disebut Anak Cera Ciceng.
  3. Rumah tiga petak (lantainya bertingkat) memakai tamping tassoddo’. Rumah tiga petak (lantai bertingkat) yang ditempati oleh mereka yang disebut ata simana (ata yang tidak dapat berpisah dengan raja/bangsawan dan mereka ini berhak menda-pat warisan baik materil maupun inmateril, antara lain kedudukan.
  4. Rumah dua petak, Rumah dua petak (Tellukkaarateng) ditempati oleh rakyat biasa termasuk  :
  • Ata mana (hamba yang dibeli atau yang dikalahkan dalam judi atau dalam perang).
  • Ata Passaromase (hamba karena mencari kehidupan, lalu meng-hambakan diri).
Macam-macam Timpa’ Laja’
  1. Salassa’ tidak terbatas banyaknya tingkatan Timpa’ Laja’nya.
  2. Salassa Baringeng, hanya tiga tingkatan timpa’ laja’nya.
  3. Rumah tiga petak, dua tingkatan timpa’ laja’nya.
  4. Rumah rakyat / hamba, tidak bertingkat timpa’laja’nya.
Rumah orang Bugis, baik Saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian, ketiga bagian tersebut adalah ;
  • (1) Awa Bola,
  • (2) Ale Bola, dan
  • (3) Rakkeang.
Awa Bola adalah kolom rumah yang terletak paa bagian bawah, antara lantai dan tanah.
Ale Bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding rumah, terletak antara lantai dan loteng rumah.

Rakkeang adalah bagian rumah yang paling atas, bagian ini terdiri dari loteng dan atap rumah. Pada Saoraja terdapat Timpa Laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampaisembilan tingkat, seperti dapat kita lihat pada Lontara Panguriseng Abbatirenna Anak Arungnge Ri Soppeng bahwa tingkat Rumah Adat Bugis ialah :
  1. Bocco Timpa’Laja 9 susun
  2. Bocco Timpa’Laja 7 susun
  3. Bocco Timpa’Laja 5 susun
  4. Bocco Timpa’Laja 3 susun
  5. Bocco Timpa’Laja Polos,
Macam Tangga Rumah Bugis.
  1. Safana, untuk alassa atau Saoraja dan salassa baringeng. Lazim terbuat bambu dengan lapisan/dasar bambu beranyam. Safana juga dapat digunakan oleh rakyat biasa, yang membuat rumah tambahan (sarafo) bagi upacara perkawinan. Penganting dianggap sebagairaja sehari.
  2. Tuka, yaitu tangga rumah Ata Simana’ yang mempnyai hubungan darah dengan arung dan atau bangsawan. Disebut Tuka’ karena pemiliknya men-daki darahnya. Bahasa Bugis yang sinonim ialah tuppu, suatu istilah untuk bahagian ade’ (adat, hukum kebiasaan) yang mengatur tentang Hierarchie peraturan ade’.
  3. Addengeng, yang terdiri dari :
  • Addeneng yang mempunyai ibu tangga tiga buah, khusus untuk Pabbicara, pembantu raja, Arung Lili’ dan pejabat-pejabat negeri di luar golongan bansawan al. Inang tau, Anang, Tomacowa-cowa.
  • Addeneng yang mempunyai ibu tangga dua buag, khusus untuk rakyat biasa dan abadi.
Bentuk rumah Bugis yang lain adalah Bola Sada’ yang berdampingan dua dengan sejajar bahagian depan, bentuk itu disebut Bola Sada’ karena sama besar dan sejajar, rumah ini dipereuntukkan bagi kalangan bangsawan, baik yang mempunyai jabatan negeri maupun tidak.

Dari bentuk macam-macam rumah Bugis itu, beserta timpa’laja serta tangganya membuktikan bahwa dalam masyarakat hukum orang Bugis dahulu terdapat standen sebagai berikut :
  1. Arung (Raja) yang memerintah, yang lazim dikategorikan berdarah murni yang bergelar Datu, termasuk Ana’Mattola (Putra Mahkota).
  2. Anakarung Bangsawan yang ada pertalian darah dengan raja yang diklasifikasikan lagi dalam beberapa bagian.
  3. Mardeka (Jemma Lappa’) termasuk tau Tongeng Karaja, yang masih mempunyai darah bangsawan, tetapi tidak dapat disebut Anakarung lagi, yaitu rakyat biasa yang jumlahnya terbanyak.
  4. Ata (Hamba) abdi yang terdiri dari :
  • Ata Simana’ yaitu hamba yang tidak dapat dipisahkan dengan Raja atau bangsawan, yang dapat saling waris-mewarisi dengan Puangnya (tuannya) baik materil maupun inmateril.
  • Ata Mana’ yaitu hamba yang dibeli(lazim sanaknya sendiri yang menjualnya untuk merampas barang-barang pusaka bersama), atau orang yang dipidana mati tetapi diberi pengampunan, dapat hidup sebagai abdiraja/Bangsawan, atau ditawan dalam peperangan.
  • Ata Passaromase, yaitu hamba yang mengabdikan diri untuk dapat hidup, termasuk orang-orang yang kalah main judi atau berhutang, tetapi tak dapat membayar utangnya (pandeling).
Dalam semua bentuk dan macam rumah Bugis itu dikenal istilah Bola Gennea’ (rumah Sempurna). Terutama dalam hubungan filsafat dan pandangan hidup orang-orang Bugis yang disebut dengan Sulafa’ Eppa (persegi empat). Karena bentuk rumah harus persegi empat yang memiliki empat unsur kesempurnaan. Demikianpun bentuk kampung dahulu kala juga persegi empat. Orang-orang Bugis baru dikatakan sempurna dan lengkap kalau memiliki Sulafa’Eppa (laki-laki bersegi empat). Pribahasa dan Petuah Petitih : 
”Iyyafa muabbaine mubolaifi Sulafa’ Eppa’e” 
berarti barulah engkau kawin kalau memiliki empat segi.

Seorang yang hendak bangun dari tidurnya, menyiapkan dirisebelum bangun, yang disebut mappatefu (melengkapi diri) supaya selamat menghadapi apapun juga. Dunia dan jagat semesta dipandang persegi empat.

Rumah barulah dianggap lengkap kalau tersediah tempat untuk :
  • Tamu, Ialah ruangan bagian depan rumah.
  • Kepala dan ibu rumah tangga, yaitu bagian tengah rumah, dimana terdapat juga posi’ bola lambang wanita dan kemakmuran.
  • Anak-anak dan gadis-gadis dalam rumah tangga itu, bagian belakang.
  • Para abdi (kalau ada), bahagiab belakan juga untuk wanita-wanita. Untuk laki-laki lazim ditempatkan dirumah kecil disaming atau di belakang induk rumah.
Jadi rumah bugis dibagi atas tiga bahagian yaitu :
  • Lontang risaliweng (bahagian depan)
  • Lontang Tengah (bahagian tengah) yang didinding dari bahagian depan.
  • Lontang ri laleng (bahagian dalam atau belakang)
Dalam memeliharah rumah dan rumah tangga, kampung dan negeri dipakai pedoman elompugi’ (nyanyioan Bugis yang mengandung makna yang mendalam sekalisebagai berikut:

Tapalla’-palla’ ri passirinna bolata tata-neng ade’.
Tafallimpo bunga fute.
Tuwo ade’ta mallimpo bunga futeta.
Arti lett. :
Mari kita memagari negara atau rumah kita dengan pagar adat.
Kita semarakkan keharuman seluruh isi negeri atau isirumah kita.
Hidup adat kita, hidup mengaharum mewangi isi negeri atau rumah kita.

Sebagaimana negeri, kampung dan rumah, harus dipagarisecara persegi empat, maka seseorang juga harus memagari dirinya dengan sulafa eppa yakni : Ade’, Rafang, Wari’, dan Tuppu (Adat, Yusrispudensi, Protokol, dan aturan chieracrchi).

Pappaseng (amanah) orang-orang Bugis dahulu terkenal, bahwa barang siapa yang pernah bernaung di pinggir rumah orang lain maka tidak diperbolehkan lagi berhati jahat terhadapnya :

“Rekkua siya furami riyaccinaungi fassiringpolana seuwae tau, tempeddingngiri kira-kira rimaja’e.

Golongan bangsawan yang disebutkan di atas, dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat disebut dengan sapaan, Datue, Bau, Petta, dan Puang. Namun kata puang ini juga diberikan sapaan kepada orang-orang yang dituakan atau dihormatiserta sesama anak bangsawan yang mutlak menyapa kepada yang tua dengan kata Puang. Dan kata Daeng digunakan bagi yang bersatatus Tomadeceng, dalam menyapa sesamanya.

Inilah salah satu aspek budaya bagi masyarakat Bugis pada umumnya dan khususnya di Baringeng ini yang kemudian menjelma dalam system hubungan social dalam bentuk stratifikasi. Ia tumbuh dan berkembang hingga saat inisebagai interaksisimbolik alam kehidupan masyarakat, sebagaimana masyarakat lainnya di berbagai golongan etnis di alam raya ini khususnya suku Bugis.

Seperti yang telah dipaparkan di muka bahwa penduduk yang mendiamiBaringeng ini adalah 100% orang Bugis, maka dalam pergaulan sehari-hari mereka mernggunakan Bahasa Bugis.

Demikian pula aspek kehidupan social lainnya dalam pergaulan sehari-hari di kalangan masyarakat Baringeng, pada umumnya warga yang berusia muda sangat menghormati orangorang tua. Seperti misalnya dalam pergaulan, bila seorang anak yang sedang bercakap dengan orang yang seusia ayah atau ibunya, maka si anak tersebut akan selalu mengiringi ucapannyaucapannya dengan kalimat atau ungkapan kata sesuai dengan status sosialnya, atau kata Puang, yaitu suatu ungkapan penghormatan yang biasa ditujukan kepaa golongan bangsawan.

Demikian pula dalam penggunaan kata ganti yaitu :
  • Ada Cenga, yaitu untkaspan kata yang ditujukan kepada raja atau anak Bangsawan, atau orang yang status social lebih tinggi dari kita, seperti kata “Anutta Puang, Alen Petta Puang”.
  • Ada Makkarateng, artinya kata-kata yang diperuntukkan kepada yang sama derajatnya contoh kata “Idi’, anutta pada idi” kata pada idi ini tidak boleh kita katakana apabila kita berbincang dengan seorang raja atau bangsawan.
  • Ada Cuku’,artinya ucapan - ucapan yang diungkapkan raja, anak bangsawan kepada yang dibawahnya, seperti “iko, anummu”.
Penempatan ketiga kata ganti inilah biasa menjadi ukuran bagi masyarakat Bugis dalam arti “Misseng Bettuang” dan menjadi pengukuran dan penilaian orang/masyarakat.

Kehidupan social masyarakat yang masih nampak hingga kini di Baringeng ini yang masih nyata dan menonjol, ialah semangat kerja sama secara gorong royong, sebagai sosialisasi kebersamaan dalam bentuk kerja secara gotong royong, seperti ketika terjadi atau adanya warga yang ditimpa musibah kematian, perkawinan, khitanan, mendirikan rumah baru, kegiatan-kegiataan keagamaan, serta menanam padi, dan sebagainya. Sifat gotong royong ini disebut ”Sibalireso atau Sibali Peri” yang bermakna sama-sama bekerja dan sama-sama menanggung resiko untuk kemaslahatan bersama.

Dalam kehidupan budaya, nampaknya masyarakat yang mendiamiBaringeng ini tidak mempunyai perbedaan dengan kehidupan budaya pada kerajaan kecil lainnya yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Soppeng pada khususnya dan pada daerah Bugis pada umumnya.

Hal itu dapat dimengerti dan dipahami bahwa Baringeng ini adalah bekas daerah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Petta Baringeng. Namun yang menjadi kajian dalam penulisan dan penelitian ini adalah H. Andi Mappa Petta Baringeng.

Sebagaimana Baringeng ini mengenl berbagai macam seni budaya tradisional, seperti : seni tari, senisastra dn seni musik. Seni tari yang sering dilakukan ialah Tari Padduppa artinya tarian yang dilakukan pada saat penjemputan tamu dikala ada pengantin atau perayaan atau menjemput tamu, yang datang pada acara itu. Senisastra yang merupakan bagian tak terpisahkan dariseluruh rangkaian kegiatan komunikasi antara sesama baik dalam berkomunikasi menyampaikan maksud maupun dalam berkomunikasi dalam pembicaraan nasihat atau petua-petua leluhur, hal ini dimaksudkan adalah kata-kata “Galigo” kata sindiran yang bermakna.

Biasanya bentuk-bentuk “Galigo” dari Bahasa Lontara Bugis ini didengar pada saat ada peminanan / pelamaran, pesta perkawinan serta penerimaan tamu. Bukan hanya itu tap semua dapat dilakukan diucapkan dalam kehidupan berkomunikasi dengan sesamanya. Salah satu ucapan kata Galigo dikala kita menerima tamu ialah :

“Topole enre’ni’ mairi bola, majeppu pole-inittu bola malappa, punnae bola massagena. talesso tatudang tejjali tettappere banna mase-mase”,

Makna yang terkandung di dalam ungkapan kata Galigo ini ialah Tuan rumah mengundang orang yang datang (tamunya) an menyampaikan kerelaannya menerima tamunya, kemudian merendahkan diri tidak punya apa-apa, namun yang ada adalah keakraban antara kita. 

Jumat, 18 Januari 2013

Perkawinan Adat Bugis



Pendahuluan

Masyarakat kabupaten Bone, sebagaimana masyarakat kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun penduduk Kabupaten Bone mayoritas memeluk agama Islam, namun di kota Watampone juga ada gereja dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya.

Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling hormat-menghormati dan menghargaisatu dengan yang lainnya. Disamping itu, peran pemuka agama terutama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan, bahkan bagi masyarakat Bone, alim ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat.

Pada sektor pendidikan,pemerintah Kabupeten Bone mengarahkan pembangunan pada upaya peningkatan mutu pendidikan, sehingga tercipta peningkatan relevansi pendidikan, serta mempunyai keterkaitan yang sesuai dengan kebutuhan tuntutan. Oleh karena itu, mutu pendidikan selalu ditingkatkan sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermuara kepada meningkatnya daya saing masyarakat Bone. Adapun mengenai pengembangan kebudayaan, pemerintah Kabupaten Bone berupaya untuk membina nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional denganberdasarkan pada penerapan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat Bone.

Salah satu bentuk kepedulian pemerintah Kabupaten Bone dalam bidang kebudayaan adalah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Adat “Saoraja” Bone sebagai mitra pemerintah dalam hal pelestarian nilai-nilai adat dan budaya luhur serta pengembangan kebudayaan. Dalam masyarakat manapun, hubungan kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun fungsinya sebagaistruktur dasar yang akan suatu tatanan masyarakat. Pengetahuan mebdalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka. Aspek tersebut antara lain adalah perkawinan. 

Bagi masyarakat Bugis termasuk di dalamnya Bone, perkawinan berartisiala atau saling mengambilsatu sama lain, jadi perkawianan merupakan ikatan timbla balik. Walaupun mereka beeasal daristrata sosial yang berbeda, setelah mereka menjadisuami istri mereka merupakan mitra. Selain itu, bagi masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja penyatuan dua mempelaisemata, akan tetapi merupakan suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga besar yang biasanya telah memiliki hubngan sebelumnya dengan maksud mendekatkan atau mempereratnya (Mappasideppé mabélaé atau mendekatkan yang sudah jauh).

Pemaknaan lain tentang perkawinan, pada buku Sulésana karya Anwar Ibrahim disinggung tentang siabbinéng dari kata biné yang berarti benih padi, “Mabbiné” artinya menanam padi.

Terdapat kedekatan makna dan kedekatan bunyi dengan kata “bainé” atau istri “mabbainé” atau beristri. Dalam konteks ini kata siabbinéng, mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga. (Ibrahim. A, 2002) Dikalangan masyarakat biasa, perkawinan biasanya berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang sama (patron klien) sehingga mereka telah saling mengenalsatu sama lain. Oleh karena itu, mereka yang berasal dari daerah lain, cenderung menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang telah mereka kenal baik melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain perkawinan adalah cara terbaik untuk menjadi(bukan orang lain/ tenniya tau laing).

Hal ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau bahkan menjodohkan anak mereka sejak kecil. (Pelras . 2006)

Dikalangan masyarakat dikenal ada dua macam perkawinan yaitu perkawinan melalui proses peminangan dan perkawinan yang disebut silariang. Namun yang akan dibahas dalam buku ini adalah perkawinan melalui peminangan. Perkawinan melalui proses peminangan adalah tata cara yang paling baik dan biasanya melalui beberapa tahap. Sejak dahulu sampai kira0kira 30 tahun lalu, tahap demi tahap masih selalu dilakukan, baik oleh golongan bangsawan maupun yang bukan bangsawan. Namun akibat dari perkembangan jaman serta pengaruh-pengaruh asing yang masuk maka terjadi beberapa perubahan, namun karena masyarakat kita sangat kuat dalam memegang teguh adat, maka kebiasaan ini masih terus berlanjut walaupun disana sini telah disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Dan pelaksanaannya pun telah mengalami beberapa perubahan tanpa meninggalkan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam semua tahapan upacara. (Sapada AN, 1985).
---------------------------------------------------------------

Pandangan Islam Terhadap Perkawinan

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah perkawinan atau pernikahan. Begitu pentingnya ajaran tentang perkawinan tersebut sehingga dalam Al-Quran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai perkawinan. Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan mikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya. Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqih, tetapiseluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’I mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”.

Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefiniskannya dengan akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang perempuan selama tidak ada halangan syara’. ImamMuhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas Al-Azhar, berpendapat bahwaperbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsipil. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual.

Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu :akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksud Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I Allah SWT dan Rasul-Nya. Tujuan pernikahan sebagaimana disebutkan dalam salah satu ayat dalam Al-Quran adalah (artinya) “Dan di antara tandatanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang…” (Q.S.30:21).

Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masingmasing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.

Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana yang disyaratkan Allah SWT dalam surat Ar-Rum (30) ayat 21 di atas. ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (arrahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana yang damai yang melingkupirumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Darisuasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi(al-mawaddah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para musafir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawaddah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih. 
---------------------------------------------------------------

Pandangan Masyarakat Bugis Terhadap Perkawinan

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena perkawinan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah perkawinan sesungguhnya proses yang melibatkan beban dan tanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung jawab keluarga, kaum kerabat (sompung lolo) bahkan kesaksian dariseluruh masyarakat yang ada di lingkungannya. (Pelras.C,2006) Dipandang darisisi kebudayaan, maka perkawinan merupakan tatanan kehidupan yang mengatur kelakuan manusia.

Selain itu perkawinan juga mengatur hak dan kewajiban serta perlindungannya terhadap hasil-hasil perkawinan yaitu anak-anak, kebutuhan seks (biologis), rasa aman (psikologis), serta kebutuhan sosial ekonomi, dan lai-lain. Namun pada masyarakat Bugis, perkawinan bukan saja merupakan pertautan dua insan laki-laki dan perempuan, namun merupakan juga pertautan antara dua keluarga besar. Ini disebabkan karena orang tua dan kerabat memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam perkawinan anak-anaknya.

Sebagaimana digambarkan oleh H. TH. Chabot dalam bukunya “Verwanschap, stand en sexe in zuid celebes” yang berbunyi “Pilihan pasangan hidup, bukanlah urusan pribadi namun adalah urusan keluarga dan kerabat”. Dengan fungsi ini maka perkawinan haruslah diselenggarakan secara normatif menurut agama dan adat yang berlaku dalam masyarakat setempat dan harus diselenggarakan secara sungguh-sungguh dalam suatu upacara perkawinan. (Sapada AN, 1985) D. Makna Perkawinan Perspektif Gender Dalam masyarakat Bugis termasuk Bone sebagaimana masyarakat lain di bagian dunia lainnya, lelaki dan perempuan mempunyai wilayah aktifitas yang berbeda. Namun pada hakikatnya orang Bugis tidak menganggap perempuan lebih dominan satu sama lain. Hubungan mereka saling melengkapisebagai manifestasi dari perbedaan yang mereka miliki. Perbedaan ini diharapkan dapat saling melengkapi dan bersatu dalam satu ikatan perkawinan.

Pada awal perkawinan biasanya laki-laki tinggal dirumah orang tua istri (mertua) sehingga tidak memberikan ruang bagisuami untuk bertindak semena-mena atau mendominasi sang istri. Sementara ruang dirumah pada hakikatnya telah dibagi berdasarkan gender. Bagian depan menjadi bagian laki-laki dan bafgain belakang menjadi wilayah perempuan. Menurut pepatah Bugis wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak laki-laki adalah “menjulang hingga ke langit” kata bijak tersebut menjelaskan peran laki-laki dan perenpuan dalam kehidupan sehari-hari. Aktiftas laki-laki adalah di luar rumah. Dialah tulang punggung penghasilan keluarga yang bertugas mencari nafkah (sappa laleng atuong).

Sementara perempuan sebagai ibu (indo’ ana’) kewajibannya menjaga anak, menumbuk padi, memasak, menyediakan lauk pauk dan membelanjakan penghasilan suami selaku  pengurus yang bijaksana (pattaro malampé nawa-nawa é). Namun perbedaan tugas di atas bukan menjadi hal yang pokok melainkan saling melengkapi perbedaan itulah yang mendasari kemitraan diantara suami istri dalam saling menopang kepentingan mereka masing-masing (sibali perri) dan saling merepotkan (siporépo). (Pelras C. 2006)
---------------------------------------------------------------

Sistem Kekerabatan

Pada umunya orang Bugis mempunyaisitem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng yang mengikutisistem builateral. Yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadisangat luas disebabkan karena, selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi anggota keluarga dari pihak ayah. Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing maréppé (kerabat dekat) dan siajing mabéla (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing maréppé merupakan kelompok penentu dan pengendali martabat keluarga. Anggota keluarga dekat inilah yang menjadi to masiri’ (orang yang malu) bila anggota keluarga perempuan ri lariang (dibawa lari oleh orang lain), dan mereka itulah yang berkewajiban menghapus siri’ tersebut. Anggota siajing maréppé didasarkan atas dua jalur, yaitu réppé maréppé yaitu keanggotaan yang didasarkan atas hubungan darah, dan siteppang maréppé (sompung lolo) yaitu keanggotaan didasarkan tas hubungan perkawinan.

(Makkulau, 2006) Adapun anggota keluarga yang tergolong réppé maréppé yaitu:
  1. Iyya, Saya (yang bersangkutan)
  2. Indo’ (ibu kandung iyya)
  3. Ambo’ (ayah kandung iyya)
  4. Nene’ (nenek kandung Iyya baik dari pihak ibu maupun dari ayah
  5. Lato’ (kakek kandung Iyya baik dari ibu maupun dari ayah)
  6. Silisureng makkunrai(saudara kandung perempuan Iyya )
  7. Silisureng woroané (saudara laki-laki iyya)
  8. Ana’ (anak kandung iyya)
  9. Anauré (keponakan kandung iyya)
  10. Amauré (paman kandung iyya)
  11. Eppo (cucu kandung iyya)
  12. Inauré / amauré makkunrai(bibi kandung iyya)
Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppang maréppé yaitu :
  1. Baine atau indo’ ‘ana’na (istri iyya)
  2. Matua (ibu ayah/ kandung istri)
  3. Ipa woroané (saudara laki-laki istri iyya)
  4. Ipa makkunrai(saudara kandung perempuan istri iyya)
  5. Manéttu (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya)
  6. Stratifikasi Sosial Lapisan sosial tradisional masyarakat Bone membedakan status menurut kadar ke arung annya (keturunan). 
Ukuran yang digunakan adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu perlu dibedakan dahulu jenis-jenis keturunan yang teradapat di Kabupeten Bone secara umum dibagi atas beberapa golongan, yaitu:
  1. Ana’ mattola: yang berhak mewarisi tahta dan dipersiapkan untuk menjadiraja arung (raja/ratu). Tingkatan ini terbagi atas dua sub golongan yakni: ana’ sengngeng dan ana’rajéng.
  2. Ana’ céra’ siseng/I: anak yang beradarah campuran atas kedua sub di atas yang kawin dengan perempuan biasa.
  3. Ana’ céra’ dua/II: anak hasil perkawinan céra’ siseng dengan perempuan biasa.
  4. Ana’ céra’ tellu/III: anak hasil perkawinan céra’ dua dengan perempuan biasa. Ketiga lapisan cerak ini menduduki golongan bangsawan menengah. Kemudian céra’ tellu ini dengan perempuan biasa akan menghasilkan bangsawan terendah. Ampo cinaga, anakkarung maddara-dara, dan anang.
  5. Tau sama (orang biasa)/tau maradéka (orang bebas): di kalangan ini masih dibedakan atas keturunan leluhirnya yang masih terhitung bangsawan, betapapun rendahnya lapisan dan berapa jauhpun pertautannya (tau tongeng karaja) dan yang benar-benar keturunan orang biasa (tau sama mattanété lampé).
  6. Ata (hamba sahaya): golongan yang hilang kemerdekaannya karena sesuatu ikatan langsung. 
Meskipun penggolongan keturunan tersebut hanya bertahan sampai pada masa kemerdekaan, namun penggolongan keturunan tersebut sekarang ini tidak lagi dianut secara ketat, namun dalam berbagai hal, utamanya dalam kehidupan sosial kadangkala masih dipertanyakan, misalnya dalam hal meminang gadis, maka yang dipertanyakan adalah keturunan.
---------------------------------------------------------------

TATA CARA PERKAWINAN ADAT BONE 

Adapun tahapan dari proses perkawinan adat Bone secara umum dapat dibagi atas tiga tahapan, yaitu tahapan pra nikah, nikah, dan tahapan setelah nikah. Selanjutnya untuk lebih jelasnya pada bagian ini akan dijelaskan tahapan perkawinan secara berturut-turut.

1. Madduta Massuro / Lettu
Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta perkawinan (Mappabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir) maka keluarga nya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki akan diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak, jangan sampai tingkatan pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar. Madduta artinya meminang secara resmi, dahulu kala dilakukan beberapa kali, sampai ada kata sepakat, namun secara umum proses yang ditempuh sebelum meminang adalah sebagai berikut:
1.) mmnumnu Mammanu’-manu Mammanu’-manu’ bermakna seperti burung yang terbang kesana kemari, untuk menyelidiki apakah ada gadis yang berkenan di hati. Langkah pendahuluan ini biasanya ditugaskan kepada seseorang biasanya kepada para paruh baya perempuan, yang akan melakukan kunjungan biasa kepada keluarga perempuan untuk mencari tahu seluk beluknya, namun biasanya proses inisangat tersamar. Mappésé-pésé dilakukan setelah kunjungan pertama tadi (Mammanu’-manu’) yaitu melakukan kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang secara tidak langsung dan sangat halus (“ada orang yang akan mendekati anda………. Sudah adakah yang berbicara dengan anda?…………sudah adakah yang punya?…………… Apakah pintu masih terbuka?….”) agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka atau malu seandainya pendekatan ini tidak membuahkan hasil. Jika keluarga perempuan memberi lampu hijau, kedua pihak kemudian menentukan hari untuk mengajukan lamaran secara resmi(Madduta). Selama proses pelamaran ini berlangsung garis keturunan, status kekerabatan, dan harta calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan uang antaran (Dui ménré) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya perkawinan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya.

2.)Mappettu Ada, Mappettu Ada yang baiasanya juga ditindak lanjuti dengan (mappasierekeng) atau menyimpulkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses sebelumnya. Inisudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga dan kenalan. Pada saat inilah akan dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama mengenai hal-hal yang prinsipil. Ini sangat penting karena kemudian akan diambil kesepakatan atau mufakat bersama, kemudian dikuatkan kembali keputusan tersebut  (mappasierekeng). Pada kesempatan ini diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre’ada atau passio (“pengikat”) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya tebu,  sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka (Panasa) yang mengibaratkan harapan  (minasa); dan lain sebagainya. Apa bila waktu perkawinan akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi passuromita yang diserahkan setelahpembicaraantelah disepakati. Satu lembar bahan waju tokko-Satu lembar sarung sutera ata  ulipa’sabbé, juga disertai dengan ;
  • Satu piring besar nasi ketan (sokko)
  • Satu mangkok besar palopo’(air gula merah yang dimasak dengan santan dan diberi telur ayam secukupnya)
  • Dua sisir pisang raja
  • Biasanya antara pihak perempuan dan laki-laki pada acara mappettu ada ini dilangsungkan dialog. 
Dialog ini biasanya dimulai oleh pihak perempuan sebagai tuan rumah dan dibalas oleh pihak laki-laki.Salah satu contoh dialog hasil wawancara dengan nara sumber sebagai berikut: Pihak perempuan: Alhamdulillahi Rabbil Alamindan selanjutnya……………… Tomalebbikkeng iyya kialebbirié nennia kitanréréangngi  alebbirenna, padamui topapoléi nennia toripoléi. Naiya riolo pappuji nennia bereselleng,  ripatarakkai tanrang asyukkurukeng téenrigangkata riséseé arajanna Puang séuwaé, namuka  éloullé simatanna namérékki kuaromai ajjapa-jappang, apainringeng, kuwaétopa asagénang, natopada engka situju rupa, sipakario-sipakarennu, siwollompolong, natosiraga-raga, rijiji’ tudang pangngadereng ribola atudangenna tomalebbikkeng…………………silise’(nama tuan rumah) Kuwaétopa tenriallupai massalawa nennia mappasalama mannennungeng masse lao ri Nabitta Muhammad SAW, Nabi iyya tirowangekki assalamakeng nennia asalewangeng rilino kuwaétopa riakhérata matti. Insaya Allah. Naimunrinna ritu kupawarei élau addampeng sokkuke lao riolo alebiretta maneng, kupappolo bicara makkéwari mattuppu ade’ pappakaraja, namuka ikkeng mainapawakkang iménasa paddennuang tomalebbikkeng ……………silise’(nama tuan rumah) patallengangi majjajareng, tampub Contoh dialog lain yang berupa elong ugi yang dahulu seringkali dilakukan pada masyarakat Bugis dengan dialog saling bersahut yang didahului oleh pihak tuan rumah.

(+)Tomménré laoki tatudang Tejjali tettapéré Banna masé-masé
(-)Masé-éwomémemmi Lolangeng tekkéwiring Sipupupureng lino
(+)Makkutanawa’ segala Agangngaré biri’ ta Tapocora lolang
(-)Kupocora-cora lolang Uni ma’ tengnga benni Manu parukkuseng
(+)Manuk pékkugi uni Muni malalempenni Paréwe’ sumange
(-)Engkalingai uni’ ku Tulingngi ménasa’ku Ri masagalaé
(+)DécénglalengnakutokkongDécé’topakujokkangMattuppusapana
(-)Kutuppu sapana ta Tudang mabbattampola Mpawa bunga puté
(+)Bunga puté nata’bakka Polesa’ riorennu Lise’ masagala
(-)Engkaka tania suro Polé tania paseng Watang majjajareng
(+)mkutnw sgl Ma’kutanawa sagala Bunga sellé renri’ta Engkaga roppona
(-)Bunga-bunga sellé renring Terropo te’palawa Lappamanengmua
(+)Ambo’ baco indo’ baco Paléngeng pale lima Tanra riorennu
(-)Macinnairo maggalung Galung naranreng sépé Nabiné natakko
(+)Macinna toi méngngala Asé ri tengnga jali Ringgi’ pabbesenna
(-)Mamménasai sagala Ménasa iyamua Sisompung wélareng
(+)Ménasatta tatiwi Kibali rennutoi Ma’tunrung mattakké
(-)Labaco kuéllauwang Tudangeng massibali Pa’dai tengkénné’
(+)Maéloi tapadeppé’ Todongi tepparapi Pa’tapping tudangeng
(-)Déga pasa rilipu’ta Balanca rikampo’ta Talinco mabéla
(+)Engka pasa rilipu’ku Balanca rikampo’ku Nyawami kusappa
(-)Re’kua nyawa tasappa Engkani talolongeng Mattunrung matta’ké
(+)Mamménasawa sagala Tatimpakeng laleng Weddingé kuola
(-)Ujung aju pabbéréta Tataroi pasau Namaraja rumpu
(+)Agana ugau kengngi Pakkadang tepparapi Tabu macenning
(-)Ia bua macenningngé Rikadang-kadang mémeng Inappa maddenne’
(+)Bua nonnokiro ce’de’ Nawadding te’kadapi Yassiturusié
(-)Makkutanawak sagala Ala engkamupaga Laleng tenriola
(+)Kéga gangka pattenretta Tenrek dé natattongkang Nasipobiritta
(-)Tau de’ bua’-bua’na denatiwi bua Mattunrung mattakké
(+)Kéga rupa passiota Sio dé natallu’ ka Sipobiritta
(-)Sio pasompa katinna Makkalu ritaréné Ripancaji rupa

Keterangan :
Tanda (+) Pihak laki-laki
Tanda (-) Pihak perempuan

Pada saat Mappettu ada akan disepakati beberapa perjanjian, diantaranya :
*Sompa artinya maskawin atau mahar sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Besarnya sompa telah ditentukan menurut golongan atau tingkatan derajat gadis. Penggolongan sompa tidaklah selalu sama dalam pengistilahannya. Ada dalam bentuk mata uang “real” dan ada pula dalam bentuk “kati” tetapi dalam buku ini secara umum adalah sebagai berikut:
  • Bangsawan tinggi 88 real
  • Bangsawan menengah 44 real
  • Arung palili 28 real
  • Golongan tau maradeka 20 real
  • Golongan ata (budak) 10 real
Pada akhir abad ke-19 besarnya mas kawin (sompa) ditetapkan berdasarkan status seseorang. Setiap satuam mas kawin disebut kati(mata uang kuno) satu kati senilai dengan 66 ringgit, atau sama dengan 88 real, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang) dan setiap kati akan harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 real dan seekor kerbau yang bernilai 25 real. Sompa bagi kalangan perempuan bangsawan kelas tinggi Sompa bocco’ atau sompa puncak bisa mencapai 14 kati. Sedangkan bagi perempuan bangsawan terendah hanya 1 kati, dan orang baik-baik atau tau deceng setengah kati, dan kalangan baiasa hanya seperempat kati. Sistem perhitungan ini masih berlaku sampai sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia, maka mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda) yang dihadikan satu perhitungan. Namun karena inflasi dan turunnya harga rupaih pada awal 1960 maka jelas sompa ini tidak berlaku lagi. Namun Sompa ini masih sangat penting artinya, khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena hadiahhadiah tambahannya, termasuk di dalamnya hadiah simbolis ;
  • batang tebu,
  • labu,
  • buah,
  • nangka,
  • anyaman-anyaman,
  • dan bermacam-macam kue tradisonal.
*Dui ménré / Dui balanca Dui ménré adalah sejumlah uang yang akan diserahkan oleh pihak laki-laki pasa saat mappettu ada (mappasierekeng). Hal ini biasa dilakukan oleh pihak perempuan untuk mengetahui kerelaan atau kesanggupan berkorban dari pihak laki-laki sebagai perwujudan keinginannya untuk menjadi anggota keluarga. Dui ménré ini akan digunakan oleh pihak perempuan dalam rangka membiayai pesta perkawinannya.

Pada tahun 1975 Susan Millar dalam bukunya Wedding Bugis menunjukkan bahwa besarnya dui ménré berkisar antara Rp. 2.000 sampai dengan Rp. 5000,-. (Pelras. C, 2006) 

Di kondisi kekinian dimana kekuasaan politik tradisionalsemakinmemudar dui ménré semakin lama semakin mengalami kenaikan, hal ini disebabkan karena tidak ada lagi aturan dan pihak pihak yang berwenang menegakkan aturan adat.
  1. Tanra esso akkalabinéngeng, Kalau semua persayaratan ini telah disepakati, kemudian telah dikuatkan (mappasierekeng) maka pinangan telah resmi diterima. Kemudian akan disepakati lagi hari H perkawinan. Penentuan hari H perkawinan (tanra esso akkalabinéneng) atau penentuan saat akad nikah biasanya disesuaikan dengan penanggalan berdasarkan tanggal dan bulan Islam. Setelah mengetahui hari pelaksanaan akad nikah (ménré botting) dengan sendirinya prosesi adat lainnya seperti mappacci, (tudampenni, wenni mappacci) serta marola sudahj diketahui pula. Upacara mappacci, pada malam tudampenni, atau malam pacar baiasanya dilakukan sehari atau beberapa harisebelum hari perkawinan. Sedangkan ma’parola dilakukan sehari atau beberapa harisetelah hari perkawinan dilangsungkan.
  2. Mappaisseng atau memberi kabar, Setelah kegiatan madduta atau peminangan telah selesai dean menghasilkan kesepakatan, maka kedua pihak keluarga calon mempelai akan menyampaikan kabar mengenai perkawinan ini.biasanya yang diberi tahu adalah keluarga yang sangat dekat, tokoh masyarakat yangdituakan, serta tetangga-tetangga dekat berhubung mereka inilah yang akan mengambil peran terhadap kesuksesan semua rangkaian upacara perkawinan ini.
  3. Mattampa/Mappalettu selleng, Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu mappaisseng, dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan. Undangan tertulis ini dilaksanakan kira-kira 10 atau 1 minggu sebelum resepsi perkawinan dilangsungkan. Kegiatan ini disebut juga mappalettu selleng karena diharapkan pihak yang diundang akan merasa dihargai bila para pembawa undangan ini menyampaikan salam dan harapan dari pihak yang mengundang kiranya bersedia datang untuk memberi restu.
  4. Mappatettong sarapo, Baruga Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan disamping kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan baruga adalah bangunan terpisah darirumah yang ditempati bakal pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang disebut wlsuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang disebut lmi “lamming”. Tetapi akhir-akhir ini di Kabupaen Bone sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan dan orang berada.
  5. Mappacci, Tudampenni Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa. 
Sebagaimana yang tertera dalam ungkapan bahasa Bugis yang mengatakan bahwa: Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau’ mabbiasa, tampu’ sennusennuang, ri nia’ akkatta madécéng mammuaréi naiyya nalétéi pammasé Déwata Séuwaé. 

Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah sebagai berikut: Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga: Patarakkai mai bélo tudangeng Naripatudang siapisiata Taué silélé uttu patudangeng Padattudang mappaccisiléo-leo Riwenni tudang mpenni kuaritu Paccingisia datu bélo tudangeng Ripatajang mai bottinngngé Naripattéru cokkong ri lamming lakko ulaweng, Ungkapan ini berarti: Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan disisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas. Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:
  • Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
  • Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri.
  • Di atas bnatal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari. • Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai permakna ménasa atau harapan.
  • Sebuah piring yang berisi wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi).
  • Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagaisuluh penerang, juga diartikan sebagai simbol kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu.
  • Daun pacar atau paccisebagaisimbol dari kebersihan dan kesucian.
Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masayarakat. Pelaksanaan Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. 

Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya. Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis “duakkaséra”. Untuk golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau “duappitu”. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang. Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut: Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai penghormatan.

Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya. Tetapi karena sekarang inisudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok. Sekali-kali indo’ botting menghamburkan wenno kepada calon memepelai atau mereka yang meletakkan daunpacar tadi dapat pula menghamburkan wenno yang disertai dengan doa. Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanjisebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam. Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara. Biasanya acara mappacci ini didahului dengan ritualsebagai berikut:Ripasau Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka diadakan pula persiapan-persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan pengantin (ripasau/mappasau). Biasanya perawatan ini dilakukan sebelum hari pernikahan (3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan waktu hanya dilakukan 1 kalisaja pada saat sebelum kegiatan mappacci). Ripasau atau mappsau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang terlebih dahulu dipersiapkan dengan memasak berbagai macam ramuan yang terdiri dari daun sukun, daun coppéng, daun pandan, rampa para’pulo dan akar-akaran yang harum dalam belanga yang besar. Mulut belanga ditutup dengan batang pisang yang diberi terowongan bambu sepanjang tangga rumah yang disumbat dengan tutup periuk. Uap yang keluar kemudian akan menghangatkan tubuh sampai membuka pori-pori kulit sehingga mengeluarkan keringat dari seluruh tubuh sehingga tubuh menjadi bersih dan segar. Namun sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur yang terdir atas beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akar-akaran yang harum ditambah dengan rempah-rempah. Ramuan ini kemudian dilulurkan ke seluruh permukaan badan. 

Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kalisebelum acara tudampenni atau mappacci. Cemmé passili’, Mappassili’ Disebut juga cemmé tula’ bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar kiranya dijauhkan darisegala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini dilaksanakan di depan pintu rumah dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak masuk ke dalam rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar. 
Tata caranya: Upacara ini biasanya dilaksanakan pasa jam 10.00 (sedang naiknya matahri) dan dilakukan di depan pintu rumah. Calom mempelai perempuan atau laki-laki memakai baju biasa dan sarung yang tidak terlalu lusuh (tua), karena baju ini nantinya akan diserahkan kepada indo’ botting yang melaksanakan cemmé passili’ ini. Calon mempelai duduk di atas kelapa yang masih utuh yang diletakkan di atas sebuah loyang besar, disamping itu diletakkan sebuah ja’jakang yaitu sebuah bakul yang berisi:
  • Satu gantang beras
  • Pesse pelleng (lilin) 2 buah
  • Kelapa yang masih utuh
  • Gula merah
  • Pala (sepasang)
  • Kayu manis
  • Sirih segar
  • Pinang
Beberapa buah Dalam upacara mappassili’ dilakukan kedua lilin atau pesse pelleng harus dinyalakan. Kemudian disiapkan berbagai macam bahan yang akan digunakan sebagai ramuan dan dicampurkan ke dalam air dalam gentong yang terbuat dari tanah liat. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa sumber air yang akan digunakan biasanya berasal dari beberapa sumur bersejarah dan masih dianggap punya kelebihan (keramat) dibanding sumber air biasa. Sumur yang dianggap suci di masyarakat Bone ini ada beberapa diantaranya yaitu:Bubung Manurungé disebut juga bubung Cemma yang terletak di jalan Manurungé (tidak ada lagi)
*Bubung Lassonrong disebut juga bubung suwabeng terletak disekitar jalan Lassonrong sekarang jalan Irian. (tidak ada lagi)*
*Bubung Laccokkong yang treletak disekitar jalan Serigala di lingkungan Laccokkong Kel. Watampone. Bubung Lagaroang yang terletak di Kelurahan Bukaka.
* Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah:
  • Daun sirih simbol harga diri
  • Daun serikaja simbol kekayaan
  • Daun waru simbol kesuburan
  • Daun tebu simbol kenikmatan
  • Daun ta’baliang simbol penangkis bala
  • Bunga cabbéru simbol keceriaan
  • Daun cangadorisimbol penonjolan
  • Maja alosi atau mayang pinang
Kedelapan bahan tersebut dimasukkan ke dalam gentong atau loyang terbuat dari tanah liat sebagaisimbol lekat atau saling melengket yang telah dialasi dengan semacam tikar yang disebut okkong/appereng sebagaisimbol jalinan kebersamaan. Setelah semuanya siap maka dilakukanlah penyiraman pertama yang dilakukan oleh indo’ botting dengan membaca Basmalah kemudian dilanjutkan dengan membaca beberapa doa kiranya Allah SWT senantiasa memberikan berkah –Nya kepada calon mempelai.

Berikut ini lafal doa klasik yang biasa diucapkan oleh indo’ botting :
'' Bismillahi Rahmani Rahim Bismillahi Rahmani Rahim Ulaweng ri Nabi Hélléré. Upaénré ri rpammu. Namaccayya rirupammu. Ri aolomu Nacculé Nabié ri olomu. Ia maneng padammu ripancaji. Ri Puang Allah Taala makkita. Mappuji maneng Barakka’na NabiMuhammad Cayyana Nabi Yusufu cayyamu Musiannennungeng bidadariri Laleng suruga…..dst.

Penyiraman dimulai dengan : 
  • Kepala 3x 
  • Selangkah/bahu kanan 3x. 
  • Bahu kiri 3x, punggung dan 
  • Seluruh badan sebanyak 3x. 
Sesudah Indo’ botting mempersilahkan kepada pinisepuh/ kleuarga lainnya untuk melakukan hal yang sama. Setelah selesai maka air itu pun dipercikkan ke arah luar pintu rumah dengan maksud agar semua yang tidak baik keluar pula melalui pintu. Sesudah cemme passili’ atau mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki maupun perempuan disilakan mandiseperti biasa. 

Calon mempelai perempuan kemudian memakai :
  • Waju tokko warna merah jambu
  • Lipa’sabbé warna hijau dan perhiasan sekedarnya.
Calonmempelaipriabisamemakai:
  • Waju bella dada (warna tidak ditentukan)
  • Lipa’sabbé yang serasi
  • Songko’pamiring
Sesudah acara mappassili’ atau cemmepassili’ selesai maka calon mempelai perempuan mau pun calon mempelai laki-laki didudukkan dilamming untuk mengikuti upacara lainnya. Macceko Macceko berarti mencukur rambur-rambut halus yang ada pada dahi dan di belakang telinga, agar supaya “dadasa” yaitu riasan hitam pada dah yang akan dipakai pada calon mempelai perempuan pada waktu dirias dapat melekat dengan baik. Bagi puteri bangsawan acara macceko ini merupakan acara tersendiri, mereka menggunakan kostum yang sederhana yang terdiri dari : Waju tokko ukuran panjang dengan warna bakko (merah jambu) Lipa’ sabbé warna hijau Perhiasan sederhana sepertisi matayya, bangkara, gelang lola, kalungkote, bungasimboléng, dan pinang goyang. Calon mempelai didudukkan diatas tikar pandan yang bulat dilengkapi dengan alat kebesaran keluarganya yang biasanya terdiri dari: Lellu’ yang dipegang oleh 4,6,8 orang tergantung dari stratifikasi sosial mempelai itu sendiri. Disamping itu pula duduk indo’ pasusu sekuarang-kurangnya 2orang Acara ini dimeriahkan pula dengan iringan gendrang balisumange. Acaramacceko ini hanya diperuntukkan bagi calon mempelai perempuan. Dahulu kala model dadasa ini berbeda antara perempuan yang bangsawan dan perempuan dari kalangan biasa.
---------------------------------------------------------------

Akad Nikah 
(akkalabinengeng)

Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang secara beruntun. Kegiatan yang dimaksud adalah sebagai beriku t:

1.)Mappénré Botting, Merupakan kegiatan mengantar pengantin laki-laki kerumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Didepan pengantin laki-laki ada beberapa laki laki tua berpakaian adat dan mem bawa keris. Kemudian diikuti oleh sepasang remaja yang masing-masing berpakaian pengantin. Lalu diikuti sekelompok bissu yang berpakaian adat pula berjalan sambil menari mengikuti irama gendang. Lalu dibelakangnya terdiri dari dua oranglaki-laki berpakaian tapong yang membawa gendang dangong. Kemudian pengantin laki-laki pada barisan beikutnya dengan diapit oleh dua orang passeppi dan satu balibotting. Pakaian passeppi tidak sama warnanya dengan pakaian pengantin. Untuk lebih jelas nya urutan rombongan dapat diurut sebagai berikut :

  • Pembawa mas kawin atau sompa
  • Pembawa cerek dan alat kebesaran keluarga
  • Paddénréng botting
  • Mempelai laki-laki
  • Balibotting laki-laki
  • Passeppi laki-laki dua orang
  • Pattiwilellu’
  • Pattiwiteddung
  • Indo’ pasusu
  • Saksi-saksi
Adapun pakaian yang dikenakan oleh rombongan pengiring mempelai laki-laki yaitu: Untuk kelompok pembawa sompa Jas biasa
*Lipa’sabbe*
*Songkok hitam* Peralatan : kompu-kompu yang terbua dari tembaga tau perak yang diisi dengan beras 4 liter (1gantang), pala, kayu manis kemiri, gulamerah, dan mas kawin yang telah disepakati dan dibingkus dengan kain putih kemudian diletakkan dalam sarung yang disebut tope warna putih atau kuning untuk golongan bangsawan. Tope ini digantungkan pada leher pembawa sompa. Untuk kelompok pembawa cerek Dahulu biasanya tanpa baju,  tetapi sekarang dapat diganti dengan baju kaos berlengan.
*Tapong*
*Songkok putih Alat: cere’ amiccung (wadah meludah dari perak), ataotang (tempatsirih)
*Untuk kelompok paddénréng botting Jas tutup warna hitam*
*Lipa’ sabbé
*Songko’ pamiring
Untuk mempelail aki-laki Ada 3 macam tergantung pada stratifikasi sosial mempelai laki-laki dengan tidak mengabaikan stratifikasi sosial mempelai perempuan. Kostum biasa yaitu: Mallipa’ sabbé Jas biasa Lipa’sabbé Songko’ pamiring Keris dengan passapu Mattapong Waju bella dada Tapong pakai rantai lipoa Songko’ niure’ Keris dengan passapu pakai meili Dapat memaka isalempang Passigara Waju bella dada dari bahan broket Lipa’ antalassa pakai rantai lipa’ Passio Salempang Sigara lengkap dengan bunga sarampa, pinang goyang, bunga sibali Keris dengan passapu Gelang naga Bali botting Karena merupakan pasangan dari mempelai laki-laki maka seluruh pakaiannya bersama perhiasannya harus sama dengan pakaian yang dikenakan oleh mempelai laki-laki, terutama jika pengantin laki-laki memakai sigara. Biasanya yang menjadi bali botting haruslah saudara sendiri atau keluarga yang mempunyai stratifikasi sosialyang sama. Passeppi Kostum passeppi tidak jauh beda dengan kostum pengantin, hanya nilainya tidak sama. Misalnya, apabila perhiasan pengantin laki-laki terbuat dari emas, maka passeppi terbuat dari perak,  dst. Pattiwilellu’ Jumlahnya 4 orang, 6 orang, 8 orang tergantung pada tingkatan sosial  pengantin. Ana’ mattola memakai 8 orang. Sedangkan bagi orang biasa atau terendah sama sekali tidak memakai lellu’. Kostum mereka terdiri dari : Untuk laki-laki : Kemeja putih Tapong tanpa rantai Songkok putih Passapu merah atau keris Untuk perempuan : Waju tokko tanpa rantai waju Lipa’ sabbé Hiasan sederhana terdiri dari gelang kecil, bangkara, geno Sibatu dan ikat pingggang. Pattiwiteddung (pembawa payung) Sama dengan pembawa tombak, kecuali passapu diganti dengan songko’ Bone, biasa tanpa pinggiran emas. Indo’ pasusu Pada saat ini lazim terdiri dari  2 orang saja. Kostum mereka terdiri dari waju tokko warna putih memakai sarung Mandar dan hanya memakai giwang dan bros saja. Saksi-saksi Terdiri dari keluarga dekat pengantin laki-laki atau mereka yang dituakan oleh masyarakat. Kostumnya hanya jas biasa, lipa’ sabbé, dan  songko’.

2.) Madduppa botting, Diartikan menjemput kedatangan pengantin laki-laki. Sebelum penganting laki-laki berangkat kerumah perempuan, terlebih dahulu rombongan tersebut menunggu penjemput dari pihak perempuan (biasanya dibicarakan lebih dahulu sebagai suatu perjanjian). Bila tempat mempelai perempuan jauh dari lokasi rumah laki-laki maka yang disepakati adalah jam tiba dirumah perempuan. Rombongan penjemput tersebut menyampaikan kepada pihak laki-laki bahwa pihak perempuan telah siap menerima kedatangan pihak laki-laki. Untuk menyambut kedatangan rombongan mempelai laki-laki maka didepa n rumah mempelai perempuan telah menunggu beberapa penjemput yaitu: 
  • 2 orang padduppa:
  • 1 orang puteri dan
  • 1 orang remaja dengan pakaian lengkap
  • 2 orang pakkusu-usui: perempuan yang sudah menikah
  • 2 orang pallipa’ sabbé: sepasang orangtua setengah baya sebagai wakil orangtua
  • 1 orang prempuan pangampowenno
  • 1 atau 2 orang padduppabotting
yang biasanya dilakukan oleh saudara dari orangtua mempelai perempuan, mereka ditugaskan menjemput dan menuntun pengantin turun dari kendaraan menuju ke dalam rumah untuk melaksanakan akad nikah.

3.) AkadNikah, Orang bersiap melakukan akad nikah adalah bapak atau wali calon mempelai perempuan atau imam kampung atau salah seorang yang ditunjuk oleh Departemen Agama. Dua orang saksi dari kedua belah pihak. Pengantin laki-laki duduk bersila siap melaksanakan akad nikah. Acara akad nikah dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dilanjutkan dengan pemeriksaan berkas pernikahan, penandatanganan berkas dan juga sompa. Pihak yang bertandatangan adalah pengantin laki-laki, pengantin perempuan, wali dan 2 orang saksi. Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau wali pengantin perempuan kepada imam kampung/penghulu yang akan menikahkan. Orang tua atau wali perempuan mengucapkan, “dengan mengucapkan Bismillahi Rahmani Rahim saya orangtua/wali pengantin perempuan menyerahkan perwalian kepada imam kampung/penghulu untuk menikahkan anak saya dengan lak-laki (disebutkan nama pengantin laki-laki). Ijab kabul dilakukan dengan didahului oleh khutbah nikah oleh imam kampung atau orang yang ditunjuk oleh undang-undang. Ijab kabul dilakukan dengan pengantin laki-laki ber hadapan dengan imam lalu saling berpegangan ibu jari kanan sebelumnya. Pengantin lakilaki dibimbing oleh imam untuk menjawab pertanyaan imam, setelah merasa lancar maka ijab kabul pun dilaksanakan. Beberapa bacaan yang diucapkan oleh imam harus diikuti oleh pengantin laki-laki seperti: istigfar, syahadatain, shalawat, laluijabkabul. Ucapa nijab kabul diucapkan oleh imam dengan mengatakan “saudara A bin B saya menikahkan engkau atas perwalian orangtua/wali kepada saya dengan…………..dengan mahar 88 real karena Allah ”dan dijawab oleh pengantin laki-laki“ saya terima nikahnya…………………dengan mahar 88 real karena Allah” Proses ijab kabul ini biasanya diulang 2-3 kali untuk memperjelas ketepatan jawaban laki-laki. Setelah itu pengantin laki-laki membaca sighat taklik talak. Selama proses ini mempelai perempuan tetap berada didalam kamar pengantin yang telah dihiasi lamming dan didampingi oleh:
2 orang passeppi
1 orang bali botting
3 orang pattiwicere’
2 orang indo’pasusu
Mereka ini merupakan pendamping yang dahulu kala harus disesuaikan dengan tingkat derajat pengantin, dan disesuaikan dengan jumlah dari pendamping pengantin laki-laki yang dibawa. Apabila pengantin perempuan merupakan puteri bangsawan, maka selain ia dinaungi lellu’ ia juga dipangku oleh seorang perempuan atau indo’pasusu sendiri selama akad nikah dilakukan.

4.) Mappasiluka, Setelah akad nikah selesai maka dilanjutkan dengan acara mappasiluka atau mappasikarawa. Acara ini merupakan kegiatan mempertemukan mempelai laki-laki dengan pasangannya. Pengantin laki-laki diantar oleh seseorang yang dituakan oleh keluarganya menuju kamar pengantin. Kegiatan ini biasa disebut juga dengan mappalettunikka. Sering terjadi pintu kamar pemgantin perempuan, sehingga untuk masuk dilakukan dulu dialog yang disertai dengan pemberian kenang-kenangan berupa uang dari oarng yang mengantar pengantin laki-laki sebagai pembuka pintu. Setiba dikamar, oleh orang yang mengantar menuntun pengantin laki-laki untuk menyentuh bagian tertentu tubuh pengantin perempuan. Ada beberapa variasi bagian tubuh yang disentuh, antara lain :
  • Ubun-ubun, bahkan menciumnya agar laki-laki tidak diperintah oleh istrinya.
  • Bagian atas dada, agar kehidupan keluarga dapat mendatangkan rezeki yang banyak seperti gunung.-
  • Jabat tangan atau ibu jari, diharapkan nantinya kedua pasangan ini saling mengerti dan saling memaafkan.
  • Ada yang memegang telinganya dengan maksud agar istrinya dapat senantiasa mendengar ajakan suaminya.
  • Adapula yang langsung mencium aroma harum istrinya seperti tradisi yang dilakukan di  Arab Saudi.
Setelah uapacara ini pengantin laki-laki duduk disisi istrinya untuk mengikuti kegiatan malloangeng. Orangtua atau orang yang telah ahli dalam hal ini ditunjuk melilitkan kain/sarung sehingga kedua pengantin berada dalam satu sarung, kemudian kedua pinggirnya  dikaitkan dan dijahit tiga kali dengan benang emas atau benang biasa yang tidak ada pinggirnya. Kegiatan ini memiliki makna agar nantinya pasangan ini senantiasa bersatu padu dalam menempuh kehidupan rumah tangganya dikemudian hari.

5.) Maréllau Dampeng, Setelah prosesi mappasiluka maka dilanjutkan dengan acara memohon maaf kepada kedua orangtua pengantin perempuan dan seluruh keluarga dekat yangs empat hadir pada akad nikah tersebut. Selesai memohon maaf lalu kedua pengantin diantar menuju pelaiminan untuk bersanding guna menerima ucapan selama dan doa restu dari segena tamu dan keluarga yang hadir, biasa nya acara ini dilanjutkan dengan resepsi dimalam hari.

Upacara Sesudah Akad Nikah

  1. Mapparola Acara ini merupakan juga prosesi penting dalam rangkaian perkawinan adat Bone, yaitu kunjungan balasan dari pihak perempuan kepada pihak lak-laki. Jadi merupakan sebuah kekurangan, apabila seorang mempelai perempuan tidak diantar kerumah orangtua mempelai laki-laki. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa haris etelah upacara akad nikah dilaksanakan. Kegiatan biasanya tidak dilakukan jika pernikahan tidak mendapat restu dari orangtua pihak laki-laki. Padahari yang disepakati untuk proses mapparola/marola (mammatoa) kedua belah pihak kemudian mengundang kembali keluarga dan kaum kerabat untuk hadir dan meramaikan upacara mapparola. Keluarga pihak perempuan mengundang beberapa keluarga untuk turut mengantar kedua mempelai kerumah orang tua pihak laki-laki. Sedangkan pihak laki-laki mengundang beberapa keluarga dan kerabat untuk menyambu kedatangan pihak perempuan. Kedua mempelai kembali dirias seperti pada waktu akad nikah, lengkap pula dengan semua pengiringnya, seperti bali botting, passeppi, pembawa cerek, pembawa tombak, pembawa payung, pembawa lellu’, indo’ pasusu. Apabila kedua mempelai beserta rombongan tiba dihadapan rumah orangtua lakilaki maka disambut dengan wanita berpakaian waju tokko hitam dengan menghamburkan wenno, sebagai pakkurusumange’ (ucapan selamat datang). Dalam acara mapparola ini biasanya dilakukan juga makkasiwiang yaitu mempelai perempuan membawakan sarung untuk mertua/orangtua laki-laki beserta saudar-saudaranya. Hal ini dilakukan dikamar pengantin laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh indo’ botting untuk memberikan sarung sutera kepada orangtua dan saudara pengantin laki-laki. Didaerah Bugis biasanya pemberian inia kan dikembalikan lagi dengan ditambah kan pemberian dari mempelai laki-laki sesuai dengan kemampuan.
  2. Marola wekka dua Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali kerumah mempelai perempuan.
  3. Ziarah kubur Meski pun banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubu bukanlah merupakan rangkaian dalam upacara perkawinan adat Bone namun sampai saat ini kegiatan tersebut masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan bagi masyarakat Bone, yaitu lima hari atau seminggu setelah kedua belah pihak melaksanakan upacara perkawinan.
  4. Cemmé-cemmé atau mandi-mandi Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bone bahwa setelah upacara perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak pergi mandi-mandi disuatu tempat.
---------------------------------------------------------------

NILAI LUHUR PERKAWINAN ADAT BONE

Banyak sekali nilai-nilaispiritual yang daoat kita petik di dalam prosesi perkawinan ini, baik itu yang tersirat darisetiap tahap yang dilakukan maupun darisetiap perlengkapan yang digunakan dalam prosesi pernikahan adat Bugis. 
Namun sebelum kita membahas nilai-nilai spiritual tersebut ada baiknya kita membahas lebih dahulu makna dan fungsi dari perkawinan baik darisegi agama Islam sebagai agama yang dianut oleh masyarakat Bugis maupun dari sudut sosial kebudayaan Bugis.

A.) Nilai Spritual Perkawinan Allah SWT telah melimpahkan karunia-Nya yang teramat agung kepada hamba-Nya melalui perkawinan. AllahSWT menjadikan perkawinan untuk menunjukkan kepada kita semua sebagian daripada tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Sesungguhnya perkawinan dalam pandangan agama Islam adalah suatu ibadah dan usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan perkawinan seorang manusia akan medapatkan balasan baik dan pahala. Tentu saja dengan melakukan perkawinan dengan niat ikhlas dan tujuan yang benar. Perkawinan yang mereka lakukan semata-mata untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang haram, bukan karena nafsu hewani. Allah SWT melimpahkan kepada manusia melakui perkawinan dengan menjadikan hubungan seks seperti yang dilakukan oleh binatang sebagaisuatu ibadah yang dipergunakan seorang mukmin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini bermakna bahwa Allah memerintahkan perkawinan sebagai alasan pembenaran bagi hubungan seks. Islam telah mengangkat posisi kenikmatan fisik kepada tingkatan yang lebih mulia dan suci. Perkawinan juga merupakan proses pengemblengan dan penyucian jiwa. Pengemblengan ini dilakukan dengan cara menunaikan semua hak istri, sabar tehadap sikaonya, memaafkan kesalahannya, berusaha memperbaikinya, memberikan petunjuk ke jalan yang benar. Melalui perkawinan Allah melimpahkan beberapa anugerah dan karunia-Nya yaitu:
  1. Anugerah Pertama Sesungguhnya istri adalah perempuan yang berjiwa mulia. Allah SWT menciptakan jiwa perempuan dari unsur yang juga dipergunakan untuk menciptakan laki-laki. Oleh karena itulah laki-laki dan perempuan sama dan sejajar dalam tingkat kemuliaan dan penciptanya. Oleh karena itu diantara hikmah penciptaan makhluk manusia dari jenis yang sama tiada lain agar mereka dapat bersatu dengan sempurna serta dapat saling mengenal seperti ungkapan yang berbunyi “sekelompok jenis makhluk itu akan senang (cinta) kepada jenis makhluk yang sama dengan dirinya”.
  2. Anugerah kedua Anugerah yangt kedua adalah bahwa Allah SWT memberikan kepada kita semua pemahaman bahwa istri itu bagaikan tempat tinggal dan ketenangan jiwa yang dapat dirasakan oleh laki-laki. Namun hal itu baru dapat dirasakan oleh setiap laki-laki jikahidup dengan istri yang mulia. Laki-laki akan merasa tentram dan tenang serta suka cita. Semua itu dapat ditemukan dalam naungan kehidupan rumah tangga yang bahagia.perempuan adalah tempat menaruh kepercayaan bagi laki-laki, demikian juga sebaliknya laki-laki adalah tempat menyandarkan kepercayaan bagi perempuan. 
Hal itu termaktub dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 187 yang artinya: “Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan engkaupun adalah pakaian bagi mereka”. Dan diantara mereka Allah juga menanamkan rasa simpati(cinta) diantara mereka. Seandainya bukan karena nikmat ini maka tidak akan ada rasa senang seorang laki-laki kepada perempuan dan tidak dan tidak akan langgeng persahabatan diantara manusia. 

Demikianlah tujuan Allah menciptakan perempuan dan laki-laki, yakni menjadikan adanya sara suka diantara keduanya seperti juga lainnya, Allah menciptakan nafsu dan syhwat diamtara mereka dengan tujuan terciptanya perkawinan diantara mereka. Sehingga sempurnalah bangunan kehidupan masyarakat manusia. Roda kehidupan akan terus berputa dengan saling memberi dan tolong menolong sebagai manifestasi darirasa simpati.

B). Makna yang Terkandung dalam Perkawinan Adat Bone Banyak sekali terkandung simbol-sinmbol atau sennu-sennuang yang terkandung di dalam proses perkawinan adat Bone ini. Baik itu yang tersirat dalam prosesnya maupun yang terkandung dalam peralatan/perlengkapan yang digunakan. Hal ini menggambarkan kepada kita betapa nenek moyang kita telah mewariskan nilai-nilai luhur yang senantiasa harus kita lestarikan. Adapun mengenai nilai0nilai tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Madduta Prosesi meminang mengandung harapan serta nilai-nilai yang sangat mendalam., yang mana proses peminangan ini menunjukkan bagaimana kita seharusnya memposisikan perkawinan sebagai upaya penghargaan kepada perempuan. Oleh karena perkawinan adalah sebuah anugerah kemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia, maka perkawinan haruslah dilakukan dengan segala norma-norma yang berlaku. Karena perintah perkawinan adalah perintah yang penting, maka konsekwensinya adalah berimbas kepada hal-hal yang berkaitan dengannya. Misalnya masalah nasab (gineologi), nafkah, harta warisan dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan manisnya mengarungi kehidupan berumah tangga, kontak pandangan ke sesama pasangan, maupun ketika menjalani hubungan intim. Oleh karena itu sebelum dilaksanakan akad nikah maka terlebih dahulu melakukan pertunangan. Dengan tujuan agar kedua pasangan dapat saling mengenal terlebih dahulu sebelum terjadi ikatan sakral. Disinilah letak keistimewaan madduta (meminang) yang di dalamnya ada proses untuk saling mengenal(mammanu’manu’, mappésé’pese’, kemudian mappasierekeng). Dalam syariat Islam diatur tata cara perkawinan yang baik. Dimana diatur agar pihak laki-laki meminang perempuan dengan baik-baik melalui keluarganya. Islam tidak mengizinkan seorang gadis menikah sendiri tanpa adanya wali atau tanpa sepengetahuan keluarganya. Ada tiga syarat untuk meminang seorang perempuan:
  • hendaklah perempuan tersebut tidak dalam perlindungan seseorang, yakni dalam ikatan perkawinan, (bukan istri orang lain)
  • kedua, hendaklah perempuan itu tidak dalam masa iddah akibat ditinggal mati suami atau setelah bercerai.
  • Hendaklah perempuan tersebut bukan dalam proses pinangan orang lain.
2. Mas Kawin atau Mahar atau Sompa Mas kawin di dalam Islam dianggap sebagai ungkapan kasih sayang. Mas kawin juga merupakan isyarat atau tanda kemuliaan seorang perempuan. Allah menysariatkan mas kawin sepertisebuah hadiah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang dilamarnya ketika telah mencapai kesepakatan diantara keduanya (untuk menikah). Mas kawin juga merupakan bentuk pengakuan terhadap kemanusiaan dan kemuliaan perempuan. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 4 yang artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan” Mas kawin merupakan pemberian yang dapat melanggengkan rasa cinta, mengokohkan bangunan keharmonisan rumah tangga dan juga dapat menyokong tuntutan nafkah kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu perkawinan harus dilangsungkan dengan adanya mas kawin (mahar).

3. Ripasau (mandi sauna) Merupakan prosesi yang dilakukan dalam rangka membersihkan tubuh calon mempelai darisesuatu yang kotor, baik itu yang berada di dalam tubuh maupun yang ada dipermukaan tubuh calon mempelai. Hikmah yang ingin diraih disisni adalah sebelum dilaksanakannya proses perkawinan, diharapkan calon mempelai dapat sehat dan bugar sehingga nantinya mempelai dapat mengikutiseluruh prosesi dengan baik. Selain bersih lahiriah diharapkan juga calon mempelai mendapatkan kebersihan hati. Sesungguhnya Allah SWT Maha suci dan sangat mencintai hal-hal yang bersih.

4. Cemme passili, Cemme passili merupakan permohonan kepada Allah SWT kiranya senantiasa memberikan perlindungan dari hal-hal jelek baik itu yang berasal dari dalam rumah maupun dari luar rumah. Jadi bila mappasau dilakukan untuk membersihkan darisesuatu yang kotor yang berasal dari dalam tubuh (faktor internal) maka cemme passili adalah upaya melindungi diri dari hal-hal jelek yang berasal dari luar tubuh (eksternal). Upaya ini mengandung hikmah bahwa diharapkan calon penganting senantiasa menjaga diri. Mengenai bahan yang digunakan telah disinggung pada bagian sebelumnya namun untuk penjelasan mengenai makna dari penggunaan bahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 
  • Daun sirih atau daung siri merupakan simbolharga diri. Penggunaan bahan iniselain fungsinya sebagai antiseptik tetapi juga mengandung artisiri’ yaitu harga diri atau rasa bangga/malu. Dengan harapan di masa yang akan datang mempelai dapat mempertahankan harga dirinya dalam melakoni kehidupan. Sebagaimana kita tahu bahwa pada masyarakat Bugis siri’ merupakan nilai yang paling diagungkan, seperti pada ungkapan Bugis yang menyatakan:sirieamiriasE tau “siri’ émmiriaseng tau” yang artinya hanya karena kita mempunyai rasa malu maka disebut manusia. Ungkapan ni menunjukkan bahwa salah satu nilai kemanusiaan seseorang adalah rasa malu. Dalam tuntunan agama Islam juga memerintahkan keharusan mempertahankan rasa malu sebagai perisai hidup. 
  • Daun sarikaya simbol kekayaan Daun sarikaja dalam ilmu pengobatan tradisional juga berfungsisebagia antiseptik. Dari penyebutannya sari kaya “kaya” hikmahnya adalah pengharapan manusia untuk dicukupkan rezekinya oleh Allah SWT. Kekayaan disini tidak dilihat darisudut kuantitas namun lebih kepada kualitas. Sehingga keberjahan dan kecukupan senantiasa mengiringi kehidupan mempelai dalam menempuh hidup dalam bahtera rumah tangganya.
  • Daun waru simbol kesuburan Daun waru ini meruapkan lambang kesuburan. Hal ini menyiratkan harapan semoga nantinya kedua mempelai dianugerahi keturunan yang banyak dan berkualitas sehingga mampu menreuskan kehidupan ini. Daun waru merupakan juga simbol kekuatan dan ketahanan menghadapi hidup, pohon waru dimanapun hidupakan tetap rimbun daunnya.
  • Daun tebu simbol kenikmatan Tebu merupakan tanaman penghasil gula. Oleh karena gula memberikan rasa manis, maka diharapkan kedua mempelaisenantiasa dapat mereguk manisnya kehidupan, dan terhindar dari kendala-kendala yang dapat merusak keidupan rumah tangganya kelak. 
  • Daung ta’baliang simbol penangkis bala Daung ta’baliang ini mewakilisimbol penangkis bala oleh karena permukaan dari daun ini mempunyai warna yang berbeda dengan warna bagian bawahnya. Pemaknaan yang ingin diambil dari penggunaan bunga ta’baliangadalah agar kiranya kehidupan calon mempelaisenantiasa terhindar dari bala bencana, sehingga dapat menunaikan tanggung jawab sebagaisuami istri dengan tentram dan senantiasa diridhoi Allah SWT.
  • Bunga Cabberu simbol keceriaan Cabberu berartisenyum dan keceriaan. Penggunaan bunga ini memberikan makna bahwa dalam menempuh kehidupan rumah tangga yang sangat berat tantangannya, kedua pasangan suami istri diharapkan mampu tetap berbaik sangka, ceria dan tersenyum menghadapinya. 
  • Daun cangngadurisimbol penonjolan Cangngaduri merupakan simbol penonjolan oleh karena walaupun bunganya kecil namun akan tetap menonjol baik darisegi warna maupun bentuknya. Hikmahnya adalah bahwa kehidupan suami istri haruslah dilandasi oleh rasa percaya diri, optimis dalam menempuh kehidupan rumah tangganya. Rasa optimis dan percaya diri inilah yang kemudian akan melahirkan generasi-generasi yang tangguh, cerdas dalam melanjutkan eksistensi manusia di muka bumi. Selain itu diharapkan pasangan ini nantinya menjadi tonggak utama kebanggaan keluarga, masyarakat, bangsa dan tanah air.
  • Maja alosisimbolserba guna Maja alosi atau mayang pinang adalah simbolserba guna. Seluruh bagian dari pohon pinang ini dapat digunakan mulai dari akar sampai buahnya. Pemaknaan ini berarti pasangan ini diharapkan mampu memberiakn dan menciptakan karya, termasuk keturunan yang dapat bermafaat bagi keluarga dan lingkungannya sebagaimana layaknya pohon pinang tersebut.
5. Mappacci, Mappacci yang dilaksanakan pada saat tudampenni/wenni mappacci merupakan upacara yang sangat kental dengan nuansa bathin. Dimana proses ini merupakan upaya manusia untuk membersihkan dan mensucikan diri dari hal yang tidak baik. Dengan keyakinan bahwa segala tujuan yang baik harus didasari oleh niat dan upaya yang baik pula. Karena perkawinan merupakan sesuatu yang suci dan dirahmati Allah, maka segenap keluarga termasuk calon mempelai diharapkan untuk mengikhlaskan segenap hati dalam menempuh kehidupan ini. 
Karena bagi calon mempelai perkawinan merupakan awal dari kehidupan baru sebagai suami istri, jadi hendaklah segala sesuatunya betul-betul bersih dan suci. Mappacci merupakan kegiatan dimana semua kerabat dan keluarga memberikan restu dan ridhanya kepada calon mempelaisehingga terukir kebahagiaan mendalam bagi calon mempelai dalam menempuh kehidupan selanjutnya sebagaisuami istriserta mendapatkan ridha dan keberkahan dari Allag SWT. Makna simbolis dari peralatan yang dipergunakan dalam upacara mappacci adalah:
  • BantalBantal terbuat dari kapuk dan kapas sebagai perlambangan kemakmuran, yang dalam bahasa Bugisnya adalah “asaléwangeng”. Bantalsesuai dengan peruntukannya merupakan pengalas atau penopang kepala, yang mana kepala merupakan organ tubuh manusia yang paling mulia (alebbireng). Dengan demikian diharapkan calon mempelai senantiasa menjaga harkat dan martabatnya dan saling hormat menghormati. Dalam bahasa Bugisnya mappakalebbii.
  • Sarung 7 lembar Sarung merupakan penutup/pelindung tubuh. Sarung merupakan simbol dari upaya manusia menjaga harga dirinya. Sehingga kelak mempelaisenantiasa dapat menjaga harga diri dan kehormatan keluarganya, dalam bahasa Bugis dinyatakan dengan nalitutuaisirina “sini nalitutuiwisirina”. Pembuatan sarung memerlukan keterampilan, kletelatenan, dan ketekunan. Ini memberikan pesan bahwa dalam menempuh kehidupan ini dibutuhkan keterampilam, ketelatenan, dan ketekunan sehingga rahmat Allah SWT dapat diraih. Makna simbolis tujuh lembar ini, adalah bahwa tujuh lembar dalam bahasa Bugis pitllampa. Angka pitu inisangat dikaitkan dengan filosofi orang Bugis yang menyatakan: aiyp muabt tau erko muelni mtuliliai dpurEeG ewk pitu “iyapa muabbatang tau rekko mulléni mattulili dapurengé wékka pitu”, yang artinya bahwa persyaratan untuk menikah adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama 7 hari dalam seminggu baik itu kebutuhan kahiriah maupun kebutuhan rohani. Hikmahnya kemudian semakin dalam jika merujuk perumpamaan dapur yang digambarkan oleh ungkapan tersebut. Dapur bagi masyarakat Bugis merupakan pusat dariseluruh sumber kehidupan rumah tangga. Bentuk dapur yang segi empat terkait lagi dengan konsep sulp aEp sulapa’ eppa. Sulapa’ eppa merupakan konsep kehidupan manusia Bugis yaitu empat sisi kehidupan yang senantiasa harus ditunaikan oleh kedua mempelia. Sisi pertama adalah mengenai kebutuhan akan pangan, sisi kedua mengenai kebutuhan akan papan (rumah) dan sisi ketiga mengenai kebutuhan akan sandang dan sisi yang keempat adalah kebutuhan akan harmonisasi kehidupan rumah tangga (kemampuan saling menjaga perasaa). Jadi pemaknaan ini mengandung hikmah tentang bagaimana sebuah perkawinan yang sangat sakral menuntut kemampuan calon mempelai untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik baru kemudian melangkah ke arah perkawinan. Jumlah sarung yang tujuh lembar juga bermakna dalam bahasa Bugis tuju. Inisangat erta kaitannya dengan kata patujui atau tujui yang artinya benar atau bermanfaat. Pemaknaan ini diharapkan memberikan insprirasi untuk senantiasa melakukan atau mengerjakan sesuatu yang benar atau bermanfaat sini tujuai(sini’tujui). 
  • Pucuk daun pisang Kita mengetahui bahwa daun pisang yang telah tua, belum kering, sudah muncul lagi daun mudanya untuk meneruskan kehidupannya, dalam bahasa bugisnya mcoli mdau (maccoli maddaung) melambangkan kehidupan yang sambung menyambung (berkesinambungan) seperti yang diungkapkan dakam lagu/syair Bugis yang berbunyi: “tennapodo maccoli maddaung, cajiang wija pattola palallo, naénré mallongi longi, naiya sikki biritta madécéng”. yang artinya:semoga medapatkan keturunan yang lebih baik, dapat berguna bagi bangsa, tanah air dan agama serta kepada kedua orang tua. Pemaknaan ini menjelaskan kepada kita bahwa perkawinan merupakan proses untuk melanjutkan kehidupan sehingga kehidupan di dunia dapat terus berlanjut sampai pada akhirnya kita tinggalkan.
  • Daun nangka (daung panasa) Kata “panasa” mirip dengan sebutan “ménasa” yang berarti harapan mulia dan cita-cita luhur. Dalam ungkapan Bugis dikenal “mamminasa ridécéngng” artinya senantiasa bercita-cita kepada kebaikan. Sedangkan bunga nangka dalam bahasa Bugis disebut lempu, yang dikaitkan dengan kata “lempu” yang dalam bahasa Bugisnya berarti jujur. Salah satu syair Bugis menjelaskan tentang kejujuran ini yaitu duamirialspo auGn pnsea eblo knukuea “duamiriala sappo, unganna panasaé bélo kanukué”. Hal ini bermaksud bahwa dalam kehidupan ini ada dua hal yang perlu dijadikan perisai hidup yaitu unganna panasaé (lempu) kejujuran, dan belo kanukué (paccing) kebersihan dan kesucian jiwa. Dengan demikian diharapkan kiranya kelak kedua mempelai memiliki kejujuran dan kebersihan hati dalam menempuh hidup sebagaisuami istri. Konsep kejujuran ini dahulu pernah diutarakan melalui dialog antara Raja Bone La Tenrirawe Bongkangngé dengan cendekiawan Bone Kajao Laliddong sebagai berikut: Kajao Laliddong: Aga sio Arunmponé muaseng tettaroi nrebba alebbiremmu, patokkong pulanai alebbireng mubakurié, aja natatterei-tere tau tebbemu, aja napada wenno pangampo waramparang mubakurié. Dijawab oleh Arungmpone: Lempué Kajao enrengngé accaé Artinya: Kajao Laliddong: Apakah gerangan wahaiRaja Bone yang engkau sebut tidak membiarkan rebah kemuliaanmu, senantiasa menegakkan kemuliaan yang engkau miliki, tidak bercerai berairakyatmu, tidak seperti penabur harta benda milikmu. Raja Bone: Kejujuran Kajao beserta kepintaran.
  • Beras Melati(wenno) Beras yang digoreng tanpa minyak/disangrai hingga mekar mengembang. Dalam bahasa Bugisnya Peno riaelai “mpenno rialei” mekar dengan sendirinya. Sehingga kedua mempelai dapat mandiri dalam membina bantera rumah tangganya, dan senantiasa mampu mengembangkan/menurunkan sifat-sifat yang baik kepada anak cucunya di kemudian hari.
  • Lilin (tai bani, patti), Taibani/patti berasal dari lebah yang dijadikan lilin sebagaisuluh/pelita yang dapat menerangi kegelapan yang berati panutan atau suri tauladan. Penggunaan lilin memberikan arti bahwa kedua mempelaisenantiasa dapat menjadisuluh penerang bagi keluarganya, suri tauladan bagi anak-anaknya, dan keluarga. Pemaknaan lain dari kehidupan lebah yang senantiasa hidup rukun dan damai, rajin dan tidak saling mengganggu satu sama lain, kita juga duharapkan dapat mengambil hikmahnya, yaitu kedua mempelai haruslah dapat bekerja sama berkarya dalam mengisi hidup. Selain daripada itu lebah juga menghasilkan madu. Madu inisangat berguna bagi manusia, dalam bahasa Bugis madu berati “cani” yang dikaitkan dengan kata (cenning), dengan harapan bahwa calon mempelaisenantiasa memiliki hati yang manis, sifat perilaku, tutur kata dan perbuatan yang manis laksana madu untuk menjalin kebersamaan dan keharmonisan seperti kehidupan lebah.
  • Daun pacar atau pacci Daun pacar atau paccisebagaisimbol dari kebersihan dan kesucian. Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagaisepasang suami istri hingga ajal menjemput. h. Tempat pacci yang terbuat dari logam (bekkeng) Perpaduan antara ca’paru dan pacci melambangkan dua insan yang saling mengisi, menyatu dalam ikatan yang kokoh, semoga pasangan suami istri tetap menyatu, bersama mereguk nikmatnya cinta dan kasih sayang.
6. Esso akkalabinengeng (hari akad nikah), Akad nikah merupakan bagian paling utama atau aulu agaukE ulu aggaukeng, dan acara kunci dalam pernikahan. Pada intinya akad nikah adalah upacara keagamaan untuk pernikahan antara dua insan manusia. Melalui akad nikah, maka hubungan antara dua insan yang saling bersepakat untuk berumah tangga diresmikan di hadapan manusia dan Tuhan. Pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan dalam sebuah pelaminan. Allah menetapkan suatu ikatan suci, yaitu akad nikah. Dengan dua kalimat yang sederhana Ijab dan Qabul terjadilah perubahan besar, yang haram menjadi halal, yang maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi tanggung jawab. Maka nafsupun berubah menjadi cinta dan kasih sayang. Begitu besarnya perubahan inisehingga Al-Quran menyebut akad nikah sebagaiMitsaqan Ghalidzha (perjanjian yang berat).

Hanya 3 kali kata ini disebut dalam Al-Quran. Pertama, ketika Akkah membuat perjanjian dengan Nabi dan Rasul Ulul-Azmi(QS 33: 7). Kedua, ketika Allah mengangkat bukit Tsur di atas kepala BaniIsrail dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah (QS 4:154). Akad nikah bukanlah sekedar kata-kata yang terucap dari mulut laki-laki, atau sekedar formalitas untuk mensahkan hubungan suami istri, atau bahkan adat yang menjadi kebiasaan dalam pernikahan.

Akad nikah adalah sebuah perjanjian sakral yang ikatannya amat kokoh dan kuat. Akad nikah telah mengikatkan suami dan istri dalam sebuah perjanjian syariah, dimana perjanjian itu wajib dipenuhi hak-haknya. Perjanjian agung menghalalkan kehormatan diri untuk dinikmati pihak lainnya. Perjanjian kokoh yang tidak boleh dicederai dengan ucapan dan perbuatan yang menyimpang dari hakikat perjanjian itu sendiri. Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan keopada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang besar? 

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahalsebagian kamu telahbergaul dengan yang lain sebagaisuami istri? Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (An-Nisaa:20- 
21). Pemaknaan lain dari perkawinan menyebutkan bahwa pernikahan adalah aqad yang menghalalkan kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan untuk bersenang-senang satu dengan yang lainnya. Sehingga pernikahan bisa dipahamisebagai; aqad untuk beribadah kepada Allah, aqad untuk menegakkan syariah Allah, aqad untuk membangunrumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Pernikahan juga aqad untuk meninggalkan kemaksiatan, aqad untuk saling menghormati dan menghargai, aqad untuk saling menerima apa adanya, aqad untuk saling mengautkan keimananan, aqad untuk saling membantu dan meringankan beban, aqad untuk saling menasehati, aqad untuk setia kepada pasangannya dalam suka dan duka, dalam kefakiran dan kekayaan, dalam sakit dan sehat. 

Pernikahan berarti akad untuk meniti hari-hari dalam kebersamaan ;
aqad untuk saling melindungi, 
aqad untuk saling memberirasa aman, 
aqad untuk saling mempercayai, 
aqad untuk saling menutupi aib, 
aqad untuksaling mencurahkan perasaan, 
aqad untuk berlomba menunaikan kewajiban, 
aqad untuk saling memaafkan kesalahan, 
aqad untuk tidak menyimpan dendan dan kemarahan, 
aqad untuk tidak mengungkit-ungkit kelemahan, kekurangan dan kesalahan. 

Pernikahan adalah ;
aqad untuk tidak melakukan pelanggaran, 
aqad untuk tidak saling menyakiti hati dan perasaan,
aqad untuk tidak saling menyakiti badan, 
aqad untuk lembut dalam perkataan, santun dalam pergaulan, 
aqad untuk indah dalam penampilan, 
aqad untuk mesra dalam mengungkapkann keinginan, 
aqad untuk saling mengembangkan potensi diri, 
aqad untuk adanya keterbukaan yang melegakan, 
aqad untuk saling menumpahkan kasih sayang, 
aqad untuk saling merindukan, 
aqad untuk tidak adanya pemaksaan kehendak, 
aqad untuk tidak salingmembiarkan, 
aqad untuk tidak saling meninggalkan. 

Pernikahan juga bermakna ;
aqad untuk menebarkan kewajiban, 
aqad untuk mencetak generasi berkualitas, 
aqad untuk siap menjadi bapak dan ibu bagi anak-anak, 
aqad untuk membangunperadaban, 
aqad untuk segala yang bernama kebaikan. 

7. Mapparola, Konsep keseimbangan tergambar dalam prosesi ini, dimana pihak perempuan berkunjung pula ke rumah pihak laki-laki. Hikmah yang dapat diambil dari mapparola ini adalah menyambung talisilaturrahmi antara dua keluarga besar. Hikmah yang lain adalah, dengan mapparola ini pengantin perempuan dapat memberikan penghargaan dan kasih sayangnya kepada orang tua suaminya (mertua) yang disimbolkan dengan pemberian sarung pada saat makkasiwiang. Dengan kegiatan ini diharapkan kedua pasangan ini mampu mencurahkan kasih sayangnya kepada orang tua tanpa ada perbedaan, sehingga kehidupan rumah tangganya senantiasa dinaungi oleh keridoan orang tua yang berujung kepada keridhoan Allah SWT. 

(sumber : Tata cara perkawinan menurut adat Bone ;Tim Penyusun Lembaga Adat "Saoraja"