Laman

Rabu, 26 Desember 2012

Puteri Tadampalik


Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggilRaja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah petani dan nelayan.

Datu Luwu mempunyaiseorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak. Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu.

Raja Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut ditolak, ia khawatir akan terjadi perang dan akan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima pinangan itu. “Biarlah aku dikutuk asalrakyatku tidak menderita,” pikir Datu Luwu.

Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bisa memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya.

Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Luwu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka cintaisedang mendapat musibah. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya. Karena banyak

rakyat yang akan tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada ayahandanya. Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawalsetianya. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebuah keris pada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi membuang anaknya.

Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan buahWajao saat pertama kali menginjakkan kakinya di tempat itu. “Pulau ini kuberi nama PulauWajo,” kata Putri Tandampalik. Sejak saat itu, Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan gembira.

Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut. Semula, Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya. Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih sepertisemula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya telah sembuh. “Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh,” kata Putri Tandampalik pada para pengawalnya. Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh semua orang di PulauWajo hingga sekarang. Kerbau bule yang berada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak.

Disuatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang tampan. 

“Siapakah namamu dan mengapa putrisecantik dirimu bisa berada di tempat seperti ini?” tanya pemuda itu dengan lembut. 
Lalu Putri Tandampalik menceritakan semuanya. “Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu ?” tanya Putri Tandampalik. 
Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru balik bertanya, “Putri Tandampalik maukah engkau menjadi istriku?”
Sebelum Putri Tandampalik sempat menjawab, ia terbangun dari tidurnya. Putri Tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baik baginya.

Sementara, nun jauh diBone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia ditemani oleh Anre Pguru Pakanranyeng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar kalau ia sudah terpisah darirombongan dan tersesat di hutan. Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di kejauhanm, ia melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana asal cahaya itu.

Ternyata cahaya itu berasal darisebuah perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya disana, Putra Mahkota memasukisebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri Tandampalik.

“Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini ?” pikir putra Mahkota. Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap,” rasanya dialah pemuda yang ada dalam mimpiku,” pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan. Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsing menaruh hati.

Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan diIstana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di PulauWajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulauWajo. “Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik,” kata Anre Guru Pakanyareng. Raja Bone setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.

Ketika utusan Raja Bone tiba di PulauWajo, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketia ia di asingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat.

Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu. Datu Luwu dan permaisurisangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulauWajo untuk bertemu dengan anaknya.

Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapisebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di PulauWajo Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadiraja yang arif dan bijaksana.

Selasa, 25 Desember 2012

Sampuraga

Alkisah di Negeri Tompotikka, seorang pemuda tinggal menetap pada sebuah lembah. Namanya La Sangpuraga. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya dan mengapa ia tinggal menyendiri pada tempat sunyi itu. Setiap pagi hari ia senantiasa duduk berdiam diri diatas sebongkah batu besar yang terletak di pinggir telaga depan rumahnya. Tiada lain yang dilakukannya selain merenungi rerimbun bunga melati yang tumbuh liar di pinggir telaga itu. Lalu senja hari telah tiba, pemuda berparas tampan namun berwajah murung itu melangkah gontai menuju kembali ke rumahnya... Burung-burungpun kembali ke sarangnya, dikala permukaan telaga kini bermandikan sinar lembayung senja, pertanda matahari beranjak ke peraduan malamnya.

Sang Rembulan telah menampakkan diri seraya berkaca tanpa kata dipermukaan telaga yang tenang. Sampuraga menatap sendu pada sang dewi malam itu. Ooh, Sang Dewi.. Kau hanya menjenguk telaga cermin dirimu, bukan mengunjungi diriku.., keluhnya pedih. Perlahan ia meniup sebatang suling bambu yang digenggamnya sejak tadi. Bukan mulutnya yang meniup, melainkan hatinya. Bukan pula irama sulingnya yang berlagu, melainkan nuraninya. Alunan getar rasa gundah itu mengalun lambat memenuhi seantero lembah sunyi itu. Perasaannya yang gundah gulana menggetar lembut hingga membubung tinggi, mengusik Sang Rembulan yang sedang merenungi wajahnya yang pucat... Bunyi tiupan itu terasa mendayu-dayu, memetik dawai sukmanya yang dingin membeku selama ini. Duhai, Irama suling. Siapa gerangan peniupmu ?, bisiknya bersimbah air mata yang berjatuhan menimpa rerimbunan melati yang menebar keharumannya. 

Sinar sang rembulan perlahan meredup. Irama suling yang mendayu-dayu merintih menyedot segenap sukmanya. Malam purnama penuh mulai gelap. Burung-burung malam dan serangga mulai ribut, menjerit tak beraturan. Penduduk yang menghuni perkampungan dibalik lereng lembah mulai khawatir.Rembulan adalah sumber kehidupan yang menjaga keseimbangan alam dikala matahari sedang tertidur. Serentak mereka mengambil alu seraya menumbuk-numbukkannya pada lesung kayu yang mereka miliki. Bunyi alu itu bertalu-talu hingga lama kelamaan membentuk irama tersendiri. Nada yang terhimpun oleh orang sekampung itu menghentak, menggugah sang rembulan yang terhanyut digulung alunan seruling Sampuraga. "Narippungni paimeng bannapatinna, napaddepungengngi lE' sumange'na..", ditangkapnyalah kembali jiwanya, seraya menghimpun kembali semangat hidupnya.. Cahayanya mulai bersinar kembali, lembut menyapu alam raya yang mulai terlelap dalam mimpi tidur malamnya.

La Sangpuraga menghentikan tiupan serulingnya. Iapun tergugah oleh bunyi tumbukan lesung dari lereng gunung seberang lembah. Pemuda itu merebahkan diri pelataran batu datar yang didudukinya. Matanya menatap jauh keatas langit malam, seakan mencoba menembus rerimbunan bintang-bintang berkelip. Angannya melayang jauh membubung tinggi hingga tersangkut entah dikhayangan lapis berapa.. Matanya terpejam seraya beranjak memasuki gerbang mimpinya. Sangpuraga tertidur memenuhi fitrah raganya, meringkuk seraya memeluk seruling kesayangannya... 

Pertemuan...
Matahari telah meninggi hingga diatas wuwungan rumah tunggal di pinggir telaga itu. Air mata sang rembulan yang bertebaran dipucuk dedaunan kini menguap entah kemana.. Sang kekasih siang takkan membiarkan deraian air mata dewi pujaannya terjatuh ditelan bumi. Burung-burung terbang berkejaran dengan riangnya. La Sangpuraga tergolek diam dalam tidurnya diatas batu yang tergolek dibawah sebatang pohon yang rindang. Wajahnya yang tampan nampak tenang bagai bayi terlelap dalam buaiannya. Kerut diantara kedua alisnya seakan menguap bersama embun pagi. Garis-garis wajah yang kerap dihimpit derita itu seakan sirna membaur dalam mimpi indahnya. Mimpi apakah gerangan ?.. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis, menandai betapa rupawannya pemuda ini. Tiba-tiba ia tersentak, terbangun dari tidurnya. Aroma mimpi indah telah raib, tersentuh alam nyata. Kerut wajahnya timbul kembali, seakan ikut terbangun dari mimpi tentramnya.

Bunyi kecipak air telaga ditingkahi suara cekikikan wanita, menggugah tidurnya. Nun jauh diseberang telaga yang menyerupai danau kecil itu, beberapa wanita sedang mandi sambil bermain air. La Sampuraga beranjak dari tempatnya, mengendap-endap dibalik rerimbunan melati mendekati mereka. Tak tergambarkan bagaimana indahnya panorama yang terhampar dihadapannya. Tujuh gadis yang luar biasa jelitanya sedang berenang hilir mudik sambil bercanda riuh rendah dengan riangnya. Mereka sama muda dan sama moleknya. Kecantikan yang sempurna, mustahil dimiliki oleh seorang manusia. Tidak jauh dari tempat itu, seberkas cahaya tujuh warna sedang mendarat dihamparan bebatuan dimana tergeletak pula beberapa carik kain selendang berwarna warni. "Agaknya mereka ini adalah bidadari dari Boting Langi..", pikir La Sampuraga. Tanpa menerbitkan suara, ia mengendap mendekati seraya meraih secarik selendang berwarna putih, kain terdekat yang dapat disodok dengan menggunakan bilah serulingnya. Dengan amat hati-hati, digulungnya selendang tipis itu lalu diselipkan dibalik lipatan sarungnya seraya bergegas menuju kembali ke rumahnya. Disimpannya selendang itu di loteng rumahnya yang tinggi, pada tempat tersembunyi yang hanya ia sendiri mampu membukanya.

Air murni yang memancar langsung dari pertiwi adalah hal yang paling disukai para dewi dari khayangan. Mereka mandi sambil bercengkrama sepuas-puasnya di telaga lembah itu. Tak terasa, waktu semakin merambat cepat. Matahari semakin meninggi, menebarkan sinarnya yang kian memanas. "Adinda semua, matahari mulai terik. Sinar pelangi mulai memudar. Marilah kita naik segera..". seru salah seorang yang rupanya paling tertua diantara mereka. Maka adik-adiknya menuruti dan bersegera kepinggir telaga seraya memasang "Larikkodo", selendang kedewiannya masing-masing. Namun, salah seorang bidadari itu tidak menemukan selendangnya. Saudarinya yang lain ikut mencari kesana kemari, namun tidak menemukannya jua. " Agaknya tempat ini baru saja didatangi manusia. Baunya masih tercium sampai disini.. ", Kata salahsatu bidadari yang dibenarkan yang lainnya. "Pasti orang itu yang mengambil selendangmu, dinda.", kata sang kakak cemas. Tak terbendung lagi, pecahlah tangis sang dewi yang kehilangan larikkodonya. Rasa panik akan ketakutannya akan ditinggal di tempat asing itu menimbulkan kengerian yang tak terbayangkan. "Lalu bagaimana dengan nasibku kini ?", tanyanya disela isak tangisnya.

Saudari-saudarinya tidak dapat berkata dan berbuat lain lagi. "Bersabarlah, adikku. Mungkin ini sudah ketentuan Dewata SEuwwaE (Dewata yang Tunggal) yang menakdirkanmu untuk menjadi tunas baru di Attawareng (dunia) ini..", kata Sang Dewi yang tertua. Akhirnya mereka bergantian memeluk saudarinya yang malang itu, lalu melayang naik ke angkasa mengikuti alur lengkungan pelangi yang mulai memudar.. 

Tinggallah sang bidadari berdiri lunglai dengan kesedihan tak terperi. Dibalik genangan air matanya yang bening, ia memandangi saudara-saudaranya yang terbang melayang hingga bayangannya hilang dari pandangan. "Oh, Dewata SeuwwaE. Akkalarapangeng aga tongengsa kasi'na mupalEtEiyangngi atammu.. Agana gau'ku..?" (Oh, Dewata yang Tunggal. Cobaan apa gerangan yang Engkau timpakan pada hambamu ini..Apalah lagi dayaku kini ?), rintihnya memelas. Sepasang mata dari balik rerimbunan melati menyaksikan peristiwa itu dengan suasana hati tak menentu. Sampuraga telah berada di tempat sejak tadi. Rasa bersalah dan iba bercampur dengan takjub kini mengaduk-aduk hatinya.Dengan hati-hati ia keluar dari persembunyiannya, seraya mendekati Sang Dewi.

"Duhai, Sang Dewi. Apa gerangan yang membuatmu berduka ?", tanyanya dengan lembut. Sang Dewi mengangkat wajahnya seraya memandang Sampuraga dengan matanya yang bersinar teduh bak purnama. Pemuda yang dihimpit sepi itu terpana. "Sungguh, ini bukanlah sepasang mata.. melainkan sepasang bulan khayangan..", batinnya. "Aja'na takkutana, pau bawangni.. Aga sitongenna pattujungta ?" (Usahlah ditanya, katakan saja.. Apa gerangan yang kau inginkan ?), kata Sang Dewi balik bertanya. Entah dengan ramuan kosa kata yang bagaimana lagi kiranya dapat menggambarkan perasaan Sampuraga ketika itu. Seorang jejaka "canggung" yang sedang jatuh hati pada pandangan pertama.., lalu "ditodong" dengan pertanyaan tanpa basa-basi. 

Dipanggilnya segenap daya hidup dalam dirinya. Sampuraga menjawab dengan suara gemetar, seakan bukan bibirnya yang berucap, melainkan sukma jiwanya yang berkata, "Iyya tongeng minasaE, upangolo ri cappa ajEta lettu' ri cappa' gemme'ta. Uporennu pasitonrai melle' temmaggangkaaku lao ridi', nasimata marEllau assimang lao ri sEsE alebbirengta.." (Maksudku yang sesungguhnya, kuhadapkan di ujung kaki hingga di ujung rambutmu, tiada lain harapan kasihku yang tiada terhingga kepadamu, seraya kumohonkan maaf terhadap kemuliaan dirimu..). Ia mengutarakan hasratnya dengan penuh kerendahan hati. "Iya sia minasakku, mattonra jari tokki, lEtE ri Manipi"(Adalah yang menjadi harapanku, berpegangan tangan denganmu, hingga ajal menjemput..).. 

Inilah keajaiban bahasa !. Amarah yang meluap, padam seketika oleh tutur kata yang lembut nan halus. Seni sastra yang terkandung dalam setiap bahasa, mampu membuka pintu hati bagi setiap nurani. Namun yang lebih ajaib lagi adalah : Cinta. Sebuah rasa yang mengalir lembut pada sungai ketulusan. Namun arus derasnya mampu menghanyutkan setiap mahluk yang memiliki hati, bahkan seorang dewi khayangan sekalipun. Tetapi yang lebih berkuasa diatasnya, adalah : Jodoh. Sebuah ketentuan yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa terhadap mahluk-mahlukNya. "Tellu tenre' lEsangenna, Totoo'E na WErEwE, enrengngE Pura makkuwaE.." (Tiga hal yang tak dapat dielakkan : jodoh, rezeki dan nasib).

Cinta pada pandangan pertama, itulah yang terjadi pada kedua mahluk yang berasal dari alam berbeda itu. Jodoh adalah aturan yang tak terbantahkan. "Mauni luttu massuwajang, riwrinna bittaraE, nasilolongeng mua.." (Walau terbang jauh ke angkasa, hingga di tepian langit sekalipun, akan saling mendapatkan jua..). Segalanya tumbuh bersemi seketika itu juga. Sang Dewi menyambut kasih anak manusia itu dengan kekaguman hati yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang aneh, sesuatu yang medebarkan jantung dan semangat hidupnya yang sebelumnya dihimpit cemas dan kekhawatiran. Kini ia merasa tentram dan damai didekat pemuda itu. Lupalah dengan rasa sedihnya, sirna tak berbekas.. "Iya engkamu manguju, Matteta' waju mua, temmatimumpaju.." (Dikala dikau mengutarakan cintamu, Jiwaku terasa segar bugar...), sambutnya dengan suara rendah, hampir tak terdengar. Kemudian disambungnya lagi, "Jorii allempuno mai, mulise' Saoraja, muparEwa panrE.." (Duhai garis menujulah kemari, mulia bagai penghuni istana, kearifan para orang bijak ...). Maksudnya tiada lain : kuterima pinanganmu, karena dikau berbudi luhur nan mulia serta arif lagi bijaksana...).

"NaEkia engka parEllaukku lao ridi', Daeng. IyyEtona sompata lao ri alEku.." (Namun adinda memiliki satu permintaan padamu, kanda. Ini pulalah yang menjadi maharmu terhadapku..", ujar Sang Dewi. "Tapauni,ndi'. Aga parEllautta ?. Nasaba' iyaro mai melle'ku, tebbuluu tettanEtE, lappaa maneng muwa.." (Katakanlah, dinda. Apa gerangan permintaannmu ?. Karena kasih mesraku padamu, bukanlah gunung dan perbukitan, melainkan dataran yang lapang jua..), sahut La Sangpuraga dengan hati yang berbunga-bunga, menebarkan keharuman yang lebih semerbak dari seluruh kembang melati yang tumbuh di Lembah itu. "Naiyya uwEllau ridi', DaEng, aja' lalo tateppui asengku.Namoo sisengmuwa. Nasaba' akko tateppui, tatteppanitu taro assarangengta.. iyamiro bawang."(Adapun permintaanku, kanda.. Jangan pernah menyebut namaku. Walaupun cuma sekali. Karena apabila kanda menyebutnya, maka jatuhlah takdir perpisahan kita. Hanya itu..).

Alangkah leganya hati La Sangpuraga. Dikiranya permintaan Sang Dewi adalah sesuatu yang mustahil, misalnya mengeringkan telaga didepannya. Tanpa berpikir panjang dia menyanggupi permintaan itu. Namun dia bertanya jua,"Niga mEmeng palE aseng malebbita, ndi' ?. Tapauwangnga' EbarE' uwissengngi nadE urampEi" (Lalu siapakah namamu yang sebenarnya, adinda ?. Sebutkanlah agar kanda mengetahuinya untuk tidak menyebutnya..). Sang Dewi menunjuk pada rumpun bunga melati yang bermekaran, "Naiyya asengku, pada balona iyaaro unganna bunga-bungaEdE.." (Namaku adalah warna yang sama dengan warna kembang itu..), jawabnya.

Pada Akhirnya ...
Kedua inzan itu akhirnya dinikahkan oleh takdirnya. Mereka tinggal menetap di tempat sunyi itu dengan saling berbagi kasih. La Sangpuraga kini bukan lagi seorang pemuda yang pemurung dan penyendiri. Hari-harinya kini terasa bermakna. Tiada lain yang dipikirkannya selain membahagiakan isterinya tercinta. Begitu pula dengan Sang Dewi, ia menerima limpahan kasih suaminya dengan hati yang senantiasa memekarkan bunga tak bermusim. Mappammulani siampalu', Sitakka wiring lipa', Sisompung wEluwa' (Hatinya telah tertaut saling membelit bagai jalinan, menjelma dalam cinta kasih yang teramat dalam, bagai rambut yang saling menyambung..).

Saat demi saat, berkumpul dalam himpunan waktu.. Waktupun merambat hingga menamakan diri sebagai suatu masa. Pasangan yang berbahgia itu kini dikarunia seorang anak perempuan yang amat manis. Mereka menamai puteri buah hatinya itu, We Dalauleng. Pada suatu hari, La Sangpuraga sedang meraut rotan di depan rumahnya. Puterinya sedang asyik bermain-main didekatnya. Sementara itu, isterinya sedang mencuci pakaian di pinggir telaga, tidak jauh dari tempat itu. Tiba-tiba We Padauleng menjerit seraya menangis sambil memegangi jari tangannya. Ia teriris belahan rotan yang telah diraut ayahnya. La Sampuraga terkejut dan segera menggendong puterinya. Namun alangkah terkejutnya lelaki itu ketika melihat darah yang mengucur dari luka di jari puterinya berwarna putih seperti getah pohon Ara !. "Mabussa daraana !" (Darahnya berwarna berwarna putih !), teriaknya tanpa sadar. "Bussa"sesungguhnya adalah kosa kata Bahasa Bugis kuno yang kini berganti menjadi "PutE", berarti : Putih.

Mendengar teriakan La Sangpuraga, Sang Dewi meninggalkan cuciannya lalu merengut dan mendekap puterinya dengan air mata bercucuran. Ia menciumi We Dalauleng sambil menangis terisak-isak dengan hati hancur, dilanda sedih yang teramat mendalam. La Sangpuraga menyaksikan itu dengan terheran-heran. Belumlah usai terkejutnya melihat darah puterinya yang berwarna putih, kini isterinyapun bertingkah aneh. "Apa gerangan yang terjadi, Adinda ?", tanyanya cemas. "Kanda Sangpuraga yang tercinta. Mungkin tanpa kau sadari, kau baru saja menyebut namaku yang berarti tibalah masanya takdir memisahkan kita..", jawabnya sambil menangis. Bagai petir yang menyambar di telinganya, seperti itulah yang dirasakan La Sangpuraga ketika itu.. Ia terdiam bagai patung dan menerima puterinya yang diangsurkan isterinya yang bergegas naik ke rumah. Pandangan matanya kosong, bagai kehilangan kesadarannya.

Entah apa yang dicarinya diatas rumah, namun agknya tidak didapatinya jua. Sang Dewi berlari menuruni tangga dengan air mata yang menggenang pada wajahnya yang jelita. Tiba-tiba Sangkuraga teringat sesuatu serta mendapatkan kesadarannya kembali. "Percuma kau cari selendang itu, Adinda. Aku sudah membakarnya beberapa waktu yang lalu..", katanya dengan sedikit harapan yang terlintas pada mendung pikirannya. Sang Dewi memandangi dalam-dalam lelaki yang dicintainya itu seraya tersenyum pedih. "Ketiadaan selendang itu bukanlah halangan bagi takdir perpisahan kita, suamiku. Karena sesungguhnya ini bukanlah kemauanku.. melainkan kehendak DEwata yang Tunggal. Selamat berpisah, suamiku tercinta. Jaga dan rawatlah anak kita dengan sebaik-baiknya..". Setelah mengatakan kalimat terakhirnya itu, ia berlari menuju sebatang pohon besar yang tumbuh didekat batu datar di pinggir telaga. "ibuu.. jangan tinggalkan akuu..", jerit We Dalauleng menggenaskan. "Jangan tinggalkan kami, isteriku...", pinta La Sangpuraga yang terdengar bagai keluhan semilir angin yang berlalu..

Wanita khayangan yang malang itu berlari dan berlari dengan hati bagai teriris sembilu mendengar jeritan suami dan puterinya tercinta. Ketika semakin mendekati pohon besar itu, tiba-tiba batang pohon itu terbelah. Sang Dewi masuk kedalamnya. Perlahan batang pohon yang terbuka menyerupai rongga itu mulai tertutup. La Sangkuraga yang sedang menggendong puterinya berlari mengejar untuk menarik keluar isterinya dalam lubang pohon itu. Namun upaya terakhir itu terlambat.. tangannya hanya mampu meraih beberapa helai rambut Sang Dewi yang kini tidak nampak lagi didalam rongga pohon yang tertutup rapat.. Ia berlutut dan menjerit sejadi-jadinya, seraya memanggil nama isterinya yang tercinta. "Ooo..Bussaaaaaa...", puterinya ikut menangis dalam dekapannya. 

Entah berapa lama ia berlutut sambil mendekap puterinya yang entah tertidur atau pingsan.. Petir sambung menyambung menyambar seakan ingin melebur lembah yang dilanda duka itu. Tiba-tiba terpancar sinar pelangi dari batang pohon besar didepan La Sangpuraga. Tercium aroma keharuman yang semerbak mewangi, ..aroma keharuman tubuh isterinya yang amat dikenalnya. Terdengarlah suara isterinya yang seakan datangnya dari segala arah. "Kakanda, tabahkan hatimu. Ada pertemuan, berarti ada pula perpisahan.. Inilah ketentuan takdir yang ditetapkan oleh Dewata SeuwwaE terhadap kita. Namun janganlah khawatir, kelak akan tiba waktunya bagi kita berdua untuk bersama selamanya. Maka untuk sementara ini, peliharalah puteri kita sebagai wujud tunas kita berdua. Jika suatu saat ia merindukanku, maka bawalah ia kebawah pohon ini.. ia akan merasakan kehadiranku...". Lelaki malang itu mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun. Kerongkongannya terasa tercekik, dadanya terasa sesak oleh haru dan sedih yang seakan meluluhlantakkan jiwanya.....Lao mani' uwissengngi, AlEku natarana', Sara ininnawa (Setelah kepergianmu barulah kutahu, Jika diriku kini dilanda sedih, Derita batin yang tak berkesudahan...)

La Kuttu-kuttu Paddaga


La Kuttu-kuttu Paddaga adalah nama seorang pemuda yang gagah dan tampan. Ia adalah seorang yang sangat ahli bermain sepak raga, sebab pekerjaannya setiap hari tiada lain hanyalah bermain sepak raga bersama teman-temannya. Pada suatu hari ia diajak oleh teman-temannya bertandang ke desa tetangga untuk bermain sepak raga melawan para pemuda disana. Dan, secara kebetulan lapangan yang digunakan untuk bermain berada di dekat rumah seorang gadis penenun.

Setelah beberapa lama bermain, La Kuttu-kuttu Paddaga merasa haus. Oleh karena rumah yang terdekat dari lapangan bermain adalah rumah sang gadis penenun, maka ia segera menuju ke sana dengan maksud hendak meminta air minum. Setelah naik ke rumah dan bertemu dengan sang gadis yang sedang menenun diserambi, La Kuttu-kuttu Paddaga lalu berkata, “Bolehkah saya meminta air barang seteguk?”

Si gadis yang waktu itu kebetulan sedang sendiri, segera menjawab, “Maaf, langsung ambil sendirisaja di dapur. Saya belum boleh keluar dari alat tenun ini, sebab benangnya baru saja dikanji.”

Setelah mendapat izin darisang gadis, La Kuttu-kuttu Paddaga segera ke dapur untuk minum. Waktu kembali dari dapur dan melewatisang gadis, ia secara basa-basi bertanya, “Sarung siapa yang engkau tenun?”

“Ya, sarung kita,” jawab gadis penenun singkat.

“Ow. Ya sudah, terima kasih sudah memberisaya minum,” kata La Kuttu-kuttu Paddaga berpamintan untuk melanjutkan bermain sepak raga lagi.

Sambil berlalu darirumah itu sebenarnya ia selalu mengingat kata-kata terakhir sang gadis yang menyatakan bahwa sarung itu adalah “sarung kita”. Dalam pikirannya, apabila sarung itu adalah “sarung kita”, maka sarung itu adalah sarung milik mereka berdua. Dan, darisitulah timbul niatnya untuk mengawinisang gadis. Namun, ia tidak mempunyai uang untuk melamarnya, sebab ia tidak bekerja alias pengangguran.

Beberapa waktu kemudian, sebelum La Kuttu-kuttu Paddaga sempat mencari uang untuk meminang, tiba-tiba ada seorang pemuda kaya yang telah memiliki pekerjaan datang meminang pada orang tua si gadis. Mendapat pinangan dariseorang pemuda kaya, tentu saja orang tua gadis itu menerimanya dengan senang hati. Sementara si gadis yang akan dikawin sebenarnya merasa tidak suka melihat pemuda itu, sebab ia tidak gagah dan buruk rupa. Namun, karena orang tuanya memaksa, maka ia pun akhirnya mau menerimanya.

Singkat cerita, perkawinan antara si pemuda kaya dengan si gadis penenun pun dilaksanakan. Setelah kawin, karena adat istiadat waktu itu melarang pengantin baru berhubungan intim sebelum empat puluh hari perkawinan, maka mereka tidak boleh tidur sekamar hingga waktu yang ditentukan berakhir. Beberapa harisebelum masa pantang itu berakhir, si perempuan menyuruh adik laki-lakinya untuk menyembelih seekor ayam. Setelah ayam disembelih, ia meminta bagian tembolok ayam tersebut untuk dibawa ke kamarnya. Tembolok itu kemudian digembungkan lalu dikeringkan dan disimpan di bawah tempat tidurnya.

Ketika adat pantangan berhubungan intim telah berakhir, pada malam harisang suami mulai masuk ke dalam kamarnya. Saat sang suami mematikan lampu dan ingin melampiaskan nafsunya, cepat-cepat si gadis mengambil tembolok kering dari bawah tempat tidurnya.

Tembolok itu kemudian diapitkan di pahanya, sehingga secara samar-samar terlihat seperti alat kelaminnya. Terkecoh melihat “alat kelamin” isterinya yang menjijikkan dan berbau sangat busuk, sang suami menjadi kaget setengah mati. Nafsu birahinya menjadi hilang seketika dan tengah malam itu juga ia pulang lagi ke rumah orang tuanya.

Sesampai dirumah, orang tuanya yang tengah tidur menjadi terkejut. Dan, dengan mata yang masih setengah terbuka, ayahnya bertanya, “Mengapa engkau pulang, nak?”

“Wah, rugisaya kawin, ayah.” Jawab si pemuda.

“Kenapa? Ada apa dengan isterimu?” Tanya ayahnya.

“Maksud saya kawin adalah untuk memperoleh keturunan. Namun, yang saya peristeri hanyalah seorang perempuan yang telah keluar poros.” Jawab anaknya. 

Mendengar jawaban itu, ayahnya segera berkata, “Ya, lebih baik kau ceraikan saja isterimu itu!”

“Baiklah. Tetapisaya sudah malu untuk kembali ke sana lagi. Bagaimana kalau ayah saja yang menceraikannya untukku?” tanya si anak.

“Ya, baiklah kalau begitu. Besok pagi aku akan ke sana.” Jawab ayahnya.

Keesokan harinya, pagi-pagisekali ayah si pemuda sudah berangkat ke rumah besannya. Setelah sampai dan bertemu besannya, tanpa berbasa-basi lagi ia langsung mengutarakan maksudnya. Ayah si perempuan yang sebenarnya sama sekali tidak mengerti duduk persoalannya, namun ia juga tidak ingin berbasa-basi, segera saja menyetujui permintaan talak dari besannya. Dan, saat itu juga terjadi perceraian antara si pemuda kaya dengan si perempuan penenun. Jadi, walau telah menjadi janda, perempuan penenun itu tetap seorang gadis karena belum pernah sekalipun ditiduri oleh mantan suaminya.

Setelah mantan besannya pergi, ayah si perempuan segera memanggil dan memarahinya, “Kau apakan suamimu tadi malam sehingga mertuamu begitu panas hati?”

“Mana saya tahu, ayah. Andaikata ada perkataan saya yang menyakiti hatinya, tentu ayah juga akan mendengarnya sebab kita tinggalserumah. Mungkin memang beginilah nasib apabila seorang isterisudah tidak disukai lagi oleh suaminya.” Jawab perempuan bersandiwara.

Beberapa waktu kemudian, La Kuttu-kuttu Paddaga mendengar kabar bahwa perempuan idamannya itu telah bercerai. Untuk memastikan kebenarannya, ia pun segera bertandang ke rumah si perempuan. Sesampai disana, ia segera mendatangisi perempuan yang waktu itu sedang menenun seorang diri. Setelah saling berhadapan, ia langsung menanyakan perihal perceraian yang dialamisi perempuan beberapa waktu yang lalu. pertanyaan itu dijawab sejujurnya oleh si perempuan dan akhirnya terjadilah percakapan yang cukup lama diantara mereka. Dalam percakapan itu, si perempuan menjelaskan hal-ihkwal perkawinannya dengan si pemuda kaya dari awal hingga akhir.

Setelah mendapat penjelasan yang sangat lengkap dari perempuan itu, akhirnya La Kuttu-kuttu Paddaga menyatakan ingin mengawininya. Si perempuan pun setuju, namun ia baru bersedia kawin setelah masa idahnya habis, sekitar 3 bulan lagi. Dan, selama masa idah itu La Kuttukuttu Paddaga diharapkan oleh sang perempuan untuk mencari uang guna membeli mas kawin.

Namun, karena ia sudah berstatus janda, maka jumlah mahar atau mas kawin yang harus disediakan tidak perlu sebanyak apabila ia masih gadis. Oleh karena jumlahnya tidak seberapa, dalam waktu singkat La Kuttu-kuttu Paddaga sudah berhasil mendapatkan uang untuk membeli mas kawin. Setelah masa idah si perempuan habis, La Kuttu-kuttu Paddaga datang pada orang tuanya dengan maksud untuk meminang anaknya.

Dan karena anaknya sudah menjadi janda, orang tuanya pun segera menerima pinangan La Kuttu-kuttu Paddaga tanpa meminta syarat yang bermacam-macam. Singkat cerita, mereka pun kemudian menikah dan hidup bahagia. La Kuttu-kuttu Paddaga merasa bahagia karena telah berhasil mempersunting perempuan pujaannya, walau sudah menjadi janda. Sedangkan si perempuan juga merasa bahagia karena idamannya untuk memperoleh seorang pemuda yang gagah dan tampan telah terwujud, walaupun ia harus kawin dulu dengan seorang pemuda yang buruk rupa.

Legenda

Penghuni Lembah 

Alkisah di Negeri Tompotikka, seorang pemuda tinggal menetap pada sebuah lembah. Namanya La Sangpuraga. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya dan mengapa ia tinggal menyendiri pada tempat sunyi itu. Setiap pagi hari ia senantiasa duduk berdiam diri diatas sebongkah batu besar yang terletak di pinggir telaga depan rumahnya. Tiada lain yang dilakukannya selain merenungi rerimbun bunga melati yang tumbuh liar di pinggir telaga itu. Lalu senja hari telah tiba, pemuda berparas tampan namun berwajah murung itu melangkah gontai menuju kembali ke rumahnya... Burung-burungpun kembali ke sarangnya, dikala permukaan telaga kini bermandikan sinar lembayung senja, pertanda matahari beranjak ke peraduan malamnya.

Sang Rembulan telah menampakkan diri seraya berkaca tanpa kata dipermukaan telaga yang tenang. Sampuraga menatap sendu pada sang dewi malam itu. Ooh, Sang Dewi.. Kau hanya menjenguk telaga cermin dirimu, bukan mengunjungi diriku.., keluhnya pedih. Perlahan ia meniup sebatang suling bambu yang digenggamnya sejak tadi. Bukan mulutnya yang meniup, melainkan hatinya. Bukan pula irama sulingnya yang berlagu, melainkan nuraninya. Alunan getar rasa gundah itu mengalun lambat memenuhi seantero lembah sunyi itu. Perasaannya yang gundah gulana menggetar lembut hingga membubung tinggi, mengusik Sang Rembulan yang sedang merenungi wajahnya yang pucat... Bunyi tiupan itu terasa mendayu-dayu, memetik dawai sukmanya yang dingin membeku selama ini. Duhai, Irama suling. Siapa gerangan peniupmu ?, bisiknya bersimbah air mata yang berjatuhan menimpa rerimbunan melati yang menebar keharumannya. 

Sinar sang rembulan perlahan meredup. Irama suling yang mendayu-dayu merintih menyedot segenap sukmanya. Malam purnama penuh mulai gelap. Burung-burung malam dan serangga mulai ribut, menjerit tak beraturan. Penduduk yang menghuni perkampungan dibalik lereng lembah mulai khawatir.Rembulan adalah sumber kehidupan yang menjaga keseimbangan alam dikala matahari sedang tertidur. Serentak mereka mengambil alu seraya menumbuk-numbukkannya pada lesung kayu yang mereka miliki. Bunyi alu itu bertalu-talu hingga lama kelamaan membentuk irama tersendiri. Nada yang terhimpun oleh orang sekampung itu menghentak, menggugah sang rembulan yang terhanyut digulung alunan seruling Sampuraga. "Narippungni paimeng bannapatinna, napaddepungengngi lE' sumange'na..", ditangkapnyalah kembali jiwanya, seraya menghimpun kembali semangat hidupnya.. Cahayanya mulai bersinar kembali, lembut menyapu alam raya yang mulai terlelap dalam mimpi tidur malamnya.

La Sangpuraga menghentikan tiupan serulingnya. Iapun tergugah oleh bunyi tumbukan lesung dari lereng gunung seberang lembah. Pemuda itu merebahkan diri pelataran batu datar yang didudukinya. Matanya menatap jauh keatas langit malam, seakan mencoba menembus rerimbunan bintang-bintang berkelip. Angannya melayang jauh membubung tinggi hingga tersangkut entah dikhayangan lapis berapa.. Matanya terpejam seraya beranjak memasuki gerbang mimpinya. Sangpuraga tertidur memenuhi fitrah raganya, meringkuk seraya memeluk seruling kesayangannya... 

Pertemuan...

Matahari telah meninggi hingga diatas wuwungan rumah tunggal di pinggir telaga itu. Air mata sang rembulan yang bertebaran dipucuk dedaunan kini menguap entah kemana.. Sang kekasih siang takkan membiarkan deraian air mata dewi pujaannya terjatuh ditelan bumi. Burung-burung terbang berkejaran dengan riangnya. La Sangpuraga tergolek diam dalam tidurnya diatas batu yang tergolek dibawah sebatang pohon yang rindang. Wajahnya yang tampan nampak tenang bagai bayi terlelap dalam buaiannya. Kerut diantara kedua alisnya seakan menguap bersama embun pagi. Garis-garis wajah yang kerap dihimpit derita itu seakan sirna membaur dalam mimpi indahnya. Mimpi apakah gerangan ?.. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis, menandai betapa rupawannya pemuda ini. Tiba-tiba ia tersentak, terbangun dari tidurnya. Aroma mimpi indah telah raib, tersentuh alam nyata. Kerut wajahnya timbul kembali, seakan ikut terbangun dari mimpi tentramnya.

Bunyi kecipak air telaga ditingkahi suara cekikikan wanita, menggugah tidurnya. Nun jauh diseberang telaga yang menyerupai danau kecil itu, beberapa wanita sedang mandi sambil bermain air. La Sampuraga beranjak dari tempatnya, mengendap-endap dibalik rerimbunan melati mendekati mereka. Tak tergambarkan bagaimana indahnya panorama yang terhampar dihadapannya. Tujuh gadis yang luar biasa jelitanya sedang berenang hilir mudik sambil bercanda riuh rendah dengan riangnya. Mereka sama muda dan sama moleknya. Kecantikan yang sempurna, mustahil dimiliki oleh seorang manusia. Tidak jauh dari tempat itu, seberkas cahaya tujuh warna sedang mendarat dihamparan bebatuan dimana tergeletak pula beberapa carik kain selendang berwarna warni. "Agaknya mereka ini adalah bidadari dari Boting Langi..", pikir La Sampuraga. Tanpa menerbitkan suara, ia mengendap mendekati seraya meraih secarik selendang berwarna putih, kain terdekat yang dapat disodok dengan menggunakan bilah serulingnya. Dengan amat hati-hati, digulungnya selendang tipis itu lalu diselipkan dibalik lipatan sarungnya seraya bergegas menuju kembali ke rumahnya. Disimpannya selendang itu di loteng rumahnya yang tinggi, pada tempat tersembunyi yang hanya ia sendiri mampu membukanya.

Air murni yang memancar langsung dari pertiwi adalah hal yang paling disukai para dewi dari khayangan. Mereka mandi sambil bercengkrama sepuas-puasnya di telaga lembah itu. Tak terasa, waktu semakin merambat cepat. Matahari semakin meninggi, menebarkan sinarnya yang kian memanas. "Adinda semua, matahari mulai terik. Sinar pelangi mulai memudar. Marilah kita naik segera..". seru salah seorang yang rupanya paling tertua diantara mereka. Maka adik-adiknya menuruti dan bersegera kepinggir telaga seraya memasang "Larikkodo", selendang kedewiannya masing-masing. Namun, salah seorang bidadari itu tidak menemukan selendangnya. Saudarinya yang lain ikut mencari kesana kemari, namun tidak menemukannya jua. " Agaknya tempat ini baru saja didatangi manusia. Baunya masih tercium sampai disini.. ", Kata salahsatu bidadari yang dibenarkan yang lainnya. "Pasti orang itu yang mengambil selendangmu, dinda.", kata sang kakak cemas. Tak terbendung lagi, pecahlah tangis sang dewi yang kehilangan larikkodonya. Rasa panik akan ketakutannya akan ditinggal di tempat asing itu menimbulkan kengerian yang tak terbayangkan. "Lalu bagaimana dengan nasibku kini ?", tanyanya disela isak tangisnya.

Saudari-saudarinya tidak dapat berkata dan berbuat lain lagi. "Bersabarlah, adikku. Mungkin ini sudah ketentuan Dewata SEuwwaE (Dewata yang Tunggal) yang menakdirkanmu untuk menjadi tunas baru di Attawareng (dunia) ini..", kata Sang Dewi yang tertua. Akhirnya mereka bergantian memeluk saudarinya yang malang itu, lalu melayang naik ke angkasa mengikuti alur lengkungan pelangi yang mulai memudar.. 

Tinggallah sang bidadari berdiri lunglai dengan kesedihan tak terperi. Dibalik genangan air matanya yang bening, ia memandangi saudara-saudaranya yang terbang melayang hingga bayangannya hilang dari pandangan. "Oh, Dewata SeuwwaE. Akkalarapangeng aga tongengsa kasi'na mupalEtEiyangngi atammu.. Agana gau'ku..?" (Oh, Dewata yang Tunggal. Cobaan apa gerangan yang Engkau timpakan pada hambamu ini..Apalah lagi dayaku kini ?), rintihnya memelas. Sepasang mata dari balik rerimbunan melati menyaksikan peristiwa itu dengan suasana hati tak menentu. Sampuraga telah berada di tempat sejak tadi. Rasa bersalah dan iba bercampur dengan takjub kini mengaduk-aduk hatinya.Dengan hati-hati ia keluar dari persembunyiannya, seraya mendekati Sang Dewi.

"Duhai, Sang Dewi. Apa gerangan yang membuatmu berduka ?", tanyanya dengan lembut. Sang Dewi mengangkat wajahnya seraya memandang Sampuraga dengan matanya yang bersinar teduh bak purnama. Pemuda yang dihimpit sepi itu terpana. "Sungguh, ini bukanlah sepasang mata.. melainkan sepasang bulan khayangan..", batinnya. "Aja'na takkutana, pau bawangni.. Aga sitongenna pattujungta ?" (Usahlah ditanya, katakan saja.. Apa gerangan yang kau inginkan ?), kata Sang Dewi balik bertanya. Entah dengan ramuan kosa kata yang bagaimana lagi kiranya dapat menggambarkan perasaan Sampuraga ketika itu. Seorang jejaka "canggung" yang sedang jatuh hati pada pandangan pertama.., lalu "ditodong" dengan pertanyaan tanpa basa-basi. 

Dipanggilnya segenap daya hidup dalam dirinya. Sampuraga menjawab dengan suara gemetar, seakan bukan bibirnya yang berucap, melainkan sukma jiwanya yang berkata, "Iyya tongeng minasaE, upangolo ri cappa ajEta lettu' ri cappa' gemme'ta. Uporennu pasitonrai melle' temmaggangkaaku lao ridi', nasimata marEllau assimang lao ri sEsE alebbirengta.." (Maksudku yang sesungguhnya, kuhadapkan di ujung kaki hingga di ujung rambutmu, tiada lain harapan kasihku yang tiada terhingga kepadamu, seraya kumohonkan maaf terhadap kemuliaan dirimu..). Ia mengutarakan hasratnya dengan penuh kerendahan hati. "Iya sia minasakku, mattonra jari tokki, lEtE ri Manipi"(Adalah yang menjadi harapanku, berpegangan tangan denganmu, hingga ajal menjemput..).. 

Inilah keajaiban bahasa !. Amarah yang meluap, padam seketika oleh tutur kata yang lembut nan halus. Seni sastra yang terkandung dalam setiap bahasa, mampu membuka pintu hati bagi setiap nurani. Namun yang lebih ajaib lagi adalah : Cinta. Sebuah rasa yang mengalir lembut pada sungai ketulusan. Namun arus derasnya mampu menghanyutkan setiap mahluk yang memiliki hati, bahkan seorang dewi khayangan sekalipun. Tetapi yang lebih berkuasa diatasnya, adalah : Jodoh. Sebuah ketentuan yang digariskan oleh Yang Maha Kuasa terhadap mahluk-mahlukNya. "Tellu tenre' lEsangenna, Totoo'E na WErEwE, enrengngE Pura makkuwaE.." (Tiga hal yang tak dapat dielakkan : jodoh, rezeki dan nasib).

Cinta pada pandangan pertama, itulah yang terjadi pada kedua mahluk yang berasal dari alam berbeda itu. Jodoh adalah aturan yang tak terbantahkan. "Mauni luttu massuwajang, riwrinna bittaraE, nasilolongeng mua.." (Walau terbang jauh ke angkasa, hingga di tepian langit sekalipun, akan saling mendapatkan jua..). Segalanya tumbuh bersemi seketika itu juga. Sang Dewi menyambut kasih anak manusia itu dengan kekaguman hati yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa yang aneh, sesuatu yang medebarkan jantung dan semangat hidupnya yang sebelumnya dihimpit cemas dan kekhawatiran. Kini ia merasa tentram dan damai didekat pemuda itu. Lupalah dengan rasa sedihnya, sirna tak berbekas.. "Iya engkamu manguju, Matteta' waju mua, temmatimumpaju.." (Dikala dikau mengutarakan cintamu, Jiwaku terasa segar bugar...), sambutnya dengan suara rendah, hampir tak terdengar. Kemudian disambungnya lagi, "Jorii allempuno mai, mulise' Saoraja, muparEwa panrE.." (Duhai garis menujulah kemari, mulia bagai penghuni istana, kearifan para orang bijak ...). Maksudnya tiada lain : kuterima pinanganmu, karena dikau berbudi luhur nan mulia serta arif lagi bijaksana...).

"NaEkia engka parEllaukku lao ridi', Daeng. IyyEtona sompata lao ri alEku.." (Namun adinda memiliki satu permintaan padamu, kanda. Ini pulalah yang menjadi maharmu terhadapku..", ujar Sang Dewi. "Tapauni,ndi'. Aga parEllautta ?. Nasaba' iyaro mai melle'ku, tebbuluu tettanEtE, lappaa maneng muwa.." (Katakanlah, dinda. Apa gerangan permintaannmu ?. Karena kasih mesraku padamu, bukanlah gunung dan perbukitan, melainkan dataran yang lapang jua..), sahut La Sangpuraga dengan hati yang berbunga-bunga, menebarkan keharuman yang lebih semerbak dari seluruh kembang melati yang tumbuh di Lembah itu. "Naiyya uwEllau ridi', DaEng, aja' lalo tateppui asengku.Namoo sisengmuwa. Nasaba' akko tateppui, tatteppanitu taro assarangengta.. iyamiro bawang."(Adapun permintaanku, kanda.. Jangan pernah menyebut namaku. Walaupun cuma sekali. Karena apabila kanda menyebutnya, maka jatuhlah takdir perpisahan kita. Hanya itu..).

Alangkah leganya hati La Sangpuraga. Dikiranya permintaan Sang Dewi adalah sesuatu yang mustahil, misalnya mengeringkan telaga didepannya. Tanpa berpikir panjang dia menyanggupi permintaan itu. Namun dia bertanya jua,"Niga mEmeng palE aseng malebbita, ndi' ?. Tapauwangnga' EbarE' uwissengngi nadE urampEi" (Lalu siapakah namamu yang sebenarnya, adinda ?. Sebutkanlah agar kanda mengetahuinya untuk tidak menyebutnya..). Sang Dewi menunjuk pada rumpun bunga melati yang bermekaran, "Naiyya asengku, pada balona iyaaro unganna bunga-bungaEdE.." (Namaku adalah warna yang sama dengan warna kembang itu..), jawabnya.

Pada Akhirnya ...

Kedua inzan itu akhirnya dinikahkan oleh takdirnya. Mereka tinggal menetap di tempat sunyi itu dengan saling berbagi kasih. La Sangpuraga kini bukan lagi seorang pemuda yang pemurung dan penyendiri. Hari-harinya kini terasa bermakna. Tiada lain yang dipikirkannya selain membahagiakan isterinya tercinta. Begitu pula dengan Sang Dewi, ia menerima limpahan kasih suaminya dengan hati yang senantiasa memekarkan bunga tak bermusim. Mappammulani siampalu', Sitakka wiring lipa', Sisompung wEluwa' (Hatinya telah tertaut saling membelit bagai jalinan, menjelma dalam cinta kasih yang teramat dalam, bagai rambut yang saling menyambung..).

Saat demi saat, berkumpul dalam himpunan waktu.. Waktupun merambat hingga menamakan diri sebagai suatu masa. Pasangan yang berbahgia itu kini dikarunia seorang anak perempuan yang amat manis. Mereka menamai puteri buah hatinya itu, We Dalauleng. Pada suatu hari, La Sangpuraga sedang meraut rotan di depan rumahnya. Puterinya sedang asyik bermain-main didekatnya. Sementara itu, isterinya sedang mencuci pakaian di pinggir telaga, tidak jauh dari tempat itu. Tiba-tiba We Padauleng menjerit seraya menangis sambil memegangi jari tangannya. Ia teriris belahan rotan yang telah diraut ayahnya. La Sampuraga terkejut dan segera menggendong puterinya. Namun alangkah terkejutnya lelaki itu ketika melihat darah yang mengucur dari luka di jari puterinya berwarna putih seperti getah pohon Ara !. "Mabussa daraana !" (Darahnya berwarna berwarna putih !), teriaknya tanpa sadar. "Bussa"sesungguhnya adalah kosa kata Bahasa Bugis kuno yang kini berganti menjadi "PutE", berarti : Putih.

Mendengar teriakan La Sangpuraga, Sang Dewi meninggalkan cuciannya lalu merengut dan mendekap puterinya dengan air mata bercucuran. Ia menciumi We Dalauleng sambil menangis terisak-isak dengan hati hancur, dilanda sedih yang teramat mendalam. La Sangpuraga menyaksikan itu dengan terheran-heran. Belumlah usai terkejutnya melihat darah puterinya yang berwarna putih, kini isterinyapun bertingkah aneh. "Apa gerangan yang terjadi, Adinda ?", tanyanya cemas. "Kanda Sangpuraga yang tercinta. Mungkin tanpa kau sadari, kau baru saja menyebut namaku yang berarti tibalah masanya takdir memisahkan kita..", jawabnya sambil menangis. Bagai petir yang menyambar di telinganya, seperti itulah yang dirasakan La Sangpuraga ketika itu.. Ia terdiam bagai patung dan menerima puterinya yang diangsurkan isterinya yang bergegas naik ke rumah. Pandangan matanya kosong, bagai kehilangan kesadarannya.

Entah apa yang dicarinya diatas rumah, namun agknya tidak didapatinya jua. Sang Dewi berlari menuruni tangga dengan air mata yang menggenang pada wajahnya yang jelita. Tiba-tiba Sangkuraga teringat sesuatu serta mendapatkan kesadarannya kembali. "Percuma kau cari selendang itu, Adinda. Aku sudah membakarnya beberapa waktu yang lalu..", katanya dengan sedikit harapan yang terlintas pada mendung pikirannya. Sang Dewi memandangi dalam-dalam lelaki yang dicintainya itu seraya tersenyum pedih. "Ketiadaan selendang itu bukanlah halangan bagi takdir perpisahan kita, suamiku. Karena sesungguhnya ini bukanlah kemauanku.. melainkan kehendak DEwata yang Tunggal. Selamat berpisah, suamiku tercinta. Jaga dan rawatlah anak kita dengan sebaik-baiknya..". Setelah mengatakan kalimat terakhirnya itu, ia berlari menuju sebatang pohon besar yang tumbuh didekat batu datar di pinggir telaga. "ibuu.. jangan tinggalkan akuu..", jerit We Dalauleng menggenaskan. "Jangan tinggalkan kami, isteriku...", pinta La Sangpuraga yang terdengar bagai keluhan semilir angin yang berlalu..

Wanita khayangan yang malang itu berlari dan berlari dengan hati bagai teriris sembilu mendengar jeritan suami dan puterinya tercinta. Ketika semakin mendekati pohon besar itu, tiba-tiba batang pohon itu terbelah. Sang Dewi masuk kedalamnya. Perlahan batang pohon yang terbuka menyerupai rongga itu mulai tertutup. La Sangkuraga yang sedang menggendong puterinya berlari mengejar untuk menarik keluar isterinya dalam lubang pohon itu. Namun upaya terakhir itu terlambat.. tangannya hanya mampu meraih beberapa helai rambut Sang Dewi yang kini tidak nampak lagi didalam rongga pohon yang tertutup rapat.. Ia berlutut dan menjerit sejadi-jadinya, seraya memanggil nama isterinya yang tercinta. "Ooo..Bussaaaaaa...", puterinya ikut menangis dalam dekapannya. 

Entah berapa lama ia berlutut sambil mendekap puterinya yang entah tertidur atau pingsan.. Petir sambung menyambung menyambar seakan ingin melebur lembah yang dilanda duka itu. Tiba-tiba terpancar sinar pelangi dari batang pohon besar didepan La Sangpuraga. Tercium aroma keharuman yang semerbak mewangi, ..aroma keharuman tubuh isterinya yang amat dikenalnya. Terdengarlah suara isterinya yang seakan datangnya dari segala arah. "Kakanda, tabahkan hatimu. Ada pertemuan, berarti ada pula perpisahan.. Inilah ketentuan takdir yang ditetapkan oleh Dewata SeuwwaE terhadap kita. Namun janganlah khawatir, kelak akan tiba waktunya bagi kita berdua untuk bersama selamanya. Maka untuk sementara ini, peliharalah puteri kita sebagai wujud tunas kita berdua. Jika suatu saat ia merindukanku, maka bawalah ia kebawah pohon ini.. ia akan merasakan kehadiranku...". Lelaki malang itu mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepala tanpa menjawab sepatah katapun. Kerongkongannya terasa tercekik, dadanya terasa sesak oleh haru dan sedih yang seakan meluluhlantakkan jiwanya.....Lao mani' uwissengngi, AlEku natarana', Sara ininnawa (Setelah kepergianmu barulah kutahu, Jika diriku kini dilanda sedih, Derita batin yang tak berkesudahan...)

Bombange Si Lacu Lacu


Mabela riWattang, macella Matanna Essoe ri linrunna allung manipi. Engka sirombongeng campong luttu rewe' risarenna. Cenga i Lakile makkita ri langi'e. De'pa gaga tanra-tanrana melo turu' bosi e matu' ko bajai, yare' gi ko wenni. Mallesse, tana e ri galungnge. Dua ni tedong na Kapalae, Pup Punna polo ajena nala lesse' tana. Tellu mpulenni namo to si tetti wae bosi turung de' to gaga, nataro serrang.

Gilingngi makkita ri ledengnge, maka nessa paita ceppe'-ceppe' e mallaga sibawa bale ogie sipulung risebbo-sebbo e pappada ko yattungkat taro. Wae ledengnge tellu mpulengnge labe' e, massolo' na maka cinnong. Makkokkoe, pappada mani benrangnge penno lunnya'.

Tassiddi-siddi mani paita sebbo-sebbo, na pennoi bale. "Allahu puangku, paccallang aga Mu pakengka kasi' ri wanue. Aga na kasi' nakkatuoi atamMu ko toliserrammi makkoe"metto' ri laleng atinna, pappada to ko nasesse' i alena toli monromi mattajeng bosi, nade' isseng panna pole. Taun riolo, situju-tuju bosi e wettu mattanengngi tauwe, nomo to makkowairo ri wettu mappammulai mellise' asena, nalai cella' pance'. De'na genne' seppulo wesse ise'na 'Lakawu-kawu' siddi hetto loanna. 'Lakawukawu' aseng pattelerenna ganunna Pup Punna ri Kaboe, Kulo. Siddi-siddinna galunna Pup Punna ri Kaboe. Ia tona ro wedding na pammanareng lao okko siddi-siddinna ana' aroane na ri tella e Lakile.

"Kile.... o.. Kile, labuni essoe na'. Tollisuna, mapettangngi matu", takkitte' Lakile igorai asenna. Gilingngi mitai ambo'na. Jokkani Pup Punna tottongngi bingkunna leteii pitawu mangolo ri bolana. Makkalurung ajena nataro pella esso, de' na pada tellu mpuleng labe'e, na doko' bungka, menre' ri pitawu e, nappa no lore' ajena mabbise ri wae mallojangnge, lojangngi ajena.

"Lao are' ga' sompe' mbo...."mappammula adai Lakile ri wettu tudanngi manre sibawa ambo'na.
"Meloko lao kega?"mette'i PurRiwu, baene na Pup Punna, Indo'na Lakile. De' gaga mette'.
"Jaji, moloko salaika'? Baenemu.... ana'mu....?"mabbalulu' pakkutanana PurRiwu.
Cuku'mi Lakile mitai wette bale ceppe'e, natikkengnge ri ledengnge onna' esso e. Tassisengsiseng na timpu nanre gesara'na, samanna mattawa lima gesara'e, siddi werre'na. Macella pada tana tappa purae lae peppe'peppe'. Meloni yaga, mapeddi'i werre' e.

"Em....meloka' lao siwali'. U rencanai bawa i manittutta sibawa appota".
De' naseddingngi maddunu wae matanna PurRiwu massolo' pada wae bosi e. Bosiri matanna de' mo na melo mancaji bosiri galungnge. Samanna nasedding laisitta' nyawana mangkalingae adanna ana' aroanena.
'Tongggh....tongggh...tonggggghh..', bekka tellu moni gandongnge lai tette' lappa ri bola rondangnge.
"Ah... tette telluni, mhh", laleng atinna. Denniari ni de'pa na maelo lennye paringngerranna, matinro. Purasi napikkiriki, napikkiriki mosi. Massiddi ni atinna, na pallebu pakkelorenna.

Ada-ada mi na to tau. Riolopa na riolo, ko engka na puelo, naggangkullei nalolongeng. Ko makkakdai pute, pute polena, ka makkadai celle', cella jajinna. De'na gaga parellu lai pikkirisi, de'na gaga wedding matteangngi. Dua tellu esso matu', jokkai lao Pare-pare tonang lopi, sompe lao siwali', kamponna tauwe. Sitongenna duam penni labe'e, puranisipekke ipana tella e La Suebe', Laburoncong sibawa Lanure'.

"Daeng, aja' tallupaika ko jaji ki' lao siwali' ", naingngerrangngi pasenna Wa' Ali.
"Taro moi irita matu', esso Araba' pi nai tanai juragangnge, makkada siaga ni lurenna lopi e. Insya Alla, ko weddim mopi accio mokki' ", jancinna wettu e ro.

'Kok ko rik ko kooouu..', moni manu' lainna Pu Punna. Pute kinnong, sigaru cella maridi mattappa matanna esso massu ri cappa' langi matteru tama ri bole e lalo rirenring tabba tassia' e. Timpa' nisiangnge, pammulai esso mapella pappada i wenni'.

Gilingngi mitai onrowang tinrona baena na. Angkanguluanna mani monro sibawa leppi lipa' bate'na. Namo ana' makkunrainna de' toni gaga. Naulle lao manenni bujungnge massessa na dio to. Duae ana' oranena engka mopi matinro, siddi mangkangulu lao wattang, siddi lao rijang. Ana'na baiccu'e, pitut taung itella e La Japani maggalingking maelo sidapi uttuna na sadanna. Engka bebekkelo marakko ri pili'na, pappada nyareng mekkalangnge. Cabbiru' i Lakile mitai ana' paccucuanna.

"Tenna podo malampe mana sunge'mu na', mu mancaji tau deceng", doanna laleng ati. Tellu ni ana'na na jajiang, sipunge'na siala Irantji. Ana'na macoa e makkunrai itella I Hita, gance' bulu mata, maggere tellu allonna, cawa' si wali pilina. De'pa gaga saingi ana'dara na ri Kaboe wettu e ro. Ana'na lomoro' dua e burane, na tella i La Panco, maka betta' na. De' nengka nasserang petta'na, namoto matinro.

Moto'i Lakile matterru napakaisulara' puru'na sibawa lipa'na. Naludungngi lipa' tinrona nappa nakalemmoi La Japani.
"Macekke' i anana' e...", laleng atinna.
Massuisaliweng watam pola e. De' gaga tau-tau. Matteru lao ri bola dapurengnge, natimpa' loboe. Nalai kopi e pura nappassadia Irantji, nainungngi. Macekke' ni, eke macenning.

Wedding napirasai cenninna golla cella'e. Dua ni uleng de' nengka napirasai golla kessi. Timpu iran(g) lame, macekke' toni. Napu biasanni manre rang lame maele'. Mapperi-peri nacappuri kopinna, nappa tama paeme' malai tappi'na. Maelo i masija' siruntu' La Suebe, nasaba' purai majjanci lao Pare-pare sita juragangna lopi e. 

"Meloki' lao kega Ambo' na Hita?",
makkutanai baenena lisu pole bujungnge wettu no'na ri addengnge.
"Meloka' lao Pare-pare sibawa La Suebe' ".
"Poangngi matu' puang ko engka i",
pasenna nappa jokka. Pu Punna, subu-subu mopi na jokka, ko de' na lao ri dare'na, lao wiri galungna.

Luppe'-luppe' sapedana na langga batu-batu. Iya tomisapada e, waramparanna. Lettu' kega na sea. Engka to nengka, sapedamisea i, nasaba' mabbettu bangna. Mabela mopi, engkani naita La Suebe' tettong ri yawana aju bitti e yolo bolana Wa' Eko. Mengulisa tappana pada ko tau nakenna jamba'-jambang.

"Denre' pa.... mu mattajeng di'? Addapangengnga' le, .... nalaloangnga' tinro", sidapitessidapi nyawanya nataro puru. Kaboe lao Anrellie, lebbi kurang 5 kilo belana. Anrellie, kamponna matuanna.

"Nappa mo deang", mabbali ada i La Suebe mabbelle. Nappa mo naseng, jeppu de'pa na noo manu'e pakkadang, nattajeng ri yawana aju bitti e. "Enre' no me pale', tollao sija' Rappeng. Okko pi mero to tonang oto lao Pare-pare" Luppe' La Suebe' menre ri gandengenna sapedana. Mattiling calaga sapadena. De' gaga mette, mattunru-tunrumirodaisapedana lao Laotang nennungngi wata' tana e, lao Rappeng.

Mabbana pella na wata' tana e na rapi'na Mario. Samanna engka batu meddenge' ri bitina. Sessa'ni wajunna na taro puse'. Dua janni massapeda sigandeng Lasuebe'. Tassiseng-siseng luppe' Lasuebe' no sorongngisapeda e pole monri. Sessa'to wajujunna. Ri wettu mula tuppunna, massalawu pakkitanna mitai bola batu putena Usmang Balo. Tenre uttu'na maingngerangngi mappulo tau mate nassuru(m) puno Usmang Balo. Makkokkoe de'na gaga tau monro ri bola batu putewe saliwenna ula. Engka tau makkada maddatu ni ula monroi bola batu e ro.

De'na maetta nasalainna bola batu putena Usmang Balo, mabbajanni naita kota Rappeng. Makkomo narodana sapedana, paitani babanna Pasa Rappeng.

"Engka ro ota tra' macella' ulunna e, ianaro oto melo lao okko Pare-Pare,
"mette'i Lakile poangngi Lasuebe. Kado bawammi Lasuebe'.
"Tette siaga na ta jokka lao Pare-Pare ndi'?
"makkutana Lakile lao okko sapiri'na ota tra' e.
"Cinampe' pi daeng, ye' ta tajemmokka cinampe'.
"mette' isapiri' e mappattajeng.

De' na metta menre' nisapiri' oto e na pamerrungngi oto tra'na. Merrung pada paberre' werre'na Wa' Tellong. "Enre' ni mae daeng, to jokka."menre'ni Lakile sibawa Lasuebe tudang riolo sedde na sapiri'e.

Lebbi tellu' jang, narapini Pare-Pare. Lasuebe', samannamo menre'na oto e onna' okko Rappeng, matinrona. Macawe' mani Pare-Pare nappa pisedding. Lakile, tassiseng-siseng lennye'to peringerranna matinro, luppe' pi oto e nala galempong na pisedding wukka i matanna nappa matinro si paemeng.

"Eppatta jokka juragang?
"Makkutana i Lakile siruntu'na Juragang Lammo'.
"Sangadi ndi. Siaga ki' melo mattekka?
"Makkutanai paeme Juragang Lammo'.
Tassiddi-siddi jarinna Lakile na pakkemmo mabbilang. Ko jaji wi, alena lima i marana', Lasuebe', Lanure', Laburoncong eppai marana' sibawa Wa' Ali tellu i marana to. Jajiseppulo eppa i ia manenna.

"Ye' seppulo eppaka' sibawa. Pitu tau battowa, pitu anana'."
"Wah...iya hatu anana'e... E...nakenna to tu tampa."mabbalisiJuragang Lammo'.
"Ye' taroni pa', assaleng weddimmui lao maneng." adanna Lakile maccalowo.
"Taroni pale' ko makkuitu, jaji duappulo ki enneng iamaneng matu'." naseng juragangnge mappannessa.

Purana mappasituju, mappattujunni Lakile sibawa Lasuebe' rewe' lao Rappeng. Mapperriperri lao terminal otoe sappa oto lisu lao Rappeng. Naiya to samona, lettu'na terminal e, engka toha oto tra' maelo lao Rappeng. Jaji tonang oto si Lakile dua maripa lisu lao Rappeng. Labu essoe nappa lettu' Rappeng.

"Aja'na na to leppang ri pasae maetta daeng!"mette'i Lasuebe lettu'na Rappeng. Jaji mellimi ico mallangga' Lakile limappulo rupia, maelo nala bokong sompe' matu ko sangadiwi. "Enre'nome pale di'."

Sigandengsi massapeda lisu lao Anrellie. Labuni esso nappa na rapi aju bitti e onroanna mattajeng onna ele' e Lasuebe. De' na pada rejjinna ri wettu laona Rappeng na kol lisui. De' na maega tukareng.

"Akkareppi no pale di' matu. PoangngiWa' Ali ko bajai makkada jaji mui macceo. Baja pi ko ele' i ulao Tellang-Tellang poangngi Laburoncong." "Iye deang."mette' Lasuebe

"Pakkoni pale di'. Assellengengnga lao okko to matoa e. Assalamu alaikum."mabbere sellengngi Lakile nappa nasea sapedana mengju lao Kaboe mappettang-pettang. Malalenni wenni e nappa lettu ri Kaboe. Matinroni manenni ana'na napolei. Engka mopi Pup Punna tudang ri lego-lego e napolei.

"Jaji pammu jokka?"makkutanai Pup Punna, wettu maenre'na Lakile ri bolae.
"Ye' sangadi mbo'."
"Jaji....mupacceo maneng ana'mu?"
"Iye'. Namo Wa' Hemma sibawa Wa' Ali engka to ana'na na pacceo."mabbali adai Lakile.

De'na mette' Pup Punna. Matterruni tama dapurengnge Lakile timpa lobo. Pura naissennni aga okko ri lalenna lobo. Nanre pule' sibawa wette bale na kaju daullame. Nappai napisedding liwasenna. Tassiseng timpu, na takkajenne pikkirisi baja na sangadi e.

"Indo' Hemma', kalemmoi wi ana'mu, aja mu siappessang...", mette'i Lakile paringngerrangi,
Indo' Hemma', baenena Wa' Hemma'. Engkana limang esso, ana'na Indo' Hemma malasa.

Sipunge'na malasa, de' na nengka na tokkong. Sitongenna, ana' paccucuanna Indo Hemma', nappaisitaung umuru'na, menre'namo ri lopi e ri Pare-pare, de' nengka na mawakka. Wettue ro nasemmi mabo' tasi' i, toli tallua. De' nengka na manessa manre. Risedde na, tudangngiIndo'na Hita sipakke'-pakke' ana'na. Malotong maneng timunna ana'na nataro cekke. De'gaga sengngu, mammekko maneng, tassiseng-siseng terrimi ana'na paccucuangnge nataro seleng. Makkegai to matoa e maseleng, naiya lagi anana' e.

Timpa' siangnge, tennangngi paemeng tasi' e. De'na gaga bare', de'na gaga bombang maraja. De' naissengngi oppanna na matinro. Iya mana na pisedding, timpa' manisiangnge. Gilingngi makkita lo ri jurumudi e. Engka mui juragangnge tudang makkatenniri kemudi e.

"Salama'ki' juragang."mette'i Lakile mabbere selleng ri juragangnge.
"Salama'."

"Iya naro iyaseng Tanjong Mangkalia'.., maladde' memeng bombangnge okkoro. Naiyakia, de'na biasanna pada onna' wenni e."mette'iJuragang Lammo mappannessa, namoto de'na ri tanai wi. "Paressai gaare' taummu, de' toga marigaga."

Makkede'i Lakile jokka paressai taunna. Engka manemmui naita ana'na na baenena. Engka mato Lanure, sibawai Lasuebe tudang ri ori'na lopi e. Nasappa'i Laburoncong, engka matui tudang risanreri baenena makkalemmo sibawa ana'na.

"Maga-magamo kasi' ana'mu?"
"Ye' de' nengka na tokkong."mette'iIndo' Hemma'. Mallurui Lakile' mitai ana'na Wa' Hemma'. Matterru nakarawa ajena. Mecekke', samanna pura maddemme ri wae ese'e. Nakarawasi ulunna, mapella. "Ah...masemmengngi ana' mu e." Nappa na koti' kadanga'na pake cappa' indo limanna. Najappi, nawerrungngi ana'na Wa' Hemma', naburai amperengngi. Ia tomiro pakkuraganna to rioloe, napagguruangngi ambo'na. Mammasei Puang Alla Ta ala, biasa mato na pajajiri kampongnge. Naiyakiya, elo' Puang manemmi.

"Insya Alla, pajani tu mesemmeng." adanna Lakile pakkasse'iIndo Hemma'.
Jokka Lakile lao ri ulunna lopi e mattiro. De'pa gaga puttanang naita. Samanna tasi' e de' gaga paccappurenna. Namoto makkoaro, sukkuru' iri Puangnge, nasaba' salama' manengngi lopie sibawa tau tonangengngi. Tenna podo iyana ro wennie paccappurenna na tengnga bombang maraja.

"Panoo isompe' loppo we sija...", gora loppo iJuragang Lammo. Sama gorana juragangnge luppe' sajang lopi pinisi' e na tappo bombang. Anging silaowwang bosi mattappo pole yolo. Samanna sibettu cekke' e lettu ise' buku-buku e. "Jagaiwi anana' e. Aja' gaga sileppessang jarejengnge", gora si juragangnge mapparenta ri tengngana bare' e. Tassiseng-siseng mattappa bombangnge sittanre pangete' bola e ko billa' i.

Guttu pareppa' e tona mappalinge paringkalinga, marajapi oninna naiya oninna bonna Andi Sessu diRijang Tappareng. Engkana siddi uleng labe'na na salai palabuhanna Pare-pare. Manessa mopa naingngerrang ada-adanna Juragangnge makkada, "Ko napuelo' i Puangnge, lebbi-lebbisi uleng, ta lettu ri tana siwali. ".

Wettue ro, maka cakka'na matanna esso e. Samanna matinro tasi' e nataro tennang. Angingnge mabberrung maka nyameng, samanna limanna ana' lolo e maccapu-capu rirupae. Bombangnge silacu-lacu, silellung-lellung pada ana' kacu-e maccule. Masumange'pa r Bombangnge silacu-lacu, silellung-lellung pada ana' kacu-e maccule. Masumange'pa ri sedding, sigaru-garu atinna Lakile mita i pelabuhanna Pare-pare, makomol lao, na pede' baiccu'.

"WOOOOI."
Takkitte Lakile mangkalingaiJuragang Lammo gora.
"Padam malaki' pattimpa. Timpai wi wae e massunang." pada-pada lerru'na ada-adanna juragangnge, malana passero' to mangkalingai i nappa mattimpa. Makkomo ritimpana wae e massu, makkomo tamana si paemeng na taro bombang maraja. De' na gaga bombang silaculacu, pada mani to majjallo'e, Samnna maelo'ni kame' lino e.

"Ooo Puangku, tenna podo Mu passalama' ka' marana' sininna ise' lopi e lettu' ri tana siwali'.." doanna Lakile ri laleng atinna, sibawa de' na paja mattimpa wae massu ri lopi e.

Minggu, 23 Desember 2012

"Andre Mappasompa & Pa'nasa" (cerita lucu)


Suatu ketika, disebuah kampung di bau2... Tinggal ki 1 keluarga Bugis-Makassar Dgn Istrinya yg org asli Bau bau... Nah, Pasangan ini dikarunia Anak yg diberi Nama Andre Mappasompa...Suatu Ketika, saat ingin melanjutkan sekolah ki ke tingkat kls 2 sma dulu, Bicara ki Mappasompa dgn Pace-Macenya.

Andre Mappasompa : Ambo', Amma' tolong ki kemari dulu e... Ada yg mo ka bicarakang

Pace-Mace : Iye'...Ana'ku.. Aga Mu elo Bicarakang?? Aga Ri Elo'mu nak? Podang e iya, to matoang mu.

Andre Mappasompa : Ambo'-Amma', Dekna ki Massiri mita' anak ta iya, i cobii-cobii okko anak na to laeng e ato Tammangku Ma'sekola e...

Pace-Mace : e, magai elok ka masirii mita ko. Iko ana' ku. Ma Ga'ga Tampammu pada e Sultan Hasanudding e'... Salaing itu, U Passekolahko pole mu Biccu...Antekamma ji iko kah?

Andre Mappasompa : tania masala massakola ku elo ka mabbicarai..tapi, masalah Ma Sapada ku...

Pace-Mace : Engka ka Massalanna Sapedannu nak???? madeceng-deceng mo i u Ita i... Engka Na Bang Tubles Na, Engka na Sapionna, engkana To Remna... Yg Penting kan sapedannu mugunakang i Lo Massekola'...

Andre Mappasompa : iya, mega mabbantu iye sapeda e'...tp, okko e sakolahang e, nacawa-cawai ka sibawangku..na asang ka, pada e pabbalu jalangkote e'... Manjadi Massiri ka iya...

Pace-Mace : Magae Naccawa-Cawai ko...Na Normal2 ko u ita i...Engka Ulungmu, engka Parangkalanginnu/Telinga, Engka i Possinnu...Saandainna dekna mu punnai, wajar na cawa-cawai ko sibawang mu... memangna aga ka na ri ola sibawangmu lao okko e sakolahang e???? palingan pada iko nak, masapada tong i.... Lagipulla, engka Na Utaroi Tarompe' Kalakson pada' punna Pabbalu Rotti e. Magai mu Massiri nak???? Na Tania Ko Pabbalu Jalangkotte kang.

Andre Mappasompa : Massiriki ka iya'. karenna sibawangku ma motoro lao okko sakolahang e....

Pace-Mace : Motoro Agaka Na Olla Sibawangmu???? Paling2 Motoro Mattampu e/Vespa kang?

Andre Mappasompa : Tania e Motoro Mattampu e, Tapi "Honda Cariptong/(Honda Crypton)" Na Ola e Sibawangku lao Okko sakolah e, kanja paga motoro na, Malessi Larrinna, pada e motoro loppo na La Duhang(Mike Doohan0 Okko e telepisi e....

Pace-Mace : Motoro Aga ka?Motoro i akbua' i to' jawa e kapang di... dekna sadding u parnah u angkalingga namanna... tapi, na engkanna sapdennu, maga i elo mu pikkiri i... yang penting kan, Tammat ji Massikolah ko nak...

Andre Mappasompa : I Di Kan To' Ogi'-Mangkassa Ki, Masty ki Manggikuti Samboyanna To Riolo e, "Kualleangi Tallanga Natowalia", makanna mesti ki mangikuti modern e to...

Pace-Mace : Aduh na', Dekna Gaga Doi kasi Maaleanggi i layar e.... untuk mapassikolahmu saja , mega ucappukang Galung ku.... Dek na Gaga Doi ku Elliang ko Motoro to' jawa e...

Andre Mappasompa : Na Mega' tu Ulawang na Amma', maga e dekna ta balu... Na, ta Alliang na Motoro Honda Cariptong E pole doi' balukangnna...

Pace-Mace : adu, iye ana'ku dekna gaga parru an sibawa Ambo'-Amma' na... na Ulawang na indo mu Kan, Bkas Panai' Botting riolo..Masa elok i u ballu...

Andre Mappasompa : Tersera Idi de, pokokna bila dekna ta alliangka Motoro Modern Honda Cariptong e, elo' ka Paja' Massikolah...Dek Elo Mu Lanjuti Ki Sakolahku.. Masa tega ki mita anak ta massapeda, sidangkang Pabbalu Nyu'nyang e mammotore ni.... 

Masa iya, i pabeta sibawa pabbalu Nyu'nyang e... teganna Tappa ku' u Pondro.... Dekna  Gaga Tu Mangkundra e elok candring ka...(Pokonya tidak mau ka lanjutkan ki sekolahku kalo kita tidak belikan ka Honda Cariptong....Masa Dikala ka sama Panjual Baso yg suda mamotoro Honda Cariptong Mi, nanti lama2 Panjual Jalangkote jg pake mi itu...katinggalan jaman me ka itu)

Pace-Mace : Iyo-Iyo Nak.... U alliangko asal Makanjakh Sikolammu na.... apabila dekna madeceng sikolammu, u tukkara motoro barunnu sibawa Pompa Sanyo e, labi ma'guna untuk pangampang e... Makanna Pakangjaki tongang sikolammu..karanna masussa tu biayai ko massiikola...dekna magampang mapparole doi' e'..dekna sigampang ma'cabuh' bulu-bulu possi e', sibawa daong pao' e...

Andre Mappasompa : Iyo Ambo'-Amma'..Tongang2 ka Massikolah...

Pace-Mace : iyo2.... Lo ka Jollo Okko Pasa e nak... U Bawa I Tedong, Bembe, Sibawa Bale pole pangempang e... untu mattamba-Tamba' Allinna Motoro Cariptong mu.....

Andre Mappasompa : Mega' tarimma kasih pole iya Ambo'-Amma'...

Pace-Mace : Mace," Arringerang ko tu bila angka na motoro cariptongmu, maccandring ma'candringko sibawa mangkundrai e tp, aja mu Allupai Dirimmu...syapa tau mu pattampu anak na to e'.. Mu Hancurkang nama kaluarnu tu nak... lagian, deppa mu majjama, sa andainnya mattampu i candringmu, aga mu elo' pandre i' sibawa ana'mu...Masa Elokko Pandrei cinta sibawa kassi... Majjalo tu Ambo'-Amma' na candringmu...

Andre Mappasompa : Iye Amma' Tongang ka iya.... Nah. akhirnya dia dibelikang ki kodonk Honda Cariptong.... Knapa ki disebut Honda Cariptong, karema rata2 ki org2 disana dulu na tau kalo Honda ji nama motor.. Jadinya, klo adaki kawasaki,, ya Honda Kawasaki, Klo adaki SuzukiJadi Honda Suzuki. Calon2 Pembalap Ki ini anak2 di.... Kayak Slogannya Doni Tata, " From Zero To Hero", Klo Mappasompa " Polle Massapeda To Mammotoro Honda Cariptong hahahahahahah... malla ki.... Antekamma i doi na pace-macenna... Lucu juga di namanya...Andre Mappasompa...Klo org salah artikan Andre kan makan artinya...jdnya, klo diundang ntar, Lo Ki Andre.... Nati dia jawab Iya, andre asangku....wakkaakkakak

............................................................................................................................

Konon dahulu ada Pajabat dari Pusat yg sedang Kunjungan Kerja dlm perjalanan mampir di daerah Bungoro (Pangkep) bertamu dirumah seorang penduduk.

Karena cuaca yg terik, sang Bapak Pejabat membuka sebagian kancing bajunya sambil mengipas-ngipas dan berkata: "panas... panass...".

Tuan rumah yg tanggap segera menyuruh anaknya bertindak : "O La Baco... laoko malangiBapa'e panasa ri munri bolae. Elo'i kapang manre panasa.." (Baco... ambilkan tamu kita buah nangka di belakang rumah. Barangkali beliau mau makan nangka (panasa=nangka))

La Baco pun segera membawa ke Pak Pejabat bongkahan buah panasa (nangka) yang sudah dibelah, lengkap dengan minyak kelapa di piring kecil agar getahnya tdk lengket di tangan.

Demi menghargai Tuan Rumah, nangkanya disikat habis. Setelah itu Pak Pejabat tak tahan lagi, panasnya sudah luar dalam, beliau berdiri membuka semua kancing bajunya sambil berguman: "tambah panas...!!"

Tuan rumah senang bukan main, karena hidangannya yang murah meriah disukai tamunya, buktinya minta tambah lagi : "Baco... gatti'ko. Alangi paimeng Bapa'e. Maegama tu di munri bolae.. Massipa panasae" (Baco, cepat ambilkan lagiBapak, banyak di belakang rumah. Nangkanya enak kayaknya).

Sang Tamu terperanjat melihat beberapa nangka datang lagi dihidangkan di hadapannya. Tuan Rumah segera mempersilahkan lagi tamunya : "Ta anrei Puang, iyae panasae Puang, matasa di pong Puang..." (matasa di pong = matang di pohon).

Pak Pejabat berbisik ke ajudannya yg sedikit ngerti bahasa Bugis : "apa maksudnya - matasa di pong puang -?". "Poppang itu artinya paha, Pak, jadi matasa di poppang artinya matang di paha", jawab si Ajudan berusaha menerjemahkan semampunya.

Pak Pejabat: "Hah....!!! jadi...?" Pak Pejabat pingsan....!!
............................................................................................................................

Suatu hari pak menerangkan di depan kelas mengajarkan bahasa daerah (bahasa Bugis)

Bunyi Aksara Lontara :
ka ga nga (ngka)
pa ba ma (mpa)
ta da na (nra)
ca ja nya (nca)
ya ra la wa
sa a ha

Nb : Yg dlm kurung itu khusus untuk lontara Bugis, sedang lontara Makassar tidak mengenal huruf dlm kurung tsb.
Tiba-tiba salah satu muridnya acungkan tangan & membacanya....!!

wasenggi anu Pak...?
ka ga nga ngka
sa lah la ngka
di leppa'...
sipa'2na ana' betta'e... !! namu guru nonri to' macule-cule..!
.........................................................................................................................