Laman

Rabu, 05 Maret 2014

Bugis KUNO

Sebelum masyarakat bugis mengenal islam mereka sudah mempunyai “kepercayaan asli” (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama ‘Tuhan’ itu menunjukkan bahwa orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada, religi orang Bugis masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan) yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal), To-Palanroe (sang pencipta) dan lain-lain.

Kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa–dewa ini tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Lewat atturiolong juga diwariskan petunjuk–petunjuk normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewa–dewa ini melalui Tomanurung (orang yang dianggap turun dari langit/kayangan), yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti kerajaan yang ada. (Kambie, 2003).
Istilah Dewata SeuwaE itu dalam aksara lontara, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana mencerminkan sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis. De’watangna berarti “yang tidak punya wujud”, “De’watangna” atau “De’batang” berarti yang tidak bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De’ artinya tidak, sedangkan watang (batang) berarti tubuh atau wujud. “Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang”, artinya “Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak berayah”. Sedang dalam Lontara Sangkuru’ Patau’ Mulajaji sering juga digunakan istilah “Puang SeuwaE To PalanroE”, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang MappancajiE”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konsep “Dewata SeuwaE” merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis–Makassar. (Abidin, 1979 : 12 dan 59).
Kepercayaan orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung” orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kepercayaan Patuntung, lihat : Martin Rossler, “Striving for Modesty : Fundamentals of The Religion and Social Organization of The Makassarese Patuntung”, dalam BKI deel 146 2 en 3 en aflevering, 1990 : 289 – 324 dan WA Penard, “De Patoentoeng” dalam TBG deel LV, 1913 : 515 – 54.
Gervaise dalam “Description Historique du Royaume de Macacar” sebagaimana dikutip Pelras (1981 : 168) memberikan uraian tentang agama tua di Makassar. Menurut Gervaise orang-orang Makassar zaman dahulu menyembah Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang disembah pada waktu terbit dan terbenamnya Matahari atau pada saat Bulan tampak pada malam hari. Mereka tidak mempunyai rumah suci atau kuil. Upacara sembahyang dan Kurban–kurban (Bugis : karoba) khususnya diadakan di tempat terbuka. Matahari dan Bulan diberi kedudukan yang penting pada hari-hari “kurban” (esso akkarobang) yang selalu ditetapkan pada waktu Bulan Purnama dan pada waktu Bulan mati, karena itu pada beberapa tempat yang sesuai disimpan lambang-lambang Matahari dan Bulan. Tempat ini dibuat dari tembikar, tembaga, bahkan juga dari emas (Pelras, 1981 : 169).
Selain menganggap Matahari dan Bulan itu sebagai Dewa, orang Bugis Makassar pra-Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata “Arajang” bagi orang Bugis atau “Kalompoang” atau “Gaukang” bagi orang Makassar berarti kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dan lain sebagainya. (Martinus Nijhoff, 1929, 365-366).
Kepercayaan lama yang sudah mengakar kuat bagi masyarakat Bugis memang berusaha dicarikan padanannya dalam ajaran Islam. Untuk merukunkan kedua kepercayaan itu, menurut Dr. Christian Pelras, penyiar agama Islam berusaha mengembangkan dalam kalangan istana suatu aliran mistik Bugis kuno dengan Tasawuf Islam. Hasil perpaduan dua kepercayaan itu, hingga kini masih bisa ditemukan dalam sejumlah naskah. Seperti yang telah dibicarakan oleh G Hamonic, dimana “Dewata SeuwaE’ PapunnaiE” (Dewata Tunggal yang Mempunyai kita) telah disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa ; “Dewa La Patigana” (Dewa Matahari) dan “Dewi Tepuling” (Dewa Bulan) disebut masing – masing sebagai “Malaikat Matahari” dan “Malaikat Bulan”. Adapun para Dewata dianggap termasuk bangsa Jin dan mitos tentang ’Sangngiang Serri’ sendiri tidak lagi dianggap sebagai “Dewi Padi” melainkan “jiwa padi”. (Kambie, 2003).
Penulis berkebangsaan Portugis, Tome Pires, yang mengunjungi Indonesia pada tahun 1512 – 1515, menyebutkan bahwa di Sulawesi Selatan terdapat sekitar 50 kerajaan yang masyarakatnya masih menyembah berhala. Salah satu bukti bahwa beberapa kerajaan di Sulawesi pada waktu itu tidak mendapat pengaruh Hindu tapi masih memiliki adat istiadat dan kepercayaan leluhur yang kuat, ialah dengan cara penguburan. (Nugroho Notosusanto, et.al, 1992). Praktek penguburan pada masyarakat Bugis Makassar pada waktu itu masih mengikuti tradisi pra-sejarah, yaitu jenazah dikubur mengarah timur–barat dan pada makamnya disertakan sejumlah bekal kubur seperti mangkuk, cepuk, tempayan, bahkan barang–barang impor buatan China, tiram, dan lain sebagainya. Juga dalam cara penguburan ini terdapat kebiasaan untuk memberi penutup mata (topeng) dari emas atau perak untuk jenazah bangsawan atau orang – orang terkemuka. (Pelras, 1972 : 208-210).
Macknight (1993 : 38) menyebutkan bahwa Penelitian arkeologi maupun berita Portugis melaporkan bahwa orang Bugis Makassar pada masa pra-Islam mempraktekkan penguburan kedua (sekunder), sebagaimana yang masih dipraktekkan orang Toraja sampai pada awal Abad XX dengan menggunakan gua-gua sebagai tempat penguburan. Raja dan bangsawan seluruh negeri Bugis, Makassar, bahkan termasuk Mandar dan Toraja di Sulawesi Selatan mengklaim diri mereka punya garis keturunan dengan Dewa–dewa melalui Tomanurung yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti yang ada. Mitos ini berkaitan dengan pandangan teologis (theology view) bahwa Dewata Seuwae’ melahirkan sejumlah Dewata (Rewata), yang merupakan asal usul Tomanurung, yang juga merupakan asal-usul seluruh penguasa dinasti di semenanjung Sulawesi Selatan. Mitos ini sangat kuat dipercayai dan tak tergoyahkan. (Kambie, 2003).
Dilihat dari perjalanan sejarahnya, masyarakat Bugis dikenal sebagai masyarakat yang sangat kuat berpegang pada kepercayaan lama yang bersumber dari Kitab La Galigo. Meskipun Islam sudah menjadi agama resmi Masyarakat Bugis namun Kepercayaan–kepercayaan lama itu masih mewarnai keberislaman mereka. Hal ini tercermin lewat berbagai ritual dan tradisi yang masih bertahan hingga kini. DGE Hall (Badri Yatim, 1996 : 211-212) mengungkapkan bahwa terlambatnya Islam diterima di Sulawesi Selatan, disebabkan kuatnya masyarakat Bugis Makassar berpegang pada adat dan kepercayaan lama. Menerima Islam, menurut mereka, akan berimplikasi pada perubahan budaya yang mendalam. Pada beberapa aspek tertentu, kepercayaan leluhur Bugis Makassar yang bersumber dari ajaran Sure’ Galigo dapat pula disebut agama karena menganjurkan penganutnya dan dalam kepercayaan tersebut terdapat berbagai aturan dan tata cara, yang dilakukan sebagai bentuk pengabdian dan penghambaan diri terhadap Sang Maha Pencipta

Batara Guru

Turun dari Langit

Dalam naskah La Galigo dijelaskan, bahwa Sang Pencipta mengirim pesan ke Batara Guru, bahwa siang telah berlalu dan ia harus keluar. Batara Guru menghadap orang tuanya, akan tetapi ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Dengan sangat terharu orang tuanya berkata kepadanya, bahwa ia harus ke Bawah (Bumi), menikah di sana dan mengembangkan keturunannya di Bumi. Sang Pencipta memberikannya sekapur sirih yang telah dikunyahnya, diikatkannya sebilah keris di pinggang puteranya, ditanggalkannya mahkotanya lalu diletakkannya di atas kepala puteranya itu, dianugerahinya dengan gelang tangan dan cincinnya serta cincin Datu Palinge’. Kemudian Sang Pencipta memberikan berbagai amanat. Bersabda Sang Pencipta :

“…Tiwiko ritu siri’ atakka narekko mattengnga lalenno nonno rilino … muadan-keng siri1atakka ri ataunnu … ianatu matu mancaji alek. Artinya Bawalah sirih atakka … manakala engkau tengah dalam perjalanan menuruni Bumi … susurkan siri’ atakka di bagian kananmu … itulah kelak menjadi hutan).

Selanjutnya Batara Guru akan membawa tumbuh-tumbuhan tertentu, beras pemuja dan sebagainya. Pada pertengahan perjalanan ke bawah ia harus meremas gunung, mengelompokkan hutan, membentangkan bukit, menggali lembah, menghamparkan lautan, menata danau, mengairi sungai membelah daratan, membuat kelokan-kelokan sungai, melubangi gua, menciptakan pusar air. Apabila ia tiba dekat tempat Dunia Tengah lalu ia meletakkan tumbuh-tumbuhan, lalu akan jadilah burung-burung yang akan turun ke bawah dan menciptakan margasatwa yang lain. Selanjutnya Sang Pencipta memberikan petunjuk-petunjuk yang lengkap bagaimana menyembuhkan anak-anak yang sakit dengan memeberitahukan sebab musababnya.

Terjadilah gejolak alam ”Dan menyembahlah sekarang tiga kali pada Langit dan Dunia Bawah!” sabda Sang Pencipta dan katakanlah : ”Aku adalah hambamu, ya tuanku! Yang engkau telah tempatkan di Bumi untuk mengembangkan turunanmu!” sambil menangis Batara Guru menyembah : ”Kehendakmulah yang berlaku, wahai tuanku, kawinkanlah aku” Sang Pencipta : ”Jagalah hidupmu sebagai manusia, bukan sebagai Dewa” dibukanya cerana kencananya, dikunyahnya sirih lalu menatap puteranya dengan tajam, sementara ia hampir-hampir tidak sadarkan diri. Batara Guru bangkit berdiri, Sang Pencipta kembali menatapnya dengan tajam, meniupnya tiga kali, lalu menunjuk ke segala penjuru angin, maka nyawa (bannapati) puteranya pun lenyaplah sudah. Kemudian Sang Pencipta meletakkan puteranya dengan sangat hati-hati dalam sebatang bambu betung, lalu diikatnya erat-erat. Ayunan tempat meletakkan bambu betung yang berisikan Batara Guru, disuruhlah melepaskan ikatannya; pelangi direntangkan. Sangka Batara ditugaskan mengumpulkan para penghuni langit, makhluk halus, pengawal Langit, bintang luku, bintang selatan dan bintang ayam jantan, yang semuanya diharuskan turut dalam rombongan pengikut Batara Guru turun ke Bawah (Bumi).

Manakala mereka telah berkumpul semua, dilepaskanlah rantai Langit, pintu Langit pun dibuka, gelap gulita dan gejolak alam dikirim ke bawah. Dengan iringan tersebut bintang-bintang dan makhluk Langit yang garang dan ganas turunlah ayunan dari tengah-tengah kubah Langit ke Bawah (Bumi). Pada pertengahan perjalanan Batara Guru menengadah ke Langit, menegok turun ke Dunia Bawah. Sesuai dengan amanat ayahandanya dicampakkannya ke bawah, kiri dan kanan buah pala yang telah mekar (Tallitimpebba), sambil menurun ke bawah membentuk Bumi, meremas gunung dan seterusnya seperti yang telah diuraikan di atas. Tumbuh-tumbuhan yang telah dibawanya dari Langit pada sebelah kiri dan kanannya dan menghamburkan dedaunan setelah tiba di Bumi semua telah menjadi hutan. Ketika telah dekat dengan Bumi dihamburkanlah keluar umbai-umbai dari daun lontar, lalu menjelma menjadi berbagai macam margasatwa. Kemudian dihamburkannya beras pemuja (wenno dan cacubanna), seketika ramailah burung-burung dari berbagai jenis dan aneka warna saling bersaut-sautan bunyinya, melompat dari dahan ke dahan menghuni rimba. Akan tetapi ayunan dari tabung bambu dengan Batara Guru di dalamnya belum juga tiba. Tujuh kilatan petir, tujuh dentuman halilintar susul menyusul, hingga ayunan tiba. Setelah ia menurunkan muatannya, ia dikirim kembali ke Langit, tiba di istana Sang Pencipta. Melihat ayunan yang telah kosong itu segenap penghuni istana menangis dan meratap, para inang pengasuh tidak sadarkan diri. Datu Palinge’ duduk termenung kehilangan semangat, pangkuannya basah oleh air mata. Segera sesudahnya, pendamping perempuan diturunkan pula, yang bernama We Lele Ellung, We Saung Nriwu dan Apung Talaga, yang kelak menjadi selir. Diturunkan pula inang pengasuh yang bernama Talaga Unru’ dan Welompabare’, Bissu Puang RilaelaE yang ditempatkan di lereng gunung Latimojong. I We Asalareng dan We Ampalangi di Latenriwu. Di turunkan pula tujuh Oro Kelling masing-masing dengan sebilah kapak.

Istana Kerajaan Luwu di Turunkan

Setelah tiga bulan lamanya Batara Guru di Bumi, tanpa tempat tinggal. Ibunya di Langit sangat prihatin, ibunya mendesak Sang Pencipta menurunkan pusakanya berupa istana kerajaan yang lengkap dengan peralatan dan pelayannya. Pada malam harinya ketika pelita telah dinyalakan, Sang pencipta memerintahkan untuk menabuh genderang, rantai Langit dilepaskan dan membuka palang pintu gerbang Langit, melalui gerbang itu To Letteile’ turun ke bawah diiringi dengan badai yang maha dahsyat. Di tengah malam itu, ketika Batara Guru sedang tertidur pulas di dalam bambunya tanpa menyadari apa-apa, turunlah sebuah istana, demikian pula inang pengasuh dan pengiring-pengiring lain serta pohon-pohon asam. Pada saat fajar menyingsing tibalah istana itu di tengah-tengah suatu rimba yang lebat dalam ibukota Luwu. Api Langit padam, taufan dan badai pun berhenti. Manakala hari telah pagi, bangkitlah Batara Guru dari tidurnya, ia melihat istana, balairung dan sebagainya. Bersama dengan Oro Kelling ia berjalan melalui negeri Luwu, tanpa adat kebiasaan dan tanpa ada orang lain kecuali si Oro Kelling. Para inang pengasuh mengatakan kepada orang-orang Langit yang ikut turun ke Bumi, agar mereka pergi untuk mengelu-elukan Batara Guru ke istana; mereka sendiri menyambutnya di istana dengan taburan beras pemuja (wenno) dan persembahan sirih. Kemudian menyusul persembahan santapan. Pada siang harinya Batara Guru hendak tidur. Maka berubahlah siang menjadi malam, Batara Guru pun membaringkan diri lalu tertidur

Menjemput Pusakanya di Pantai

Setelah lima bulan Batara Guru di Bumi, ia tercekam oleh kerinduan yang amat sangat ke Langit. Hari berganti malam dan ia pun beranjak ke peraduannya untuk tidur. Pada tengah malam ia bermimpi naik ke Langit. Dalam suatu anak sungai di negeri Langit Limpomajang ia mandi, setelah itu ia naik lebih tinggi lagi ke Ruanglette’ Boting Langi’ duduk dalam balairung di bawah pohon asam. Lebih jauh ia memimpikan, bahwa pamannya, kemudian adiknya hendak menyabung beberapa ekor ayam jantan, yang ada tanda-tanda tertentu. Ia melarangnya dan Sang Pencipta pun demikian, karena ayam-ayam itu akan dikirim ke Bumi. Dengan gembira Batara Guru menemui ayah bundanya dalam istana mereka. Oleh ayahnya dibukalah cerananya, diberikannya kepada puteranya sekapur sirih yang telah dikunyahnya sambil memberitahukan bahwa esoknya ia harus ke tepi pantai untuk menjemput suatu hadiah yang diperuntukkan kepadanya. Adapun hadiah itu merupakan sekapur sirih yang dibungkus dengan kain sutra seperti yang diberikan oleh gadis-gadis remaja kepada kekasihnya; benda itu tak boleh dibawanya ke gelanggang sabung ayam, hendaklah disimpannya sebagai harta pusaka untuk anak cucunya.

Dengan menangis sambil berbaring menengadah ke atas Batara Guru terjaga dari tidurnya ia terkejut dan bingung, sesaat kemudian ia sadar, disuruhnya menyalakan pelita, diceritakannya mimpinya kepada inang pengasuhnya dan ditanyakan apakah maksud Sang Pencipta dengan mimpi itu. Mereka tak menjawab pertanyaan itu, akan tetapi pada pagi itu juga Batara Guru bersama inang pengasuhnya dan beberapa pasukannya ke tepi pantai dalam suatu arak-arakan yang syahdu (sebagaimana layaknya dalam negara yang telah lengkap peralatannya) yakni dalam usungan dengan bunyi-bunyian. Setiba mereka di sana dunia seolah-olah mati tak ada burung terbang, tak ada semut yang merayap, lautan tak bergerak. Akan tetapi dalam mimpinya jelas sekali ayahnya berkata kepadanya, supaya ia pergi ke tepi pantai. Ia menunggu di pantai cukup lama, berikut kutipan ceritanya dalam Sure’ I La Galigo :

”… Na mangingi na tudang mattajeng ri pare’e, le massaile’ beo atau, namashinala natuju nyili’. Namua sia manu’-manu’ luttu’ na nyili’, anging rilau temmiri to’. Namakeddana ManurungngE ri laleng mua ininnawana ManurungngE, ”pekkuarei padampu-rampu To PalanroE, le napajaneng ronang makkeda ncajiangnge’ nganga’ laoko mai ana’ mebaja ri pare’e, le muala paddeatummu le riwinna pallojangngE le na masua rituju nyili’ ”.
Artinya :
”… Sudah bosan rupanya ia menunggu di pantai, melihat ke kiri ke kanan, tidak ada sesuatu yang tampak. Kendati burung-burung yang terbang tak juga ada yang tampak. Seekor pun semut tak ada yang terlihat, bahkan angin dari timur pun enggan juga berhembus. Kemudian berkatalah di dalam hati ManurungngE, ”Apa gerangan kehendak To PalanroE, sebab jelas tadi orang tuaku mengatakan bahwa besok ananda ke Pantai. Menjemput kirimanmu di pinggir pantai ternyata tidak ada yang tampak”. 

Ketika ia telah beranjak hendak kembali, namun ia melihat sebilah kelewang tergantung pada dahan kayu beroppa dan sekapur sirih yang dibungkus dengan kain sutra yang di kirim dari Langit dan di peruntukkan kepadanya, sedang payung kebesaran sang pencipta tergantung di pohon padada bersama sebuah perisai. Berikut kutipannya dalam Sure’ I La Galigo :

”… Namaelona toritaroe tune’ ri kawa, taddewe pole ri ale’ Luwu. Napemanggana La Unga Waru, La Ula’ Balu tassappe-appe le ri takkena beropaE alameng lakko sepammanan’na ri Boting Langi’. Nanyili’ toi Pajung rakkile nannaongie To PalanroE le ri paenre ri padaE. Le’ Ula’ Balu ripasitaro kanna ulaweng sepammana’na ri Wide’ Unru’. Natallo rio ManurungngE. Watanna mua La Tonge’ Langi’ ronnang marakka palessoriwi La Unga Waru le ri takkena beroppae, pasialai Pajung Rakille’ ManurungngE, napasiala kanna ulaweng sepammana’na ri Laleng Nriu’ …”.
Artinya :
”Maka, inginlah orang yang ditetapkan sebagai tunas di Dunia kembali ke Ale’ Luwu. namun terlihatlah olehnya La Unga Waru’ La Ula’ Balu, bergantungan di tangkai pohon beroppa kelewang emas pusakanya di Boting Langi’ juga tampak olehnya payung kilat tempat bernaungnya To PalanroE dinaikkan di pohon padada La Ula’ Balu yang disimpan di perisai emas pasukannya dari Wide’ Unru’. Sangat gembira ManurungngE. La Tonge’ Langi’ sendiri bergegas menurunkan La Unga’ Waru dari tangkai pohon beroppa, diambilnya bersama dengan Pajung kilat manurung dan perisai emas pasukannya dari Laleng Nriu …”

Batara Guru pun bersuka cita dengan anugerah-anugerah dari Langit itu, tiba-tiba lautan berubah bagaikan arang yang membara. Di sebelah kirinya terdapat berbagai jenis senjata, yang segera di perebutkan dengan gembira oleh anak buahnya.

Alkisah I La Galigo

Kisah La Galigo sendiri secara umum terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berkisah mengenai penciptaan langit dan bumi, asal usul kehadiran manusia, dan nenek moyang raja-raja Bugis. Bagian pertama ini dianggap sakral, sehingga tak boleh dibaca sembarang orang. Hanya kaum bangsawan saja yang diperkenankan membaca dan menyimpan naskah ini. Karena itu nggak heran, tak banyak yang bisa kita ketahui mengenai bagian pertama ini.
Satu ketika datanglah rombongan besar dengan bahtera yang besar-besar berjumlah ribuan. Kepala rombongan adalah seorang perempuan berpakaian berkilauan emas. Tujuan mereka datang adalah untuk merajutkan kembali pertalian yang sempat putus (nama beliau hingga saat ini belum terungkap, sehingga di gelari Puang Lai To Kadiri). Perkiraan periodisasi kedatangannya jauh sebelum perodisasi Bato Raa (Batara Guru) atau Sawerigading. Kemudian keturunannya anak ketiga, seorang lelaki, kembali ke asal ibunya sebagai pewaris kerajaan sang ibu yang enggan untuk kembali. Ia bernama Bato Raa Siwa atau Batara Siwa, dan mendirikan kerajaan baru. Periode ini jika disetarakan dengan epik kejadian di Toraya adalah hampir sejaman dengan berdirinya Tongkonan si adik. Konon kuburan beliau terdapat di suatu desa di bagian utara toraya.

PERIODE LANGIT

Bermula dari penciptaan Alekawa (Dunia Tengah/Bumi), oleh Dewata SisiniE’ Yang Maha Esa. Dari entitas ini setelah diciptakan tujuh lapis Langi’ (Langit), Tana’ (Bumi) dan tujuh lapis Paratiwi’ atau Uri’ Liung/Buri’ Liu (Dunia Bawah), muncul sepasang Dewa yang disamakan dengan matahari dan bulan yang masing-masing bernama La Teppu Langi’ (Langit Segenap) dan We Sengngeng Linge’ (Ciptaan Sempurna). Bersamaan dengan itu bintang gemintang pun tercipta. Dari pertemuan Sang Matahari dengan Sri Bulan saat gerhana terjadi lahirlah pasangan Dewa lain yang ditiupi roh oleh Dewata SisiniE. Pihak laki-laki dari pasangan ini, juga seorang Dewa Matahari bernama La Patigana Aji’ Sangkuru’ Wira To PalanroE, yang bertahta di Boting Langi’ (puncak Langit), digelar PatotoE dan Dewinya bernama We LettE’ Sompa (Petir yang disembah). Dari pasangan terakhir ini lahir 18 Dewa, yaitu 9 pasangan kembar. Keturunan para Dewa ini menikah satu sama lain, namun pasangan kembar tidak boleh menikahi kembarnya karena akan dinilai melakukan inses hanya boleh menikahi saudara selain saudara kembar yang disebut sepupu. (Pelras, 2006)

Keturunan ke 18 Dewa inilah yang diceritakan dalam naskah I La Galigo. Diantara mereka, tujuh pasangan disebut khusus sebagai leluhur berbagai dinasti di Luwu, Tompo Tikka dan Wewang Nriwu’. Tiga pasangan menjadi Dewa Dunia Bawah dan yang menjadi Dewa tertinggi diantaranya ialah La Mata Timo’ (Mata dari timur, yang berarti matahari terbit), bergelar Guru ri Selle’ (Penguasa Selat) yang bersemayam di Buri Liu (Palung Laut) dan isterinya Sinau Toja ’penghuni air bergelar Masao Bessi’ ri Lapi TanaE (yang punya rumah besi di lapis tanah). Tiga pasangan Dewa lainnya mendiami surga, dengan Sangkuru’ Wira’ (Sang Guru para Pemberani) bergelar Datu PatotoE’ (Sang Raja Penentu Nasib) dan isterinya We Lette’ Sompa (Petir yang disembah) bergelar Datu PalingE (Sang Ratu Ibu) sebagai Dewa tertinggi di antara kedelapan belas Dewa generasi itu, yang juga memerintah seluruh jagat. Tempat bersemayam mereka disebut Senrijawa atau Boting Langi’ (Langit Tetinggi). Dari kesembilan anak Datu Patoto’, tujuh diantaranya memerintah di setiap lapisan Langit, masing-masing dengan tugas khusus. Dari dua pasangan dewa utama yang memerintah Dunia Atas dan Dunia Bawah, masing-masing dua anak diturunkan (manurung) atau dinaikkan (tompo) ke Bumi dengan tugas tertentu.

La Patigana Aji’ Sangkuru’ Wira To PalanroE, yang bertahta di Boting Langi’ (Puncak Langit), digelar PatotoE, mengundang semua anggota keluarganya dari berbagai kerajaan untuk melakukan musyawarah; termasuk Toddang Toja’ dan Opu Samuda (Bawah Laut), Eto’ Empong (Pusat Laut). Karena pada saat itu Bumi dalam keadaan kosong pemerintahan. Pertemuan itu menetapkan La Tongeng Langi’ (tahta di langit) bertugas mengatur Dunia Tengah (tempat dimana manusia hidup) menjadi Datu Luwu ke-1, digelar Batara Guru, ia adalah putera La Patigana To PalanroE’ (sang pencipta) dan Datu Palinge’ (wanita pencipta) dan di putuskan menikah dengan We Nyili Timo’, puteri La Mattimang Guru ri Selle’ Opu Samuda, raja Toddang Toja’ dan isterinya bernama Sinau Toja’ saudara perempuan La Patigana. Juga disepakati bahwa We Pada Uleng’ puteri La Balaunyi’, raja Ute’ Empong, kawin dengan La Urumpessi’ putera La Oddang Nriwu’ Sangkamalewa Batara Tikka, seorang calon raja Kutu’ atau Tompo Tikka (Luwu-Banggai). Sedangkan Putra Patoto’ yang bungsu, yang bernama La Sadda’ Wero (Ucapan Gemilang) dengan gelar Aji Mangkau’ (Penguasa Berwibawa) diutus untuk menguasai Pusar Bumi, yang jauh berada di seberang Laut Barat.

Dari keturunan Guru ri Selle’, ada tujuh Dewa yang juga memerintah tujuh lapis Dunia Bawah, masing-masing dengan tugas berbeda-beda pula. Antara lain, membawa persembahan manusia turun ke dewa-dewa di Buri Liu, menciptakan badai dan menenggelamkan kapal-kapal orang-orang jahat. Anak tertua perempuan bernama We Nyili Timo’ (kerling dari timur) dikirim untuk menikah dengan Batara Guru. Anak kedua Guru ri Selle’ La Punna Liung, yang berwujud buaya laut raksasa, bertindak sebagai pembawa pesan antara Dunia Bawah dan Tengah.

Proses penciptaan Dunia Tengah hingga saat ini belum ditemukan. Dalam naskah La Galigo, campur tangan para Dewa hanya terbatas pada pengaturan dunia, menjadikannya subur, menyebarkan tanaman dan menata penghuninya yang sebelumnya belum mempunyai raja dan belum beribadat. Pasangan Batara Guru dan We Nyili Timo’ inilah yang membangun dinasti manusia Maddara’ Takku’ (berdarah putih) pertama di Luwu dan merupakan model awal to-manurung dan to-tompo para leluhur dari dunia dewa-dewa mempercayai bahwa mereka adalah titisan dari khayangan atau muncul dari Dunia Bawah untuk menjadi penguasa pertama di berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan.

Dalam Sureq Galigo bermula, pada suatu kala, semesta ini terbagi dalam tiga dunia: Botting Langi’ (dunia atas, Langit), Ale Lino/Ale Kawa ( Dunia tengah, Bumi) dan Peretiwi/Buri’ Liu (bawah, Bawah Laut). Botting Langiq bermakna pusat langit disanalah bertahta Patotoqe, yang menentukan nasib. Peretiwi atau Toddang toja terletak di bawah dasar laut, tempat bertahtanya Guru Ri Selleq dan permaisurinya, Sinauq Toja, adik perempuan Patotoqe. Sementara itu, semua yang turun dari Boting Langiq lalu menjelma ke bumi disebut Manurung (yang turun). Sebaliknya semua yang berasal dari Toddang Toja lalu muncul ke dunia disebut Tompoq (yang muncul). Ale Lino adalah dunia tengah yaitu bumi manusia. Dunia tengah, yang menjadi tempat kediaman manusia sekarang ini, digambarkan dalam keadaan kosong, tanpa penghuni (merujuk kepada Sulawesi Selatan). Raja Di Langit, La Patoto’e/Sinaung Toja/Aji Palalo /To Palanro Opu Sangiyang Datu/La Puang La Patiganna/Sangkuruwirang menikah dengan Mutia Unru Datu Palinge/Datu Dewata Ri Senrijawa melahirkan 9(Sembilan) orang anak. Salah satunya adalah La Toge’ Langi’/Senge’ Ri Sompa/La Tungeng Langi’/Batara Guru.

Suatu ketika Patoto’e (Sang Penentu Nasib) yang maha kuasa di puncak langit, uring-uringan. Ribuan ayam aduannya terlantar. Rupanya para penggembala ayamnya sedang melanglang ke dunia, dan ketika balik ke khayangan mengusulkan agar dunia diisi kehidupan. Mendengar kabar bahwa Kerajaan Bumi hanyalah tanah kosong yang benar-benar tak berpenghuni, Sang Dewata (Sang Patotoqe) yang berada di Kerajaan Langit segera memutuskan bahwa Kerajaan Bumi tidak bisa dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan untuk menyuburkannya dan tentu saja menyembah-Nya.
Ketika kerajaan di langit mengetahui adanya wilayah bumi yang masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, Patotoqe (La Patiganna), mengadakan musyawarah dengan keluarga dari kerajaan langit lainnya, Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib.
Dalam pertemuan kerajaan itu, akhirnya terjadi kesepakatan agar adanya utusan dari kerajaan langit untuk mengisi kehidupan di bumi. Akhirnya, terpilihlah anak La Patiganna bernama La Toge’ Langi.

Berikut ini adalah penggalan dari dialog pertama dalam pembukaan Sureq Galigo, (halaman 58, baris 35 – 4, Jilid 1), susunan Arung Pancana Toa, Jilid I: 
MADDAUNG WALI RUKKELLENG MPOBA,
“…TEMMAGA PUANG MULOQ SEUA RIJAJIAMMU, TABAREQ-BAREQ RI ATAWARENG, AJAQ NAONRO LOBBANG LINOE MAKKATAJANGENG RI ATAWARENG. TEDDEWATA IQ, PUANG, REKKUA MASUAQ TAU RI AWA LANGIQ, LE RI MENEQNA PERETIWIE MATTAMPA PUANG LE RI BATARA……” BERSIMPUH RUKKELLENG MPOBA,
“…ALANGKAH BAIK TUANKU MENURUNKAN SEORANG KETURUNAN UNTUK MENJELMA DI MUKA BUMI, AGAR DUNIA TAK LAGI KOSONG MELOMPONG’ DAN TERANG BENDERANG PARAS DUNIA, ENGKAU BUKANLAH DEWATA SELAMA TAK SATU MANUSIAPUN DI KOLONG LANGIT, DI PERMUKAAN PERETIWI MENEGASKAN SRI PADUKA SEBAGAI BATARA…….” 

Kalimat-kalimat yang mirip dengan isi yang sama seperti di atas, dapat pula dilihat pada halaman 60 (baris 32-5), halaman 92 (baris 24-32), halaman 112 (baris 31-34), dan beberapa halaman lain di buku yang sama. Pada halaman 60, baris 32-34, dari buku yang transkripsi dan terjemahannya dikerjakan oleh Muhammad Salim dan Facruddin Ambo Enre ini, tertera:
KUA ADANNA PATOTOQE RI MAKKUNRAI RIPAWEKKEQNA,
“……TEMMAGA WAE DATU PALINGEQ ANRI TAULOQ RIJAJIATTA, TABAREQ- BAREQ TUNEQ RI KAWAQ…” 
BERUJARLAH SANG PENENTU NASIB KEPADA PERMAISURI BELAIANNYA,
“……SELAYAKNYALAH WAHAI ADINDA DATU PALINGEQ KITA TURUNKAN ANANDA KITA, KITA JADIKAN TUNAS DI BUMI ….” 

Musyawarah para dewa akhirnya menyetujui keputusan Sang Penentu Nasib memilih Batara Guru untuk dijelmakan sebagai tunas manusia di Bumi, generasi pertama manusia di dunia. Selain digelari sebagai Manurungge (Yang Diturunkan), Batara Guru disebut pula sebagai Mula Tau (Pemula Manusia). Periode awal Sureq Galigo selalu juga disebut sebagai periode Mula Tau, periode kejadian manusia pertama yang diturunkan dari langit lewat pelangi, dan ditetaskan lewat sebatang bambu betung. Sang Patotoqe kepada permaisurinya :
“……ADINDA DATU PALINGEQ! TIDAK USAHLAH KHAWATIR BILA ANAK KITA KELAK MENJELMA MANUSIA LALU MENGALAMAI COBAAN DI BUMI. KARENA MEMANG SUDAH MENJADI HUKUM BUMI BAHWA SESUNGGUHNYA HIDUP ADALAH COBAAN. JUGA BUKANLAH MANUSIA BILA TIDAK TAHAN MENGHADAPI COBAAN…….”. (La Galigo, hal.15)

PERIODE LA TOGE’ LANGI’/BATARA GURU

BATARA GURU VERSI JAWA. 
Batara Guru versi seorang Cina Jawa bernama Shindunata (dalam Novel Putri Cina) adalah satu dari tiga serangkai dewa. Tiga dewa ini berasal dari satu telur hasil pernikahan putra raja segala dewa, Sang Hyang Wenang yang bernama Sang Hyang Tunggal dengan putri raja segala jin, Begawan Rekatama yang bernama Dewi Rekatawi. Telur inilah yang kemudian menjadi tiga dewa bersaudara: Sang Hyang Antaga (dari kulit telur), Sang Hyang Ismaya (dari putih telur) dan Sang Hyang Manikmaya (dari kuning telur). Karena perebutan takhta, Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya beradu kesaktian menelan gunung yang sangat besar yang di dalamnya terkandung semua yang dibutuhkan manusia, Gunung Garbawasa. Adu kesaktian ini atas usul Sang Hyang Manikmaya. Sang Hyang Ismaya berhasil menelan Gunung Garbawasa, namun tidak berhasil mengeluarkannya kembali. Mendengar pertikaian tersebut, Sang Hyang Tunggal marah besar dan mengusir anaknya ke dunia. Nama mereka pun berubah. Sang Hyang Ismaya menjadi Semar, bertugas melindungi manusia yang baik dan Sang Hyang Antaga menjadi Togog, bertugas menemani manusia yang jahat. Sang Hyang Manikmaya yang berhasil memprovokasi kedua saudaranya diangkat menjadi penguasa para dewa dengan gelar Batara Guru dan menjadi penguasa Langit.


BATARA GURU VERSI EPOS LA GALIGO
Dalam naskah La Galigo dijelaskan, bahwa Sang Pencipta mengirim pesan ke Batara Guru, bahwa siang telah berlalu dan ia harus keluar. Batara Guru menghadap orang tuanya, akan tetapi ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Dengan sangat terharu orang tuanya berkata kepadanya, bahwa ia harus ke Bawah (Bumi), menikah di sana dan mengembangkan keturunannya di Bumi. Sang Pencipta memberikannya sekapur sirih yang telah dikunyahnya, diikatkannya sebilah keris di pinggang puteranya, ditanggalkannya mahkotanya lalu diletakkannya di atas kepala puteranya itu, dianugerahinya dengan gelang tangan dan cincinnya serta cincin Datu Palinge’. Kemudian Sang Pencipta memberikan berbagai amanat. Bersabda Sang Pencipta :
“…TIWIKO RITU SIRI’ ATAKKA NAREKKO MATTENGNGA LALENNO NONNO RILINO … MUADAN-KENG SIRI1 ATAKKA RI ATAUNNU … IANATU MATU MANCAJI ALEK…..” Artinya : 
“……BAWALAH SIRIH ATAKKA … MANAKALA ENGKAU TENGAH DALAM PERJALANAN MENURUNI BUMI … SUSURKAN SIRI’ ATAKKA DI BAGIAN KANANMU … ITULAH KELAK MENJADI HUTAN…..” 

Selanjutnya Batara Guru akan membawa tumbuh-tumbuhan tertentu, beras pemuja dan sebagainya. Pada pertengahan perjalanan ke bawah ia harus meremas gunung, mengelompokkan hutan, membentangkan bukit, menggali lembah, menghamparkan lautan, menata danau, mengairi sungai membelah daratan, membuat kelokan-kelokan sungai, melubangi gua, menciptakan pusar air. Apabila ia tiba dekat tempat Dunia Tengah lalu ia meletakkan tumbuh-tumbuhan, lalu akan jadilah burung-burung yang akan turun ke bawah dan menciptakan margasatwa yang lain. Selanjutnya Sang Pencipta memberikan petunjuk-petunjuk yang lengkap bagaimana menyembuhkan anak-anak yang sakit dengan memeberitahukan sebab musababnya.
Terjadilah gejolak alam.
”…DAN MENYEMBAHLAH SEKARANG TIGA KALI PADA LANGIT DAN DUNIA BAWAH!……”
SABDA SANG PENCIPTA DAN KATAKANLAH : 
”……AKU ADALAH HAMBAMU, YA TUANKU! YANG ENGKAU TELAH TEMPATKAN DI BUMI UNTUK MENGEMBANGKAN TURUNANMU!……….” 

sambil menangis Batara Guru menyembah :
”…….KEHENDAKMULAH YANG BERLAKU, WAHAI TUANKU, KAWINKANLAH AKU……”
Sang Pencipta : 
”……JAGALAH HIDUPMU SEBAGAI MANUSIA, BUKAN SEBAGAI DEWA…….”

Dibukanya cerana kencananya, dikunyahnya sirih lalu menatap puteranya dengan tajam, sementara ia hampir-hampir tidak sadarkan diri. Batara Guru bangkit berdiri, Sang Pencipta kembali menatapnya dengan tajam, meniupnya tiga kali, lalu menunjuk ke segala penjuru angin, maka nyawa (bannapati) puteranya pun lenyaplah sudah. Kemudian Sang Pencipta meletakkan puteranya dengan sangat hati-hati dalam sebatang bambu betung, lalu diikatnya erat-erat. Ayunan tempat meletakkan bambu betung yang berisikan Batara Guru, disuruhlah melepaskan ikatannya; pelangi direntangkan. Sangka Batara ditugaskan mengumpulkan para penghuni langit, makhluk halus, pengawal Langit, bintang luku, bintang selatan dan bintang ayam jantan, yang semuanya diharuskan turut dalam rombongan pengikut Batara Guru turun ke Bawah (Bumi).
Manakala mereka telah berkumpul semua, dilepaskanlah rantai Langit, pintu Langit pun dibuka, gelap gulita dan gejolak alam dikirim ke bawah. Dengan iringan tersebut bintang-bintang dan makhluk Langit yang garang dan ganas turunlah ayunan dari tengah-tengah kubah Langit ke Bawah (Bumi). Pada pertengahan perjalanan Batara Guru menengadah ke Langit, menegok turun ke Dunia Bawah. Sesuai dengan amanat ayahandanya dicampakkannya ke bawah, kiri dan kanan buah pala yang telah mekar (Tallitimpebba), sambil menurun ke bawah membentuk Bumi, meremas gunung dan seterusnya seperti yang telah diuraikan di atas. Tumbuh-tumbuhan yang telah dibawanya dari Langit pada sebelah kiri dan kanannya dan menghamburkan dedaunan setelah tiba di Bumi semua telah menjadi hutan. Ketika telah dekat dengan Bumi dihamburkanlah keluar umbai-umbai dari daun lontar, lalu menjelma menjadi berbagai macam margasatwa. Kemudian dihamburkannya beras pemuja (wenno dan cacubanna), seketika ramailah burung-burung dari berbagai jenis dan aneka warna saling bersaut-sautan bunyinya, melompat dari dahan ke dahan menghuni rimba. Akan tetapi ayunan dari tabung bambu dengan Batara Guru di dalamnya belum juga tiba. Tujuh kilatan petir, tujuh dentuman halilintar susul menyusul, hingga ayunan tiba. Setelah ia menurunkan muatannya, ia dikirim kembali ke Langit, tiba di istana Sang Pencipta. Melihat ayunan yang telah kosong itu segenap penghuni istana menangis dan meratap, para inang pengasuh tidak sadarkan diri. Datu Palinge’ duduk termenung kehilangan semangat, pangkuannya basah oleh air mata. Segera sesudahnya, pendamping perempuan diturunkan pula, yang bernama We Lele Ellung, We Saung Nriwu dan Apung Talaga, yang kelak menjadi selir. Diturunkan pula inang pengasuh yang bernama Talaga Unru’ dan Welompabare’, Bissu Puang RilaelaE yang ditempatkan di lereng gunung Latimojong. I We Asalareng dan We Ampalangi di Latenriwu. Di turunkan pula tujuh Oro Kelling masing-masing dengan sebilah kapak. 
Setelah tiga bulan lamanya Batara Guru di Bumi, tanpa tempat tinggal. Ibunya di Langit sangat prihatin, ibunya mendesak Sang Pencipta menurunkan pusakanya berupa istana kerajaan yang lengkap dengan peralatan dan pelayannya. Pada malam harinya ketika pelita telah dinyalakan, Sang pencipta memerintahkan untuk menabuh genderang, rantai Langit dilepaskan dan membuka palang pintu gerbang Langit, melalui gerbang itu To Letteile’ turun ke bawah diiringi dengan badai yang maha dahsyat. Di tengah malam itu, ketika Batara Guru sedang tertidur pulas di dalam bambunya tanpa menyadari apa-apa, turunlah sebuah istana, demikian pula inang pengasuh dan pengiring-pengiring lain serta pohon-pohon asam. Pada saat fajar menyingsing tibalah istana itu di tengah-tengah suatu rimba yang lebat dalam ibukota Luwu. Api Langit padam, taufan dan badai pun berhenti. Manakala hari telah pagi, bangkitlah Batara Guru dari tidurnya, ia melihat istana, balairung dan sebagainya. Bersama dengan Oro Kelling ia berjalan melalui negeri Luwu, tanpa adat kebiasaan dan tanpa ada orang lain kecuali si Oro Kelling. Para inang pengasuh mengatakan kepada orang-orang Langit yang ikut turun ke Bumi, agar mereka pergi untuk mengelu-elukan Batara Guru ke istana; mereka sendiri menyambutnya di istana dengan taburan beras pemuja (wenno) dan persembahan sirih. Kemudian menyusul persembahan santapan. Pada siang harinya Batara Guru hendak tidur. Maka berubahlah siang menjadi malam, Batara Guru pun membaringkan diri lalu tertidur. 
La Toge’Langi dinobatkan menjadi Raja Alekawa (Bumi) dengan memakai gelar Batara Guru. Untuk mendapatkan gelar itu, Batara Guru harus menjalani masa ujian selama 40 hari 40 malam. Usai berakhir, akhirnya pasangan itu diturunkan di Ussu. Satu wilayah di Sungai Cerekang, Kabupaten Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan terletak di Teluk Bone. Ia ditempatkan di atas bambu Betung. Dari sinilah asal muasal Nama Sawerigading, yakni Sawe = menetas, ri rading = di atas bambu/ Betung. jadi Arti Sawerigading yakni Keturunan Dari Orang Yang menetas di atas Bambu Betung. 

Menjadi manusia, menjadi penghuni Dunia Tengah, adalah momen yang paling menyakitkan dalam riwayat hidup Batara Guru. Itu berarti bahwa ia kehilangan seluruh hak-hak istimewanya sebagai seorang dewa, sebagai putera sulung dan pangeran mahkota dari Sang Penentu Nasib yang menguasai seluruh alam. Batara Guru sang Manusia Pertama, telah menjadi Sang Lain (the other) yang berada di luar lingkaran dewa-dewa. Sebagaimana dikatakan oleh Patotoqe kepada Batara Guru yang bersimpuh menyembah dengan hati yang hancur dan mata basah,
“……..TO LINOE NO LE KUDEWATA……”. 
ENGKAU ADALAH MANUSIA, DAN AKU ADALAH DEWA (hal. 118, baris 31). Menjadi manusia, memang berarti menjadi lebih rendah derajatnya; dewa-dewa bahkan tak dapat bergaul lama dengan manusia karena dewa-dewa tak akan tahan dengan bau manusia.
Diceritakan bahwa ketika pertama kali menghuni bumi, Batara Guru bersedih dan bermalas-malasan. Bahkan ia terus menangis dan mengadu kepada ayahandanya yang berada di Kerajaan Langit. Batara Guru terus meminta agar dikirimkan makanan dan minuman serta pendamping karena ia kelaparan, kehausan, dan kesepian di bumi. 
Tentu saja keinginan Batara Guru tidak diamini oleh Sang Patotoqe (Dewata) di Kerajaan Langit. Karena menurut ketentuan Dewata ketika manusia sudah menghuni Bumi maka ia tidak boleh bergantung kepada Kerajaan Langit. Tetapi manusia harus berusaha sendiri.
Di Bumi mencari cinta dan pasangan hidupnya, ia menciptakan gunung-gunung (Bulu’, Bulu PoloE – Gunung Terbelah), hutan, lautan, berbagai jenis unggas, hewan dan tanam-tanaman seperti : ubi, ke;adi, pisang, tebu dan lainnya. 
Sang Dewata kemudian menurunkan kapak emas dari Langit ketika Batara Guru terus bersedih karena kelaparan dan kehausan di Bumi.Dan ketika menurunkan kapak emas kepada Batara Guru di Bumi, diturunkan pula seorang pembantu bernama La Oro Kellong. Selanjutnya La Oro Kelling membantu Batara Guru membuka lahan pertanian dengan kapak emasnya.
Dikisahkan bahwa setiap ingin bekerja, sang pembantu dari Langit, La Oro Kelling sangat bersemangat. Ia selalu ingin tampil mengerjakan semua pekerjaan dan meminta Batara Guru beristirahat saja. Pada suatu hari Batara Guru dan La Oro Kelling ingin membuka lahan pertanian. Awalnya Batara Guru yang memulai menebang pohon tetapi La Oro Kelling mengambil alih pekerjaan itu karena ia merasa dirinyalah yang harus bekerja keras karena ia seorang pembantu. 

La Oro Kelling pun menebang sebatang pohon. Tetapi kemudian ia mengeluh karena sebatang pohon saja ia butuh waktu yang lama untuk menebangnya. Apalagi kalau harus membabat hutan. Batara Guru tahu akan keresahan hati La Oro Kelling, ia pun mengambil kapak emas lalu menebang pohon yang besar yang letaknya paling atas. Pohon besar itu terjatuh menimpa pohon yang ada di dekatnya. Lalu pohon lainnya menimpa pohon yang ada di dekatnya pula. Hingga kawasan yang awalnya hutan menjelma jadi lahan pertanian hingga ke pinggir sungai. Maka berkatalah Batara Guru kepada La Oro Kelling:
“…..BEGITULAH LA ORO KELLING! BEKERJA HARUS PAKAI OTAK. MANUSIA TIDAK AKAN PERNAH MAMPU MENAKLUKKAN BUMI DENGAN TENAGANYA SAJA. MANUSIA HANYA BISA MENAKLUKKAN BUMI DENGAN BANTUAN PIKIRANNYA……” (La Galigo, hal.67) 

Ia masih harus menjalani berbagai cobaan agar dapat dinilai sungguh-sungguh telah menjadi penduduk dunia. 
Setelah lima bulan Batara Guru di Bumi, ia tercekam oleh kerinduan yang amat sangat ke Langit. Hari berganti malam dan ia pun beranjak ke peraduannya untuk tidur. Pada tengah malam ia bermimpi naik ke Langit. Dalam suatu anak sungai di negeri Langit Limpomajang ia mandi, setelah itu ia naik lebih tinggi lagi ke Ruanglette’ Boting Langi’ duduk dalam balairung di bawah pohon asam. Lebih jauh ia memimpikan, bahwa pamannya, kemudian adiknya hendak menyabung beberapa ekor ayam jantan, yang ada tanda-tanda tertentu. Ia melarangnya dan Sang Pencipta pun demikian, karena ayam-ayam itu akan dikirim ke Bumi. Dengan gembira Batara Guru menemui ayah bundanya dalam istana mereka. Oleh ayahnya dibukalah cerananya, diberikannya kepada puteranya sekapur sirih yang telah dikunyahnya sambil memberitahukan bahwa esoknya ia harus ke tepi pantai untuk menjemput suatu hadiah yang diperuntukkan kepadanya. Adapun hadiah itu merupakan sekapur sirih yang dibungkus dengan kain sutra seperti yang diberikan oleh gadis-gadis remaja kepada kekasihnya; benda itu tak boleh dibawanya ke gelanggang sabung ayam, hendaklah disimpannya sebagai harta pusaka untuk anak cucunya. 
Dengan menangis sambil berbaring menengadah ke atas Batara Guru terjaga dari tidurnya ia terkejut dan bingung, sesaat kemudian ia sadar, disuruhnya menyalakan pelita, diceritakannya mimpinya kepada inang pengasuhnya dan ditanyakan apakah maksud Sang Pencipta dengan mimpi itu. Mereka tak menjawab pertanyaan itu, akan tetapi pada pagi itu juga Batara Guru bersama inang pengasuhnya dan beberapa pasukannya ke tepi pantai dalam suatu arak-arakan yang syahdu (sebagaimana layaknya dalam negara yang telah lengkap peralatannya) yakni dalam usungan dengan bunyi-bunyian. Setiba mereka di sana dunia seolah-olah mati tak ada burung terbang, tak ada semut yang merayap, lautan tak bergerak. Akan tetapi dalam mimpinya jelas sekali ayahnya berkata kepadanya, supaya ia pergi ke tepi pantai. Ia menunggu di pantai cukup lama, berikut kutipan ceritanya dalam Sure’ I La Galigo :
”… NA MANGINGI NA TUDANG MATTAJENG RI PARE’E, LE MASSAILE’ BEO ATAU, NAMASHINALA NATUJU NYILI’. NAMUA SIA MANU’-MANU’ LUTTU’ NA NYILI’, ANGING RILAU TEMMIRI TO’. 
NAMAKEDDANA MANURUNGNGE RI LALENG MUA ININNAWANA MANURUNGNGE,
”……PEKKUAREI PADAMPU-RAMPU TO PALANROE, LE NAPAJANENG RONANG MAKKEDA NCAJIANGNGE’ NGANGA’ LAOKO MAI ANA’ MEBAJA RI PARE’E, LE MUALA PADDEATUMMU LE RIWINNA PALLOJANGNGE LE NA MASUA RITUJU NYILI’……. ”
Artinya :
”… SUDAH BOSAN RUPANYA IA MENUNGGU DI PANTAI, MELIHAT KE KIRI KE KANAN, TIDAK ADA SESUATU YANG TAMPAK. KENDATI BURUNG-BURUNG YANG TERBANG TAK JUGA ADA YANG TAMPAK. SEEKOR PUN SEMUT TAK ADA YANG TERLIHAT, BAHKAN ANGIN DARI TIMUR PUN ENGGAN JUGA BERHEMBUS…….”
KEMUDIAN BERKATALAH DI DALAM HATI MANURUNGNGE,
”……..APA GERANGAN KEHENDAK TO PALANROE, SEBAB JELAS TADI ORANG TUAKU MENGATAKAN BAHWA BESOK ANANDA KE PANTAI. MENJEMPUT KIRIMANMU DI PINGGIR PANTAI TERNYATA TIDAK ADA YANG TAMPAK…….”

Ketika ia telah beranjak hendak kembali, namun ia melihat sebilah kelewang tergantung pada dahan kayu beroppa dan sekapur sirih yang dibungkus dengan kain sutra yang di kirim dari Langit dan di peruntukkan kepadanya, sedang payung kebesaran sang pencipta tergantung di pohon padada bersama sebuah perisai. Berikut kutipannya dalam Sure’ I La Galigo :
”… NAMAELONA TORITAROE TUNE’ RI KAWA, TADDEWE POLE RI ALE’ LUWU. NAPEMANGGANA LA UNGA WARU, LA ULA’ BALU TASSAPPE-APPE LE RI TAKKENA BEROPAE ALAMENG LAKKO SEPAMMANAN’NA RI BOTING LANGI’. NANYILI’ TOI PAJUNG RAKKILE NANNAONGIE TO PALANROE LE RI PAENRE RI PADAE. LE’ ULA’ BALU RIPASITARO KANNA ULAWENG SEPAMMANA’NA RI WIDE’ UNRU’. NATALLO RIO MANURUNGNGE. WATANNA MUA LA TONGE’ LANGI’ RONNANG MARAKKA PALESSORIWI LA UNGA WARU LE RI TAKKENA BEROPPAE, PASIALAI PAJUNG RAKILLE’ MANURUNGNGE, NAPASIALA KANNA ULAWENG SEPAMMANA’NA RI LALENG NRIU’ …” Artinya : 
”……MAKA, INGINLAH ORANG YANG DITETAPKAN SEBAGAI TUNAS DI DUNIA KEMBALI KE ALE’ LUWU. NAMUN TERLIHATLAH OLEHNYA LA UNGA WARU’ LA ULA’ BALU, BERGANTUNGAN DI TANGKAI POHON BEROPPA KELEWANG EMAS PUSAKANYA DI BOTING LANGI’ JUGA TAMPAK OLEHNYA PAYUNG KILAT TEMPAT BERNAUNGNYA TO PALANROE DINAIKKAN DI POHON PADADA LA ULA’ BALU YANG DISIMPAN DI PERISAI EMAS PASUKANNYA DARI WIDE’ UNRU’. SANGAT GEMBIRA MANURUNGNGE. LA TONGE’ LANGI’ SENDIRI BERGEGAS MENURUNKAN LA UNGA’ WARU DARI TANGKAI POHON BEROPPA, DIAMBILNYA BERSAMA DENGAN PAJUNG KILAT MANURUNG DAN PERISAI EMAS PASUKANNYA DARI LALENG NRIU …” 
Batara Guru pun bersuka cita dengan anugerah-anugerah dari Langit itu, tiba-tiba lautan berubah bagaikan arang yang membara. Di sebelah kirinya terdapat berbagai jenis senjata, yang segera di perebutkan dengan gembira oleh anak buahnya.
Karena Batara Guru tidak dapat tinggal di Bumi tanpa ada pasangan hidup, maka ditentukan bahwa kakak laki-laki dari kembar ibunya, Maha Dewa dari Dunia Bawah yang bernama Guru ri Selle’ dan isterinya dari saudari kembar La Patigana To PatotoE yang bernama Sinau Toja’ (yang dinaungi oleh air) anak perempuan mereka bernama We Nyili Timo’ TompoE ri Busa Empong (yang muncul dari buih gelombang) akan dikirim ke Bumi, disamping kelima puteri-puteri lainnya dari Dunia Bawah untuk dikawinkan dengan Batara Guru sebagai isteri pertama dan utama. Dari pernikahannya dengan We Nyili Timo’ lahir Batara Lattu. Batara Guru menikah lagi dengan We Saungriu. Dari pernikahan itu lahir La Panguriseng Toappananrang , Leleuleng dan Sangiang Serri. tetapi putri ini mati muda, ditempat perabuannya tumbuh padi pertama di Luwu. Kemudian Batara Guru menikah lagi dengan Leleuleng, lahir dua orang anaknya, yaitu Datu Maoge dan Letemmalolo. 
Ketika Batara Guru tiba di Dunia Bawah tanpa merasakan dirinya. Linrung Talaga sepupunya, melihat kedatangannya diberitahukannya hal itu kepada ibundanya Sinau Toja’. Dengan gembira disuruhnya menjemput kemanakannya itu untuk masuk ke dalam istananya. Tanpa diminta diberikannya kepada Batara Guru sekapur sirih dari dalam mulutnya yang telah dikunyahnya. Batara Guru meminang puteri mereka We Nyili Timo’ ia melihat sekeliling, akan tetapi ia tak melihat puteri We Nyili Timo’. Karena kecewa ia tak mau tinggal untuk menginap, dimohonkannya agar boleh segera berangkat. Sinau Toja berjanji akan mengirim We Nyili Timo’ ke atas. Batara Guru pun berangkat pulang. Punna Liung telah siap menanti di tepi pantai untuk membawanya lagi pulang sebagaimana halnya ketika ia datang. Setelah ia mendarat di Bumi, Punna Liung tenggelam pula ke dalam air.
Lima bulan sesudah Batara Guru berada di dunia tengah, We Nyiliq Timoq dikirim menyusul calon suaminya. Pada saat Batara Guru menjemput pusakanya di pantai, tampaklah di sebelah Timur di atas lautan seorang puteri, bersemayam di atas panca persada di tengah-tengah gelombang yang berbuih, payung kebesaran menaunginya, membara laksana api. Sang puteri berbusana adat Dunia Bawah. Batara Guru memerintahkan para pengiringnya berenang mendapatkan Sang Puteri. Akan tetapi mereka ditolak, karena dianggap tidak cukup wajar. Sementara itu kenaikan Sang Puteri We Nyili Timo’ terkatung-katung di atas ombak di depan Batara Guru. Seorang inang pengasuh mendesaknya agar ia sendiri berenang menghampirinya, akan tetapi setelah Batara Guru melakukannya, kenaikan We Nyili Timo’ bagaikan diterbangkan oleh angin. Dengan terperanjat dan bingung Batara Guru kembali ke pantai. Ia memandang sekeliling, dilihatnya mempelainya di sebelah Timur, ia berenang lagi menghampirinya, sampai tiga kali We Nyili Timo selalu menghilang. 
Ketika Batara Guru kembali ke pantai, ia berganti pakaian, yang dipakainya kini ialah pusakanya dari Sang Pencipta. Diambilnya sekapur sirih dari dalam cerananya, lalu diucapkannya satu mantra. Seketika laut menjadi kering, lalu pergilah ia mendapatkan We Nyili Timo’ ke tempatnya bersemayam. Akan tetapi Sang Puteri menguraikan rambutnya yang panjang, lalu mengucapkan sebuah mantra. Maka seolah-olah kenaikannya ada yang menariknya pergi lalu tenggelam dan tak terlihat lagi, akan tetapi dengan sekejap, lautan pun bagaikan menyala dan We Nyili Timo’ seolah-olah seorang anak dewata yang naik ke Bumi dengan usungannya2. Orang-orang Ware’ gemetar melihat api Langit sedang mengamuk di tengah lautan. Batara Guru kembali lagi dan menanti, dicampakkannya ikat kepalanya (yang berasal dari Langit) ke dalam laut sambil mengucapkan mantra hingga tiga kali hingga api itu padam. Dengan suatu mantra We Nyili Timo’ menjadikan air kembali naik. Batara Guru berenang kepadanya lalu duduk di sampingnya. Kembali ia tak kelihatan lagi, akan tetapi oleh mantra Batara Guru ia turun lagi seluruhnya dalam busana putih, rambutnya pun putih. 
Sang Manurung pun bungkam keheranan, akan tetapi diucapkannya lagi suatu mantra, sehingga wajah Sang Puteri berubah, kini bersinar penuh kecantikan dan duduk di sampingnya. Dengan suatu mantra We Nyili Timo merubah dirinya menjadi seorang anak kecil. Batara Guru membuka ikat rambutnya (bocing sitonra) dan mengucapkan suatu mantra, We Nyili Timo menjadi cantik kembali. Setelah sembilan hari sembilan malam lamanya mereka terkatung-katung di laut, selama itu mereka saling mengadu dan mengukur kekuatan rahasia masing-masing (dari Langit dan Dunia Bawah), pada tengah hari Sang Pencipta membuka jendela Langit, matanya tertuju pada keduanya di laut dan apa yang di buat oleh mereka berdua. Dikatakannya kepada Datu Palinge’, agar ia menurunkan sompa to Selli’ (mas kawin tertinggi) untuk kemanakannya, agar kejadian yang di bawah itu tidak berlarut-larut. Simpuruile’ didampingi oleh raja Langit yang bertanduk emas 3 akan membawanya kepada Guru ri Selle’ di Dunia Bawah. Dalam sekejap mata kedua utusan itu tibalah di sana. Setelah mereka di persilahkan memakan sirih, dipersembahkannyalah kepada yang dipertuan di Dunia Bawah dan permaisurinya mas kawin Batara Guru untuk puteri mereka. Berikut kutipan Sure’ I La Galigo tentang kemunculan We Nyili Timo’ dari Paretiwi :
”…….NASORO TUDANG MANURUNGNGE LE RI WIRINNA PALOJANGNGE. NAGILING MUA LE’ MASSAILE’ BATARA GURU NAPEMAGAI MAI RI LAU’ MPELLANG MANENG PALOJANGNGE. LE’ LE MASSAMANNA WATA TATERRE’ TASI SAJATI MALOANGNGE. KUA ADANNA MANURUNGNGE, ”ARE SI MAI RI LAU’E, WE SAUNG NRIU’, WE LELE ELLUNG, APUNG TALAGA ?. KUAE MUAPEPE’ TO PERESOLA MALLUA’ RITUJU NYILI’ TAPPA’ SAMUDDA TAPPA’ MANENGI WIRING MPOBAE ”. TELLEPPE’ ADA MADECENG TO PA MANURUNGNGE ENGKANI TOMPO’ WE NYILI’ TIMO’ SOLA SINRANGENG RI MENE’ EMPONG NALARUNG-LARUNG WELLONG MPALOJANG. MANAJANG KETTI SIPATTUDANGENG SAMPU’ RIBAKKO, LE NASSALEN WERO RAKKILE’, NAWAJU CELLA SETTI RISUKKI RIURE’-URE’ RI PAMIRINGENG LEBA SEKATI. LE NASAMANNA WARA MALLUA’ PAJUNG RAKILLE’ ANNAUNGENNA’, MARONENG-KONENG LE RI MENE’ EMPONG. NATALLO RIO ANURUNGNGE TUJU NYILII’ SAPPO SISENNA MARONENG-KONENG LE RI MENNENA’ PALOJANGNGE, SEPPATUDANGENG NADULU WERO, NALARUNG-LARUNG WELONG MPALOJANG. KUA ADANNA BATARA GURU : ”ATTODDANG MANENG MUA O MENNANG ANA’ DEWATA MANURUNGNGE, MUNANGEIWI DATU PUAMMU”. TELLEPPE’ ADA MADECENG TOPA TO RI TAROE TUNE’ RI KAWA, MALLUPERENNI LE’ ANA DATU MANURUNGNGE NANNAGEWI DATU PUANNA. ALA WEDDINNA RITAMPA’ JARI SINRANGENGE. LE’ NASAMANNA LE TO RISORONG NREWE’ PARIMENG LE RI TENGNGANA TASI’ SAJATI MALOANGNGE. TENNABAJENNI ATA DEWATA MANURUNGNGE MACCOERIWI DATU PUANNA. NAREWE MUA RONNANG PARIMENG, LE’ RIWIRINNA PALOJANGNGE. WATANNA MUA BATARA GURU RONNANG MATTODANG, LE NANGEIWI SAPPO SISENNA. LE TO RISITTA’ NREWE’ PARIMENG LE RI WIRINNA PALOJANGNGE. NATALLO’ RIO MANURUNGNGE. LE MAKKATENNI RI SINRANGENNA SAPPO SISENNA, MAPPAENRE’I RI KASSI’E. MENRE’ MANENNI MAKKATAWARENG ATA SANGIANG LE TOMPO’E. KUA MUANI TO SEROIE CANI’ RI LALENG ININNAWANNA MANURUNGNGE TUJU NYILI’I SAPPO SISENNA. LE NAMASUA SEMPUTUNGENGNGI AWAJIKENNA……”

Sinau Toja memerintahkan agar penerimaan mas kawin itu dilakukan dengan upacara antara lain dengan mengundang matoa bissu. Istana dan tempat yang dilalui harus dihiasi. Penyambutan mas kawin berlaku (menurut cara yang lazim) dengan tari dan bunyi-bunyian bissu dan sebaginya, para pengantarnya dijamu dengan sangat khidmat. Setelah itu para pengantar bermohon diri dan dalam sekejap mata mereka tiba di Langit. Mereka melaporkan kepada Sang Pencipta dan permaisurinya tentang penyelesaian tugas mereka. Sang Pencipta melihat dari jendela Langit, mengucapkan suatu mantra, maka kenaikan We Nyili Timo’ bagaikan dihela ke tepi pantai. Batara Guru yang amat bersukacita, memegang lengannya, menariknya. Batara Guru mengundang permaisurinya ke istana, sambil berkata bahwa ia pun di Langit tidak ada yang menyaingi ketampanannya. Oleh dua orang dayang, bersama We Nyili Timo’ dari dunia Bawah untuk menjadi selir Batara Guru, membujuk Sang Puteri untuk memenuhi keinginan Sang Manurung.
Dari dunia atas (baca : Botinglangi) dan dunia bawah (baca : Uri’liu) mereka berasal, membaur dan melahirkan keturunan keduanya di AlE Luwu (pusat Luwu). Perempuan yang masih sepupu Batara Guru ini merupakan putri sulung raja dan ratu dunia bawah (Peretiwi).(versi lain mengatakan kerajaan Buri’ Liu – Kerajaan Bawah Laut/Air). Suami istri penguasa dunia bawah tersebut masih kerabat dekat Patotoqe dan istrinya. Putri sulung guru ri Selleng penguasa Dunia Bawah (Peretiwi) ini muncul dari celah gelombang, ujung busa laut Timur (buih-buih lautan) sehingga digelari To TompoE Ri Busa Empong artinya orang yang dimunculkan (dilahirkan) dari buih-buih lautan(versi Mandar). Akhirnya, keduanyapun menikah. Bertahun-tahun kemudian, barulah mereka dikaruniai putra bernama Batara Lattuq.

Setelah sekian lama mereka bersama akhirnya We Nyili Timo’ hamil dan mengidam, disebutnya sejumlah besar benda-benda ajaib yang diinginkannya, yang sulit diperoleh. Batara Guru menyuruh melepaskan dari tempat bertenggernya burung La Manrusereng dan berbagai jenis burung lain. Mereka berterbangan menghadap tuannya, untuk menerima perintah dengan ancaman yang paling berat untuk mencari segala yang diminta oleh We Nyili Timo’. Maka berterbanganlah burung-burung itu ke segala jurusan, dalam waktu singkat kembalilah mereka dengan membawakan segala yang diingini oleh Sang Puteri untuk menyatukan semangatnya. Beliau telah tiga bulan mengandung. Batara guru mengajaknya bersiram dengan lengkap, setelah itu barulah disajikan segala santapan yang diidamkannya. Akan tetapi We Nyili Timo’ masih menginginkan lagi air pasang sampai ke kaki istana, melihat kapal-kapal berlabuh di situ, melihat nelayan mengangkat naik jaringnya dan melihat mereka menangkap ikan-ikan ajaib. Batara Guru memakai pakaian kebesarannya dengan segala tanda-tanda kemanurungannya, lalu duduk di atas singgasananya, menyembah kepada Langit dan Dunia Bawah dan menghimbau Sinau Toja’ untuk menaikkan air pasang sampai ke kaki istana sesuai dengan permintaan We Nyili Timo’. Sang Maha Dewi mendengarnya, kemudian Guru ri Selle’ pun memerintahkan memanggil rakyat Dunia Bawah berkumpul. La Balaunnyi pun datang dengan raja-raja bawahannya. Pada tengah hari mulailah badai dan taufan mengamuk, suasana di Bumi gelap gulita, pelangi yang tujuh warna nampak dekat tiang agung istana, air yang selalu diidam-idamkan oleh We Nyili Timo’ telah sampai ke Dunia Tengah. Cuaca menjadi cerah lagi, We Nyili Timo’ menjadi puas ikan dari hasil jaring juga telah ada. Batara Guru dan We Nyili Timo bersiram sekali lagi dalam rumah, setelah itu We Nyili Timo memakan makanan yang telah dibawakan oleh para burung.

Manakala usia kehamilan We Nyili Timo’ genap tujuh bulan, datanglah para dukun bersalin untuk melakukan kewajibannya. Puang matoa Lae-Lae datang berkunjung lengkap dengan segala sesuatu yang diperlukan. Hari-hari menjelang Sang Permaisuri bersalin ternyata hari-hari yang sulit. Batara Guru memerintahkan raja-raja bawahan Luwu dan Ware’ datang menghadap dengan membawa kelengkapan perang mereka. Ketika mereka dengan anak buahnya berkumpul, diperintahkanlah mereka untuk saling menyerang, juga orang-orang kate, bulai dan lain-lain. Mereka bertarung dan saling membunuh. Batara Guru memanggil puteranya yang belum lahir dengan namanya agar keluar ”Kau akan menjadi raja Luwu dan Ware’, Aku akan naik kembali ke Langit, ke kerajaan yang kuwarisi di sana”. Maka lahirlah Batara Lattu, sementara unsur-unsur alam(tanah, air, angin dan api) mengamuk sehingga Bumi menjadi gelap gulita. Batara Guru bersukacita dengan puji-pujian yang diucapkan oleh para dukun bersalin tentang sang bayi. Sambil memberikan hadiah-hadiah diajaknya bayi itu memekik. Hadiah itu terdiri dari benda-benda pusaka yang dibawanya dari Langit, yakni sebuah keris beserta kain pengikatnya. Sang bayi pun semakin memekik. Lalu memberikannya lagi hadiah-hadiah yang lain berupa cincin yang berasal dari Sang Pencipta dan Datu Palinge’ serta sebuah penutup kepala yang terbuat dari emas akhirnya sang ayah berhasil menghentikannya memekik. We Saungriwu memasukkan tali pusarnya ke dalam sebuah guci kemudian menutupnya dengan sehelai kain yang sangat berharga5 dibuatkannya tempat meletakkan guci itu di samping tiang agung istana. Tujuh hari setelah kelahiran Batara Lattu’, pada pagi harinya tali pusarnya dibawa turun dari istana dalam suatu usungan, di atasnya dikembangkan sebuah payung, seorang terkemuka dalam usungan itu memangkunya dalam sebuah peti kecil, para bissu laki-laki memanggil semangat6 dan sebagainya. Pawai itu berkeliling sebanyak tiga kali.
Manakala Batara Lattu berusia tiga bulan, We Nyili Timo’ berkehendak menempatkannya di atas ayunan. Batara Guru memanggil ketiga puang matoa datang, raja-raja bawahan Luwu dan Ware’ dan Kau-Kau juga dipanggilnya, demikian pula kesatria-kesatria dan orang-orang besar dari negeri-negeri seberang lautan. Para puang memegang pimpinan dalam mempersiapkan peralatan. Ayunan dilumuri dengan darah yang telah disembelih. Keesokan harinya, pagi-pagi mereka masuk ke dalam istana sambil menyajikan litani disamping ayunan yang dibawa ke bagian depan istana, diiringi oleh bissu-bissu yang sedang melakukan seremoni. Tiba di tempat sang bayi dibaringkan dalam istana, ayunan dilumuri sekali lagi dengan darah dan diberi tirai.

Ketabanan Batara Guru menjalani nasibnya sebagai manusia, sebagai manusia pertama di bumi yang kosong, akhirnya memberi ia berkah yang sedemikian indah – begitu indah sehingga ia melupakan hasratnya untuk kembali ke langit, dan itu berarti melupakan ingatannya sebagai dewa. Ternyata menjadi manusia yang mampu melewati berbagai cobaan adalah berkah yang paling besar di seluruh alam, berkah yang yang lebih menarik, lebih bermakna daripada menjadi dewa. Ini analog dengan salah satu “pesan hidup” Sawerigading bahwa berlayar mengelilingi dunia, lebih menarik dari duduk diam bertahta sebagai raja yang dipertuan.
Pada halaman 166 dan 168, baris 10-12, dapat kita baca:
“…..ALA MAELOQ MAWELA BATARA GURU SIRAGA-RAGA MASSAPO SISENG. TENNASENGEQ NI LOLANGENGGE RI BOTING LANGIQ……”
ARTINYA :
“…TAK INGIN LAGI BERINGSUT BATARA GURU BERMESRA KASIH BERSEPUPU SEKALI. TAK DIHIRAUKANNYA LAGI NEGERI DI PUNCAK LANGIT…”

Batara Guru akhirnya bahagia di Dunia Tengah, dan mulai melupakan asalnya, melupakan ayahandanya, setelah perkawinannya dengan We Nyiliq Timoq, puteri sulung penguasa Dunia Bawah. Perkawinan ini mengukuhkan sesuatu yang selalu muncul dalam Sureq Galigo: persatuan Dunia Atas dan Dunia Bawah, yang kemudian melahirkan penghuni dan penguasa Dunia Tengah. Di akhir kisah panjang ini, Batara Guru memang kelak naik kembali ke langit, menggantikan kedudukan Patotoqe sebagai penguasa tertinggi. Tapi ini terjadi setelah empat generasi keturunan Batara Guru sudah menjelajah ke seluruh penjuru dunia, Bumi menjadi semarak oleh kehidupan manusia dan keturunan para dewa sudah berpindah naik ke Kayangan atau turun ke Dunia Bawah Tanah. 
La toge’ Langi’ (Batara Guru) mempunyai 3 permaisuri, yakni : 
1. Dari permaisurinya yang pertama Enyilitomo lahir seorang puteranya yang bernama Batara Lattu.
2. Dari permaisurinya yang bernama Wesaungiriu, lahir dua anaknya, yaitu : 
  1. Lapanguriseng Toappananrang. 
  2. Leleulung. 
3. Dari Permaisurinya yang bernama Leleuleng lahir tiga anaknya, yaitu : 
  1. Latemmalureng. 
  2. Datu Maogoe. 
  3. Latemmalolo. 
Dari perkawinan Batara Guru dengan We Nyili’Timo, lahirlah seorang anak bernama La Tiuleng yang bergelar Batara Lattuq yang sekaligus menjadi pangeran kerajaan Luwu dan menjadi Cikal bakal Raja-raja Dibumi (kerajaan luwuq/bugis). Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’.
Seorang saudara perempuan lain ibu Batara Lattuq yang bernama We Oddang Riuq, meninggal tujuh hari setelah dilahirkan, menghujamkan perih yang beberapa hari kelak menjadi kangen tak tertahankan di hati ayah bundanya. Dari Kubur We Oddang Riuq tumbuh tanaman yang sedang menguning dalam lima nuansa warna yang menyebar ke seluruh bukit dan lembah. Tubuh puteri itu terurai menjadi padi yang akan menghidupi manusia beribu tahun.
Semua keturunan dari Dewata yang masih tersisa di Bumi akan ditarik naik ke Langit. Dan juga pintu-pintu ke Dunia Bawah dan Bumi akan ditutup, namun antara Langit dan Dunia Bawah akan tetap terjalin persekutuan. Batara Guru bermimpi naik ke Langit. Sang Pencipta menyuruh menyampaikan kepada Yang dipertuan di Dunia Bawah, bahwa puterinya We Nyili Timo’ harus bersama dengan suaminya ke Langit. Batara Guru telah mulai merasa tak betah lagi di Bumi. Ia membagi-bagikan kepada masing-masing saudara tiri Batara Lattu’ suatu daerah tersendiri, yang semuanya takluk di bawah kekuasaan Luwu. Batara Lattu sendiri yang akan menggantikannya dalam pemerintahannya atas Luwu. Setelah itu naiklah Batara Guru dan We Nyili Timo’ ke atas dengan semua generasinya, terutama para selirnya, dari Dunia Bawah ada yang naik ke atas untuk mengiringi We Nyili Timo’ dan suaminya ke Langit, akan tetapi hanyalah mereka berdua yang dapat melihatnya. 

Ketika tiba saat itu yaitu setelah tujuh hari sejak Batara Guru bermimpi maka pelangi pun dinaikkan dan Batara Guru memakai pakaian Langit, suatu mantra diucapkan puja dipanjatkan ke Langit dan Dunia Bawah, halilintar berdentum sebanyak tujuh kali, para pengawal-pengawal Sang Pencipta turun ke Bumi membawa badai, pelangi sapta warna masuk ke dalam bilik Batara Guru, Baginda pun bergerak dan berangkat dengan pelangi ke Langit bersama We Nyili Timo’ dan isteri-isteri lainnya diiringi oleh gejolak alam. Rantai Langit pun diuraikan, maka terbukalah gerbang Langit dan tinggal di langit untuk selama-lamanya. Anak-anak dan keturunannya di tinggalkan di Bumi termasuk anaknya Batara Lattu, yang akan menggantikan tahtanya kelak sebagai Datu Luwu.

PERIODE BATARA LATTU’

Setelah Batara Guru naik ke Langit pemerintahan diserahkan kepada anaknya Batara Lattu’. Sekitar 20 tahun Batara Lattu’ memerintah. Setelah dewasa, Batara Lattuq dinikahkan oleh anak La Urumpassi bersama We Padauleng di tompottikka, We Datu Sengeng (versi Toraja bernama Datu Senga). Usai pernikahan, akhirnya Batara Guru dan istrinya kembali ke langit. Maka, tahta kerajaan diserahkan kepada Batara Lattuq. Istana yang telah dibangun oleh Batara Guru di bukit Finsemouni tetap dijadikan kediaman Batara Lattu’.

Syair indah yang dilontarkan oleh Batara Lattuq kepada We Datu Sengngeng : 
Bahasa Bugis
“….KURUQ SUMANGEQ ANRIQ PONRATU LE MUASENG GI BELO JAJARENG MAROEQE PALAGUNA LE GOARIE TEKKUTURUSI RAJUNG-RAJUMMU PESEWALIMMU MUTIA SIMPENG MASAGALAE ALA RINI LE UPATUDANG MULU JAJARENG RI LAIMMU TENNA IO MI ANRIQ PONRATU MULU JAJARENG RI SAO DENRA MANURUNGNGE SINING ANUKKU, ANUMMU MANENG ANRI MUGILING PALEPPANGIAQ RUPA MABBOJA…..” 
Artinya :
“…..KUR SEMANGAT ADINDA TAHUKAH ENGKAU DUHAI HIASAN BALAIRUNGKU YANG RAMAI BULAN PURNAMA PENGHIAS BILIKKU KUPENUHI SELURUH KEINGINANNMU TAK ADA LAIN YANG DUDUK DI BALAIRUNGKU SELAIN ENGKAU ENGKAULAH SATU-SATUNYA ADINDA PERMAISURIKU DI ISTANA AGUNG MANURUNG SEGALA MILIKKU, MILIKMU JUA ADINDA BERPALINGLAH MEMANDANGKU DENGAN TATAPAN CINTA…….” 

Dari perkawinan Batara Lattuq dengan We Datu Sengeng, maka lahirlah anak kembar emas. Yang laki-laki diberi nama Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading, dan yang perempuan bernama We Tenriabeng yang akhirnya dikenal dengan nama DAENG MANUTTE yang dijuluki juga BISSU RI LANGI, MALLAJANGNGE DI KALEMPINNA. Saat proses kehamilan Sawerigading, ia ditempatkan dalam satu batang bambu betung. Dan nama yang disematkan memunyai makna Sawe berarti menetas dan Ri Gading berarti di atas bambu (bentung). Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung. Versi lain mengatakan Anak dari Batara Lattu’ dengan We Datu Sengeng ada 6(enam) orang. Ketika empat puluh hari disusukan oleh ibu kandungnya, kedua anak kembar itu diserahkan kepada ibu susu secara terpisah. 
Namun sebelum anak kembar emas itu lahir, Batara Lattu’ mendapat pesan dari neneknya DEWA PATOTO di Boting Langi yang bernama juga DATU PALINGE bahwa kalau anakmu lahir dengan selamat nanti, kalau ia laki-laki buatkanlah olehnya kamar (Tirai Pelindung) istana kerajaan Luwu itu, agar tidak ada yang saling melihat antara satu dengan sama lain, karena kalau ia melihat nanti saudaranya yang wanita tentu jatuh cintalah ia dan akhirnya ia akan memperistrikan. Jika perkawinan antara Sawerigading dengan We Tenriabeng terjadi, maka sudah dianggap melanggar ketentuan alam bumi dan langit. Maka, akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri akan mengalami bencana yang luar biasa. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng istana sejak masih bayi. 

Jadi menurut anggapan Sawerigading dan juga adanya keterangan dari kedua orang tuanya bahwa dia adalah anak tunggal yang keluar dari perut Datu ibundanya,
“….TAK ADA DUAMU YANG AKAN MEWARISI TAHTA KERAJAAN (PAJUNG) RI LUWU. KEPADA ENGKAULAH BERPUSAT PENGABDIAN DAN PENERIMA UPETI DARI ORANG BANYAK DI WATAMPARE……”

PERIODE SAWERIGADING

Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Towani-Tolotang di Sidenreng, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu : 
• Versi Sulawesi Tenggara, abad V;
• Versi Gorontalo, 900 dikurangi 50 = 850;
• Versi Kelantan – Terengganu, tahun 710. 
Sepertinya, versi Sulawesi Tenggara lebih dekat dengan versi yang dikemukakan oleh masyarakat Towani-Tolotang. Mereka menetapkan versi ini sebab menurut kepercayaan mereka Sawerigading sezaman dengan Nabi Muhammad, bahkan pernah bertemu.

Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.
Sebagai putra bangsawan sawerigading seorang tokoh yang besar sebagai salah satu tanda kebesaran sawerigading ia selalu menggunakan pakaian kebesaran raja yang semua terbuat dari emas, berupa paying kebesaran yang terbuat dari emas, cincin emas yang semuanya rutun dari langit yang dibawah oleh leluhurnya, dipinggangnya selalu melekat keris emas sebagai symbol keberanian dan kejantangannya.
Ada 4 sifat yang melekat pada Diri Sawerigading yakni
1. Getteng (Teguh pendirian)
2. Warani (Berani)
3. Lempuq (Jujur)
4. Macca (Pintar)
Nama-nama lain Sawerigading yang sering muncul dalam Epos La Galigo yakni, To Appanyompa (Orang yang disembah), La Maddukelleng, Langiq paewang (sang penggoyah langit), Pamadeng lette (Pemadam halilintar), Sawe Ri sompa (Keturunan Orang yang disembah), La Pura Eloq (Orang Yang tak terbantahkan kemauannya), La Datu Lolo (Raja Muda), La Oro Kelling (Orang Oro kelling), La Tenritappuq (orang yang tak terkalahkan), To Botoq (Sang Penjudi).

Tersebut pula bahwa Sawerigading mempunyai tujuh puluh orang saudara sepupu laki-laki yang sedarah dengan dia, serta sepupu wanita yang sebanyak itu juga. Diantara yang tujuh puluh itu dapat dicatat beberapa orang antara lain :
  1. LA PANANRANG Tosulo Lipu , itulah yang menjadi wakilnya yang bertugas memutuskan persoalan masyarakat, baik yang ringan maupun yang berat.
  2. LA MASSAGUNI, yang bertugas sebagai pemimpin dalam peperangan.
  3. PANRITA UGI, yang tugasnya mengurusi peralatan perang.
  4. JEMMU RISEJINNA, yang bertugas mengurusi harta kerajaan kerajaan
  5. SETTI MANNYALA, yang mengurusi soal pangan. Begitupun dengan yang lainnya, masing-masing diberikan daerah kekuasaan, yang berada di bawah kedaulatan Sawerigading.
Adapun kesemua sepupu wanitanya berjumlah tujuh puluh orang itu, semuanya diperistrikan dan di Poligami semuanya.Tersebut pula bahwa tindak-tanduk Sawerigading tampak sangat agresif, hanya mengembara dan berlayar kian kemari untuk menyerang dan menaklukkan daerah-daerah yang tidak mau tunduk kepadanya. Maka tersebarlah kekuasaannya dimana-mana. Di semua peperangan, ia pasti mendapat kemenangan. Kemudian ia membuka Salenrang untuk menenangkan pikirannya lalu melangkahkan kaki bersama-sama turun keperahunya untuk bertolak.
Pangeran muda itu sesungguhnya sudah punya sejumlah isteri. Selain penjudi agung yang gemar menyabung ayam, ia adalah pemburu perempuan yang bersedia mengembara ke neraka untuk mendapatkannya.
Pernah ia jatuh hati pada seorang puteri yang telah meninggal. Seluruh armadanya ia kumpulkan lalu dengan brutal ia menyerang alam arwah yang terlarang dan mengacak-acaknya untuk merebut kekasihnya dari tangan dewa.

Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng.

Begitu pula dalam suatu riwayat, bahwa Sawerigading dapat melihat barang yang berlindung atau yang di lindungi. Dapat pula berbicara dengan rumpun keluarganya di Boting Langi. Selama pelayarannya, semua isi perahu yang bertugas tak seorang pun yang kelihatan lengah, tidur berganti-gantian terutama pengaman haluan. Setelah sepuluh hari dalam pengembaraan, di suatu pagi yang cerah, rupanya agak cepat sang surya bercahaya memancarkan sinar yang bakal menyengat keluarga Sawerigading, terombang-ambing yang sangat jauh dari daratan. Maka terkenanglah Sawerigading akan kedua tuan Ayah Bundanya.
Dengan menoleh kebelakang meluruskan arah pandangannya kearah istana ayah bundanya di Luwu. Dari jarak yang begitu jauh dapat terlihat olehnya seorang “Putri” keluar di serambi depan istana di arak oleh orang banyak ke singgasana penobatannya dibawah payung kebesarannya dikalungi dengan Ulla Menreli .
Berkatalah Sawerigading kepada kakak sepupunya La Pananrang :
“……SAYA SANGAT HERAN KAKANDA LA PANANRANG, ADANYA PENYAMPAIAN KEPADAKU BAHWA AKAN ADA ANAK TUNGGAL DARI KERAJAAN LUWU, TIDAK ADA DUAKU BAKAL DINAUNGI PAYUNG KERAJAAN, MENERIMA PENGABDIAN DAN PENERIMA UPETI DI WATAMPARE. MENGAPA ADA, SAYA MELIHATNYA DARI JAUH, DITENGAH-TENGAH RUANGAN SINGGASANA ADA PAYUNG RANGKILE RIPALORONGI SAWA SINEPPA RI PAKKALURI ULA MENRELI PAYUNG KEBESARAN DIULURKAN DI ATAS MAHKOTA SERTA DIGELUNGI SELENDANG BERWANA-WARNI (MAKSUDNYA ADA RAJA MUDA DINOBATKAN)………”
“…KAKANDA LA PANANRANG DARI JAUH INI SAYA MELIHATNYA DARI ISTANA ADA MEMANCAR LANGIT…..”.
Berkatalah Sawerigading :
“……..PUTARLAH WAKKANG WEROE KITA KEMBALI ALE’ LUWU, UNTUK LEBIH MENGETAHUI LEBIH JELAS APA SEBENARNYA YANG TERJADI…..…”

Dengan tidak mengeluarkan sepatah kata-kata segeralah diputarnya haluan menuju arah Ale’ Luwu, tidak berapa lama terdamparlah perahu Wekkang Weroe Ri Toddang Pelle tersiarlah kabar bahwa telah terdampar Datu Sawerigading bersama sepupu-sepupunya yang beritanya sampai di istana Luwu, maka cepat-cepatlah We Tenri Abeng masuk ke dalam kamarnya dan Sawerigading sudah sampai bersama sepupunya di istana, datanglah Sawerigading bersimpuh di hadapan kedua Datu ayah bundanya seraya berkata:
“…..APAKAH SEBABNYA DATU KEDUA AYAH BUNDAKU MENGATAKAN PADAKU, BAHWA AKULAH ANAK TUNGGAL DARI PERUT IBUKU WE DATU SENGNGENG. DARI PENGEMBARAANKU DAPAT KULIHAT DENGAN JELAS PAJUNG RANGKILE DIATAS SINGGA SANA INI?……..”
Berkatalah Batara Lattu :
“…..WANITA APAKAH GERANGAN YANG KAMU LIHAT ANANDA PONRATU DALAM PENGEMBARAANMU?……..”
Berkatalah Sawerigading :
“…….SUNGGUH IA DEKAT DARI SINI……..”
Berkatalah Batara Lattu :
“……..MUNGKIN YANG KAU LIHAT ITU ADALAH PEREMPUANMU WE PANANGARE………”
Berkatalah Sawerigading :
“……APAKAH MUNGKIN TIDAK DAPAT KUBEDAKAN WE PANANGARE SEDANG IA TIDAK PERNAH LEPAS DARI PELUKANKU PADA MALAM HARI…….”
Berkatalah Batara Lattu :
“…..ATAU YANG KAU LIHAT ITU IALAH WE BULU TANAH……”
Sawerigading :
“….. JUGA TIDAK PANTAS PULA TIDAK DAPAT KUBEDAKAN, SEDANG IA SELALU DALAM RANGKULANKU PADA MALAM HARI……”

Maka Termenunglah Batara Lattu Seperti Tidak Dapat Lagi Menjawab Perkataan Anaknya Itu. Tiba-Tiba Berkatalah Datu Ibundanya We Datu Sengngeng :
“……WAHAI DATU AYAHANDANYA LA MADDUKELLENG, KENAPA TUAN TIDAK MAU BERTERUS TERANG KEPADANYA BAHWA YANG KAU LIHAT ITU ADALAH SAUDARA KANDUNGMU WE TENRI ABENG. KAMU MEMBERI PENJELASAN, SEAKAN-AKAN ITU BAYI YANG BARU SAJA KELUAR DARI KANDUNGAN YANG MASIH BERADA DI ATAS TAPAK TANGAN SANG DUKUN…….”
Sawerigading Berkata :
“…..TUAN KEDUA ORANG TUAKU! APA SEBABNYA WAKTU KECILKU KAU SEMBUNYIKAN BAHWA SAYA ADALAH ANAK TUNGGAL YANG KELUAR DARI PERUT IBUKU?…….”
Ibunda Batara Lattu :
“…….TENANG WAHAI ANAKKU PONG RATU AKU AKAN BERCERITA PADAMU, RIWAYAT KETURUNAN DARI NENEKMU DI BOTING LONGI, BAIK YANG TURUN KE DUNIA TENGAH INI MAUPUN YANG TURUN KE DUNIA BAWAH . SUDAH BERLAKU TURUN TEMURUN SETIAP LAKI-LAKI SEMUANYA TERTARIK DAN JATUH CINTA KEPADA SAUDARA WANITANYA SENDIRI…….”
“……ITULAH YANG DIPESANKAN TUAN NENEKMU DI BOTING LANGI UNTUK MEMBUATKAN KAMU DINDING PELINDUNG DITENGAH RUANG ISTANA INI, SUPAYA KALIAN JANGAN SALING MELIHAT ANTARA SATU DENGAN YANG LAINNYA…..”
Berkatalah Sawerigading :
“…..TIDAK DEMIKIANLAH WAHAI KE DUA ORANG TUAKU, WALAUPUN ENGKAU MENGATAKAN ITU ADALAH SAUDARA KANDUNGKU KUANGGAP ITU SEKEDAR KABAR YANG TIDAK CEPAT KUTERIMA. DAN KALAU MEMANGNYA BENAR IA SAUDARAKU, APA SALAHNYA DATANG MENGHADAPIKU DAN MENENTERAMKAN JIWAKU…….”

Kedua orang tuanya menjadi gusar mendengar tutur kata, pembangkangan anaknya Sawerigading, yang tidak mau mendengar dan mengambil nasehat itu. Tampak terbayang maksudnya untuk mendudukkan saudara kandungnya dalam kata hatinya.

Ternyata tanda-tanda yang dikhawatirkan Batara Guru atas Sawerigading terhadap adik kembar emasnya, terjadi. Ketika Sawerigading, putera mahkota kerajaan Luwu, tengah menjambangi makam neneknya di negeri Tompo’ Tikka’ (Matahari Terbit). Di sana ia diberitahu rahasia terbesar kerajaan. Di bagian terlarang istana, hiduplah seorang gadis kelewat cantik yang berjalan dengan pakaian serampangan dan menghabiskan waktu dengan mabuk mandi dan bercakap dengan segala jenis burung: seorang makhluk langit yang dititipkan ke dunia. Dengan berbagai cara, Sawerigading mencari jalan menerobos larangan istana. Dalam sebuah pesta besar di istina luwu’, Tanpa sengaja sawerigading melihat adik kembarnya We Tenriabeng, Begitu melihat gadis tersebut, sukmanya terbang. Ia jatuh cinta pada gadis yang ternyata adik kembarnya, We Tenriabeng, makhluk paling cendekia dalam seluruh kosmologi Bugis. Sawerigading langsung terpincut dan jatuh hati. Perasaan dan pikiran Sawerigading tidak pernah tentram lagi siang dan malam yang terbayang hanyalah adik kembarnya we tenriabeng dan Sawerigading bahkan berniat menikahinya.
Mendengar keinginan Sawerigading tersebut, ayahnya, Batara Lattu, mencegahnya dan berkata bahwa mengawini saudara sendiri adalah ruttung langi, sebbo tana. Dengan kata lain, perbuatan semacam itu merupakan pantangan keras bagi adat kerajaan. Mendengar kata ayahnya, Sawerigading bersedih dan merasa kecewa. Akibatnya, selama 9 hari dan 9 malam ia membungkus diri, mulai dari kepala sampai kaki tertutup rapat, sanbil mencucurkan air mata memikirkan nasibnya.
Meski dicegah oleh ayahnya, Sawerigading tetap pada pendiriannya, dan ia berkata:
“….MATEPPE’TO LELUWIE, MASSAJATITO KELOLENGENGE,
TOROSIA NAJAJIMOA KEMINASAKA…..”.
Artinya,
“BIARLAH ORANG-ORANG LUWU PUNAH, KERAJAAN HANCUR LEBUR, ASALKAN KEINGINANKU TERCAPAI”.

Mendengar kata itu, We Tenri Abeng berkata :
“……MAKKATAEKO LINGE’ O DATU RI PATOTOE,
LENASEKKO JAJU DUKKELLENG,
SOMPANA LAGI MAUFU LIPUTANGGA,
PANGARA KIRA-KIRAI TAMARA RAMPU,
MUFATADANGI RIHAMANANA,
UFOTEGAE AWANANGI MAENA TANA….”
Artinya :
“ENGKAU TELAH MENEMUI DATU PATOTOE, ENGKAU TELAH BERLAYAR BERKELILING, MENGUNJUNGI BERBAGAI KERAJAAN UNTUK MEMPELAJARI ADAT KEBIASAAN SESAMA DATU, KAKAK DUKKELENG, BARULAH ENGKAU MELETAKKAN PADA PIKIRANMU HAL-HAL YANG TIDAK DISENANGI DI SELURUH DUNIA”.

Mendengar jawaban tersebut, Sawerigading berkata :
“……LANRO ALEMU ANRI WE ABENG KUCINNAI,
TURUNFAMMU TUDANG MAHKAFU PANGGANUA ININAWAKELE……”
Artinya :
“raut tubuhmu adik We Abeng kuingini, roman kecantikanmu senantriasa bersemayan di menara kalbuku”. Dalam waktu sekejap batara Luwuq mengadakan rapat dewan adat untuk membicarakan masalah ini. Dan kesimpulannya peristiwa tersebut dianggap suatu pelanggaran adat yang sangat memalukan dan dapat menyebabkan bencana bagi kehidupan di bumi. Sebagai hukuman atas kelakuan sawerigading tersebut adalah pembuangan. Mendengar permintaannya ditolak Dewan Adat, Sawerigading sampai menangis terisak-isak lalu ia ditergur oleh pengawalnya agar ia berhenti dan tegap menghadapi kenyataan hidup dengan tegar.

Mengetahui bahwa tak boleh ia menikahi adiknya, Sawerigading bertolak dari Luwu. Untuk menjinakkan ingatannya pada si adik, pangeran tampan dan romantis itu berniat menjarah seluruh lautan. Armadanya mulai membelah samudera ketika sebuah pesan tiba dari orang tuanya yang kangen. Di depan ayah bundanya kembali ia memohon ijin mempersunting puteri yang satu tembuni dengannya. Orang tua yang mati akal dan bahkan pernah dibentak dengan muncratan ludah itu hanya bisa bilang bahwa insest itu tabu, pemali. Negeri akan berantakan, padi jadi lalang dan sagu lumpur. Batara Lattuq Sang Raja lalu mendatangkan seorang nenek tua bangka yang seusia manusia pertama, untuk menegaskan akibat perkawinan sedarah: kehancuran dunia dan kelaparan yang membentang di cakrawala. Mungkin karena usianya yang uzur, mungkin karena tabuhan Sawerigading pada tubuh tua itu terlalu boros, nenek itu terkapar. Seakan ingin memutuskan sejarah yang menabukan insest, Sawerigading memenggalnya.

Sejumlah kesintingan, seperti memanggang berhari-hari semua anak Luwu di bawah matahari dengan harapan agar mereka juga menderita sebagaimana dirinya, masih dilakukan Sawerigading sebelum akhirnya adik kembarnya datang menemui. Bissu belia yang bahkan lebih cerdas dari dewa-dewa ini berupaya keras menghadapi kakaknya yang lebih mencemaskan bahkan ketimbang setan.
Berkatalah Batara Lattu kepada isterinya Datu Sengngeng :
“……..sebaiknya engkau adinda
Suruh saja anakmu We Tenri Abeng
Untuk menenangkan dan menyadarkan saudaranya,
La Maddukelleng Dukelleng,
Kemudian berikan sepenuhnya
Kepada kemauan Dewa Patoto Di Boting Longi,
Semoga Yang Maha Mulia
Mau menunjukkan kepadanya
Seorang wanita yang sama raut mukanya
Dengan saudaranya We Tenri Abeng………”

Sejak dan sesudah itu, maka diantarlah keluar We Tenri Abeng atau Daeng Manutte ke tempat. Didapatinya kakek Datu Sawerigading bergelimang air mata dalam selimut yang menutupi sekujur tubuhnya. Dengan langkah yang pelan lalu duduk disampingnya, seraya diulurkan tangannya dengan jari jemari yang halus di berikannya selimut di atas kepalanya lalu diusap dahinya kemudian dirabah dadanya untuk merasakan turun naik nafasnya, keluarlah suara halus dari mulutnya :
“…..tidurkah engkau kakanda Pong Ratu, orang yang keliru setinggi langit, selayang tertutup mata hatinya, tidurkah engkau?…….”.
Kata We Tenri Abeng :
“……PANTAS!
KALAU TUBUHMU BESAR,
JUGA KEBODOHANMU,
BESAR PULA KANDA PONG RATU.
TIDAK PERNAH KUDUGA BAKAL TERJADI.
SAMPAI HATIMU MENEMPATKAN AKU
SELALU DALAM KENANGANMU UNTUK MENJADI PERMATA HATIMU, KANDA PONG RATU?
BUKANKAH DI DALAM SEBUAH PEMBULUH EMAS,
KITA PERNAH BERSAMA,
LALU KELUAR BERSAMA PULA,
BERGELIMANG DARAH DI TAPAK TANGAN DUKUN.
BUKANKAH DEMIKIAN KAKANDA?……..”

Sawerigading tersentak mendengarnya. lalu ditanggalkannya selimutnya seraya mengusap air mata yang meleleh dipipi adiknya, Lalu berkata :
“…..ADINDAKU WE TENRI ABENG,
GERAK GERIKMU YANG TENANG ITU
MEMBUAT AKU TIDAK DAPAT MENELAN SESUAP NASI
DAN POSTUR TUBUHMU YANG TINGGI SEMAMPAI ITU
MEBUATKU TIDAK BISA TERLENA SEJENAK……”
Maka berkatalah WE TENRI ABENG :
“……..KAKANDA PONG RATU!
SEKEDAR MENGUCAPKAN SAJA KATA-KATA SAJA,
KATA-KATA YANG DEMIKIAN ITU
SUDAH CUKUP ANGKER BAGI KITA,
APALAGI KALAU DIBUKTIKAN
DENGAN ADANYA PERKAWINAN
ANTARA DUA ORANG BERSAUDARA
KITA AKAN DIKUTUK OLEH MAHA DEWA
DENGAN MALAPETAKA;
Tellao Paki Sangiangseri ,
Temmaccolli Pakka-Pakka’e ,
Tessillarongengngi Welarengnge ,
Tessawetoi Pabbanua’e ………..”

Berkatalah Kembali We Tenri Abeng :
“ ……WALAUPUN SEANDAI AKU MENURUTI RAYUANMU
MELANGGAR PANTANGAN,
SERTA MENENTANG KEHENDAK MAHA DEWA PALANROE,
TENTU KITA MASIH MENGALAMI KESULITAN
KARENA TIDAK MUNGKIN AKAN DITERIMA
OLEH ORANG BANYAK DI LUWU INI………..”

Sawerigading Berkata :
“……ADINDAKU WE TENRI ABENG!
KALAU KITA TIDAK AKAN DITERIMA
OLEH ORANG BANYAK DI LUWU INI
ADINDA AKAN KU BAWAH DI TOMPO’ TIKKA
DI DAERAHNYA DATU SEPUPU KITA PALLAWA GAU……….”

We Tenri Abeng Berkata :
“….APAKAH ENGKAU TIDAK MENGETAHUI KAKANDA PONG RATU,
TENTANG MALAPETAKA YANG MENIMPA DAERAH DI TOMPO TIKKA?….”
“…..ORANG KAMPUNG KELAPARAN TERUS MENERUS,
LESUNG-LESUNG YANG TADINYA DIPAKAI MENUMBUK PADI,
SEKARANG SEMUANYA DI LETAKKAN TERBALIK KARENA TIDAK DIGUNAKAN LAGI. BUTIR-BUTIR PADI HARUS DIKULITI
SATI PERSATU BARU DI MASAK MENJADI NASI.
APAKAH ENGKAU TIDAK TAHU KALAU TERJADI GARA-GARA PERKAWINAN DINRU LAWENG MALLAWENG……”
“…..KAKAK SEPUPU KITA PALLAWA GAU
DENGAN SAUDARANYA WE TENRI RAWE.
SUNGGUH SANGAT BODOH PIKIRAN KAKAK SEPUPU KITA PALLAWA GAU YANG SAMPAI HATI MENEMPATKAN
DALAM ANGAN-ANGANNYA SAUDARA SATU LOLO NADDUI.
KEBODOHAN SEPERTI ITU
MUNCUL LAGI DALAM KEBODOHANMU SEPERTI SEKARANG INI.
KAKAK SEPUPU KITA WE TENRI RAWE DIBUANG KE SANA
PADA WAKTU AGAK MALAM…….”

Berkatalah Sawerigading :
“….KALAU BAGIKU
LEBIH BAIK KAMU KUBAWAH NAIK KE BOTING LANGI,
DIDAERAH PEMUKIMAN SEPUPU KITA REMBANG RILANGI……”

We Tenri Abeng Berkata:
“…..CUKUPLAH RASANYA ORANG DI BUMI INI
MENGETAHUI KEBODOHANMU.
MUMADIMESSI MENYIARKANNYA DI BOTING LONGI……..”

Sawerigading Berkata :
“…….KALAU BEGITU LEBIH BAIK
SAYA BAWAH KAMU KEPERETIWI………”

Segala macam penjelasan kosmis pemali insest dan kabar adanya putri Cina lebih cantik dari si adik, tak dapat masuk ke benak pangeran kepala batu yang terus mendesaknya menikah. Setengah putus asa, We Tenriabeng yang hampir luluh melihat cinta tak berbatas itu, lalu berkata : 
“……kakanda pong ratu 
rebahkanlah badanmu ke atas pangkuanku.
Ku tenangkan pikiranmu
Tutuplah yang terbuka
Peliharalah dan bersihkanlah apa yang kotor
Perbaikilah ketenangan jiwamu…….”
Sawerigading pun merebahkan diri di atas pangkuan adinda We Tenri Abeng. Dengan tidak disadari 16 Cakkaledde Pabbojanna seraya bermimpi melihat seorang wanita yang sama raut wajanya dengan We Tenri Abeng. Setelah ia sadar kembali. Maka bertanyalah We Tenri Abeng. :
“…..apa yang kau lihat di dalam tidurmu
Wahai kakandaku pong ratu?….”

Berkatalah Sawerigading :
“…….Saya melihat seorang perempuan
yang arut mukanya sama dengan raut mukamu,
sedang bentuk tubuhnya sama pula bentuk tubuhmu
yang tinggi semampai itu……..”

We Tenri Abeng Berkata :

“……..Mimpi boleh benar boleh juga bersifat kenangan.
Kakanda pong ratu!
Bercerminlah kamu ke atas kuku jari jemariku ini,
maka dirapatkanlah matanya
untuk menatap bayangan yang ada
dalam kuku adinda we tenri abeng!……………”

Dapatlah dilihat alam di bawah kolom langit, sampai dapat dilihatnya istana Datunna Cina, terlihat olehnya We Cudai di dalam istana. apakah engkau telah telah melihat dengan seksama perempuan itu. perempuan itu We Cuddai namanya Daeng Risompa gelarannya, nama panggilannya Punna Bolae Ri Latanete, putri dari datu tuan kita Lasettung Pugi Datunna Cina bersama ibundanya datu tuan kita We Tenri Abang.

Itulah perempuanku berdiri akan sama tinggi, raut muka seperti pinang dibelah dua, postur tubuh yang tinggi semampai sangat sulit dibedakan seakan-akan di dalam suatu rumah emas aku berdua, adapun warna kulit perempuan yang kau amati itu laksana daun kempiri yang jatuh melayang di pinggir jalan, maka termenunglah Sawerigading memikirkan kekuasaan yang dimiliki oleh datu adinda We Tenri Abeng, pikirnya benar ratu adindaku ini bukan manusia biasa sungguh benar bahwa Ratu We Tenri Abeng adalah perjalanan dewa di
bumi ini. We Cudai’ Adalah putri dari La Sattumpugi dari Kerajaan Cina (di daerah Pammana, Wajo, Sulawesi Selatan?). La Sattumpugi adalah adik dari Batara Lattuq.
Lalu dimintanya si kakak berbaring dan ditiupkannya sebentuk mimpi. Mimpi erotis tersebut — di dalamnya Sawerigading sempat dengan ganas baku cumbu dengan Sang Dewi Cina dalam satu sarung — rupanya bekerja, meski tak cukup ampuh. We Tenriabeng pun berjanji, jika I We Cudaiq tak lebih elok dari dirinya, Sawerigading boleh balik ke Luwuq. Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai, gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya, Si Adik kembar akan menerima suntingan kakaknya, dan “… kita runtuhkan langit, kita ubah hukum dewata, kita kubur rembulan, melangkahi pemali, duduk bersanding bersaudara”.
Mendengar bujukan tersebut, Sawerigading membuat alasan bahwa puteri yang dimaksud sangat jauh, sedangkan perahunya sudah rapuh. Untuk berlayar ke Negeri Cina, Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu welérénngé (kayu belandaE) yang mampu menahan hantaman badai dan ombak besar di tengah laut.

Sejak dan sesudah itu berkatalah Sawerigading :
“……….kalau begitu bagaimana usaha kita untuk sampai di daerah perempuan itu,
sedang menurut penglihatan saya berada di tempat yang sangat jauh lagi
yang diantarai oleh lautan yang luas……..”

Berkatalah We Tenri Abeng :
“………Soal itu tak perlu kakanda susahkan,
itu batang welenreng di 17kau-kau
sebagai pohon yang menjelma bersama istana luwu ini,
suruh terbanglah ia,
untuk kau buat perahu yang akan kanda tumpangi
menuju 18ri lifu’na we cuddai daeng ri sompa,
punna bolae ri latanete……..”

perintah Raja Luwu Batara Lattu’.
“……Wahai, Putraku!
Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai,
besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan
menebang pohon welérénngé raksasa
untuk dibuat perahu!……..”

Proses pembuatan perahu di pertiwi adalah ceritera yang sangat panjang (200 hal.). Jadi singkat cerita, Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan penyebabnya.

Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Konon sewaktu Walenreng itu ditebang karena beratnya langsung mematahkan sebuah gunung (adanya bulu’ polo’e) dan terus terbenang ke dunia bawah. Pembuatan perahu dilakukan di dunia bawah tersebut dan baru dimunculkan kedunia tengah (bumi ini) setelah setelah selesai semuanya yang jumlahnya tujuh buah, jadi kalau biasanya di daerah Luwu ada semacam Batu Asahan itu bukan Bulisa’19 karena di buat didunia bawah (dunia dalam bumi). Tetapi yang ada hanyalah Te’ba20, karena banyaknya Batu Tebba Walenreng itu biarpun diambil orang, tidak dapat dihabiskan.

Dengan ilmu yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu layar.
“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.
“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,” pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.
Di angkat dari suatu riwayat bahwa di suatu saat tiba-tiba di tanah Luwu terjadi gelap gulita. Kilat terjadi sambung menyambung, petir dan guntur membahana di angkasa, memekakkan telinga. Seakan-akan dunia mau kiamat. Menjadi paniklah semua semua orang, mereka pada berkata : “Apakah gerangan yang diamarahkan oleh mahadewa sampai sekuat ini memberian kutukan kepada kita.”

Tiga hari tiga malam terjadi gelap gulita. Akhirnya juga di keesokan harinya hari keempat tenang kembali, awan berarak, alampun cerah, orang-orang dikejutkan dengan adanya sesuatu yang aneh yaitu adanya tujuh buah perahu yang berjejer dipelabuhan, kesemuanya lengkap dengan peralatan dan tak ada yang terkecuali, semuanya telah di hiasi oleh perhiasan emas karena bungkalan emas itu sekeliling pelabuhan menjadi terang.
Diantara ketujuh perahu itu satu diantara sangat besar. Itulah gerangan perahu dari batang Walenreng yang besar itu nantinya diberi nama La Welenreng. Dan yang enam lainnya masing-masing bernama :
1. RAKKA-RAKKAE
2. SEMPAM PULI’
3. MARIONRAE
4. LAPATIMBANGNGE
5. LAPALUTTURI LIWENG RI CINA
6. LA WASSUWAJA RI SABBANG PARU
Dengan meringkaskan kisahnya, kini berkemaslah Sawerigading akan memulai pelayarannya bersama semua pemberani lainnya yaitu La Pananrang, La Massaguni, Lapanrita Ugi, Jemmu Ri Cina, Setti Menyala, Setti Ri Gau dan semua sepupunya yang jumlahnya tujuh puluh orang. Kecuali seorang sepupunya yang bernama Lasining Lele tinggal di Luwu, setelah lengkap dan selesai semua barang keperluan seperti persediaan makanan dan peralatanperalatan, dibukalah sure-sure’ untuk menghadapi hari apa yang baik untuk mereka memulai pelayarannya, maka dibukalah sure’ yang pertama yang memberi petunjuk : “Kalau hari ahad nanti pada hari ke sepuluh dalam bulan itu sampailah dengan selamat ketanah ugi, tidak ada kesulitan naiklah Duta di Cina, di terima dengan baik tidak ada persengketaan tetapi biasanya ada korban yang ditinggalkan. Kemudian dibukanya lagi sure’ yang kedua berkatalah Puang Matoa Bahwa kalau di hari rahu nanti di hari ke 17 dalam bulan itu maka tujuh kalilah dihadang oleh musuh, kalau naik menyampaikan lamaran di Latanete, ia diterima baik tetapi setelah sompa telah naik semua dan keduanya saling melihat tiba-tiba We Cuddai jadi tidak mau. Dia mendapat dukungan dari ayahandanya Datunna Cina kamu terpaksa perang saat itu kamulah yang menang, kamu mendarat diwaktu gelap kamu akan mengawaini We Cuddai secara sembunyi, nanti kamu akan menghasilkan keturunan anak seorang laki-laki. Anak itulah nanti yang akan memperbaiki nama baikmu dengan We Cuddai sampai dapat Mallino untuk kembali duduk di atas Langkana di Latatanete, oleh puang matawo meramalkan bahwa We Cuddai masih akan melahirkan lagi yang masing-masing Awisseng”.

Pelayaran Sawerigading ke daerah Cina, setelah putus hari yang dipilihnya itu hari rabu, hari ke tujuh belas dalam bulan itu setelah selesasi peralatan yang akan dibawahnya itu, turunlah Sawerigading bersama sepupu-sepupunya ditandai oleh orang banyak bangkitlah Sawerigading mengarahkan jiwa dan raganya, seperti bermunajat ke Boting Langi untuk menyatakan sumpahnya, kehadapan maha Dewa Topalanroe lalu memalingkan pandangan Ketoddang Toja serta mengulurkan kedua tapak tangan mengarah ke peretiwi tempat kedewaan neneknya Sinau Toja.
Bersumpahlah Sawerigading :
“…..ENGKALINGAI MATU LAPUANGNGE
PEDDI ADDARARIKKU
SYUSYUNNAFIU MAFIU
TOPA MAPEDDE PELLENG MAPOPO DAPO…….”
Artinya :
“……..Dengarkanlah saya aturkan wahai tuhanku
beginilah sukmaku pilu meratap, hancurlah aku sampai anak cucuku,
padam bagai pelita hamburlah bagai tungku.
Selanjutnya tak perlulah mendapat fajar harapan hidup untuk anak cucuku, kalau aku pulang kembali ke Wanua Luwu ini,
wahai engkau La Welenreng!
Berakhirlah engkau berdiri ditempatmu
dan akan berakhir juga duduk Ri Mangkauku29 di Luwu…….”

Seketika itu menangislah orang-orang yang mendengarkan sumpah itu terutama kedua orang tuanya lalu bangkit pulalah Batara Lattu menyampaikan harapan kepada neneknya To Palnroi Ri Boting Langi,
“…..AMPUN TUANKU!
JANGANLAH TUANKU MENDENGAR SUMPAH
ORANG YANG DIMABUK ANGAN-ANGAN
DAN BUTA MATA HATINYA SEPERTI ITU.
YA TUANKU
KALAU ANAKKU DAPAT KEMBALI DENGAN SELAMAT
DAN DAPAT BERTAHTAH DI ATAS SINGASANA
DI BAWAH NAUNGAN PAYUNG KEBESARAN KERAJAAN LUWU
DAN APABILA MENDAPAT SELAMA KEMENANGAN
TANPA SEHELAIPUN RAMBUTMU TIADA YANG TERCABUT
SAYA AKAN MEMPERSEMBAHKAN SE EKOR KERBAU CEMARA30
YANG BERTANDUK EMAS MURNI
SEBAGAI TUMBAL KE PADA MAHA DEWA…….”

Turunlah Sawerigading ke perahu La Welenreng dengan lengkap pakaian kerajaan Luwu, di bawah Pajung Pulaweng di arak oleh keluarga istana dan diluarnya yang sama-sama mencucurkan air mata. Tiada berapa lamanya, naiklah Sawerigading, yang langsung merebahkan diri di tengah-tengah ruangan perahu La Welenreng seraya menyelimuti sekujur tubuhnya dengan air mata yang terus menerus mengalir membasahi pipinya. Kemudi-kemudi sudah terpasang, jangkar pun telah dibongkar, layar sudah mulai dikembangkan, bertolaklah La Wakkang Weroe di iringi La Welenreng.

Maka perantauan itupun terjadi jua, dalam genangan air mata “se-Luwu” ketika itu. Sang Pangeran Mahkota meninggalkan “landasan” mahkotanya. Satu-satunya “mahkota” yang bisa ditelungkupkan pada negeri turunan “Datu Dewata” itu. Maka tinggallah Luwu yang “berkabung”, bersama pertuanannya (Batara Lattu dan Datu Sengngeng) yang kehilangan semangat seketika itu.
“….terri makkeda We Datu Sengngeng :
amasEangnga’ ana’arung maddanrengngE,
mutompongengnga’ gajangpulaweng sE’sumange’mu,
aja’ kuonro tujumatai lao sompe’na sebbukatikku….”,

demikian ratap tangis Sang Ratu dari Tompotikka itu. Mati bukanlah apa-apa, dibanding terpisah dengan “sebbukatinna” (mahar derajatnya), sebutan bagi puteranya tersayang. Tiada “arung maddanreng” yang berani menjawab titah pertuanannya. Hingga I La Panguriseng membujuknya dengan penuh kesedihan,
“….kerru jiwamu anri pongratu,
rini’ sumange’ torilangimu….”.

Bertolak dari Luwu menuju TanaE ri Cina, mahkota tunggal Tana Luwu itu melalui berbagai rintangan nan ujian hidup yang penuh liku meninggalkan segenap isteri beserta kedua orang tuanya. Tiada lain yang dicarinya, yakni mendapatkan “padawenne’na” (padanan sederajatnya) yang jauh di negeri Cina. Suatu negeri yang kemudian disebut sebagai “Watampugi”, negeri La Sattumpugi’ Datunna Cina, ayahanda We Cudai’ Daeng Risompa PunnabolaE ri LatanEtE. Seorang puteri tambatan hati sang Sawerigading sehingga dikatakannya :
“…..tellumpulengna’ bombang sumange’, baco’-baco’ku DaEng Risompa. IyyakulE’arimutoni bannapatikku ri ulampunna lise’ sinrangeng, kuposingkerru’ nawa-nawaE..”, ucapnya dalam “dararinna” (keluh kesahnya).
Pasukan Sawerigading dibawah komando La Pananrang dan La Massaguni. Diantara Armada kapal kapal laut itu, Sawerigading berada di kapal yang paling besar yang bernama Welenrengnge (karena terbuat dari kayu Welenrengnge-katu BelandaE) dan sering menabuh nekara gong raksasa (konon ada di Selayar) dentumannya dapat didengar oleh lawan lawannya di laut dan pantai. Dan bersamaan dengan itu, We Tenriabeng pun gaib ke botting langi’ (naik ke langit) dan menikah dengan tunangannya Remmang Ri Langi’, dimana acaranya berlangsung dengan meriah dan tanpa di hadiri kedua orang tua We Tenriabeng. We Tenriyabeng dirias dengan perhiasan dari Senrijaya.
Sawerigading digambarkan sebagai Seorang raja yang besar dan tak tertandingi. Hal ini terlihat terlihat ketika tahluknya para pengawal dan pasukan-pasukan sawerigading dalam perintahnya;dialah penentu kebijaksanaan diatas perahu yang dikendarainya. Memerintah dan menjalankan tradisi kekuasaan yang diwarisi oleh leluhurnya. Perahunya besar dan banyak perahu-perahu kecil yang mengiringinya dan pasukan yang ribuan sebagai bukti akan kekuasaannya. Sawerigading juga seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, (Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat), Bakke diduga Pulau bangka, dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu. Meskipun demikian Sawerigading bukannya seorang raja yang otoriter, segala sesuatu yang berhubungan dengan operasinalisasi kekuasaan dan pelaksanaan kerajaan dilimpahkan kepada para pembantu-pembantuhnya.
Ketegukan Sawerigading dalam mempertahankan Prinsipnya sangat lah kuat ini dilihat ketika berbagai cobaan dan godaan yang dating tidak menggetarkan semangatnya untuk tetap menggulung layer perahunya sebelum sampai di tujuannya. Godaan-godaan tersebut bukannya menyulutkan hati Sawerigading untuk pergi ke cina malahan cobaan-cobaan tersebutlah yang semakin membakar semangatnya untuk mencari cina. Maka dari itu Sawerigading juga dipanggil dengan sebutan La mampuara Elo (Orang yang tek terbantahkan). Untuk mempertahankan sifat Getteng (Teguh pendirian) harus dibarengi sifat Keberanian nya juga. Keberanian Sawerigading tertantang ketika Sewerigading dihadapkan pada hamparan gelombang menuju Cina dan hadangan lawan-lawan yang betul-betul manusia, yang dibereskan dalam tujuh pertempuran laut besar-besaran.
Lawan pertama ditemuinya setelah tujuh hari bertolak dari pantai Luwuq tempat ia bersumpah takkan kembali ke tanah kelahirannya dan menganggap kepergiannya sebagai sebentuk pembuangan diri menebus sepak terjangnya mengharu biru kerajaan ayah bundanya adalah Armada Mancapaiq (Majapahit). Armada Mancapaiq yang dipimpin oleh Banynyaq Paguling awalnya melawan sengit. Penumpasannya diakhiri dengan diceraikannya tubuh dan kepala Paguling. Pertempuran-pertempuran selanjutnya yang tak kalah sengit datang dari armada pimpinan La Tuppu Soloq, La Tuppu Gellang dari Jawa ri Aja (Jawa Barat, kemungkinan dari kerajaan Pajajaran), La Togeng Tana dan La Tenripulang. Setelah menaklukkan semuanya, pasukan Sawerigading bergegas ke utara menuju Laut Cina Selatan sehingga bertemu dengan pasukan La Tenrinyiwiq dari Malaka. Mereka kemudian bertempur, namun dalam pertempuran keenamnya melawan armada La Tenrinyiwiq, para pasukan sawerigading kewalahan menghadapi pasukan-pasukan la tenrinyiwiq. Pasukannya kemudian meminta Sawerigading sebagai tumpuan terakhir dari mereka untuk memohon kepada dewa agar kiranya menurunkan bantuan ke dunia. Karena Sawerigading telah menjelma sebagai manusia di bumi, maka ia tak lebih dari manusia-manusia lainnya yang berada di bumi yang dimana mempunyai kekurangan-kekurangan sebagai manusia bumi. Walaupun demikian, Sawerigading mampu memperlihatkan kemampuannya sebagai tokoh magis. Sawerigading terpaksa meminta bantuan adik kembarnya.
Tenriabeng saat itu sudah terangkat naik ke langit, melewati guntur dan halilintar. Remmang ri langiq suami dari We Tenriabeng turun kebumi untuk membantu sawerigading berperang. Saat Remmang ri langiq tiba di bumi, ia langsung memerintahkan Sawerigading untuk menyembah Remmang ri langiq sebanyak tiga kali sebagai bukti kemanusiaan sawerigading dengan pengakuan eksistensi ke dewaan Remmang ri langiq. Dalam waktu sekejap bantuan itu turun dari langit dan menghancurkan pasukan-pasukan la tenrinyiwiq. Setelah mereka mengalahkan enam pimpinan musuhnya, kepala-kepala lawannya digantung diperahu sawerigading sebagai tandak keperkasaannya menumpas musuh.

Pertempuran ketujuh menghadapi armada Settia Bonga Lompeng ri Jawa Olioqe, yang sudah tiga tahun bertunangan dengan I We Cudaiq yang hendak disunting Sawerigading. Dalam tulisan Daeng Mallonjo di Palopo, setelah Sattia Bonga dikalahkan, Sawerigading lalu mengajukan pertanyaan kepada Sattia Bonga sebagai berikut:
“Apakah masih ada pahlawan saudara yang akan mengadakan perlawanan ?”
“Engkau wahai Tuan laksana angin sedang kami laksana daun Kayu.dimana angin bertiup disitulah kami terdampar”. Pengakuan kekalahan Sattia Bonga kepada Sawerigading yang akhirnya Sawerigading memberikan bantuan kepada sattia Bonga untuk mengangkut pasukannya kepangkalannya.(maka disebutkan Sattia Bonga di Jawa Wolio. wolio itu di Buton). Setelah semua musuh yang menantang Sawerigading dikalahkan, perjalanan pun diteruskan.
Tak lama kemudian Sawerigading tiba di Negeri Cina. Ketika pagi rekah, di istananya, Ratu Cina melihat sebuah matahari bergerak di depan matahari yang sedang naik di horison. Matahari itu adalah I La Welenreng, perahu induk Sawerigading yang tengah mendekati pantai Cina. Setibanya di Kerajaan Cina, Sawerigading tidak mudah mendapatkan We Cudai. Sawerigading Menyamar menjadi Ono (Hamba) Dan menyamar menjadi Penjual-Jual. Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut mengiba kepadanya.
“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu saya meninggal.”

Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya. Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro pedagang. Menyamaran tersebut dimaksudkan hanya untuk melihat Wajah We Cudai. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan We Cudai. Setelah melihat wajah We Cudai Sawerigading pun melamarnya. Tapi saying sekali lamaran Sawerigading ditolok oleh raja cina. Maka peperangan pun tak bias dielakkan. Setelah Sawerigading mengalahkan pasukan raja cina akhirnya Sawerigading menikahi We Cudai. Sawerigading berkomunikasi dengan seekor burung yang bernama La Dunru dan menyuruhnya menyampaikan pesan ke We Tenriabeng untuk naik ke Botting Langiq untuk melaksanakan pernikahannya.

Bahkan setelah pesta pernikahan itu, Sawerigading masih harus menyelusuri labirin untuk merebut hati I We Cudaiq. Selama tujuh hari di pusat labirinnya, Putri Cina itu mengenakan celana panjang yang dijahit rapat kedua ujungnya. Versi lain menyebutkan bahwa I We Cudaiq membungkus dirinya bagai kepompong kupu-kupu raksasa dengan tujuh belas lapis kain sutra dewa. Hati I We Cudaiq akhirnya terbuka bukan oleh keperkasaan dan benda-benda, tapi oleh kata benda dan kata kerja: fiksi – rangkaian prosa dan puisi yang dicipta Sawerigading dari kedahsyatan imajinasi dan keajaiban petualangannya menjelajah segala jenis gelombang dunia.
Mereka hidup rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. anak pria Sawerigading bernama I La Galigo yang bergelar Datunna Kelling. Anak inilah, yang akhirnya menjadi penerus Kerajaan Luwu. Dari seorang selirnya I We Cimpau, Sawerigading memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru. Kemudian iapun dinobatkan sebagai “Opunna Cina” yang bertahta di Watampugi, negeri yang sesungguhnya telah menjadi haknya setelah perang penaklukannya, akibat penolakan We Cudai atas duta yang telah diterimanya sebelumnya. Anak turunan mereka menghuni Watampugi yang kemudian menyebut diri mereka sebagai “To Ugi”. Maka inilah fakta pertama yang menandai jika “To Luu” (Orang Luwu) sesungguhnya adalah “ayahanda To Ugi” yang dengan mudahnya dimaknai sebagai “Orang Bugis” dimasa kini.

Beberapa tahun setelah menikah dengan We Cu Da’i, Sawerigading memutuskan pulang ke Luwu, namun karena melanggar sumpahnya bahwa dia tidak ingin kembali ke Luwu, maka dia diusir. mahkamah Luwu tidak ingin sikap melanggar janji menjadi kebiasaan buruk generasi selanjutnya. tinggallah We Cu Dai yang sedang mengandung I la Galigo di Luwu, karena Luwu membutuhkan keturunan jelas dari Raja untuk menjadi putra mahkota. meski I la Galigo juga tidak menjadi Raja seperti ayahnya dan juga menjadi kapten kapal. dalam bahasa sastra Galigo, Sawerigading di benamkan di bawah bumi, ada yang mengartikan tenggelam, ada yang mengartikan dia harus pergi dari Luwu menuju daerah daerah kerajaan lain yang dianggap ‘dibawah’ atau di daerah selatan daerah yang pernah dia jelajahi sebelumnya. maklum, sastrawan jaman dulu tidak mengerti kalau bumi itu bulat. tahunya melihat horizon laut seperti menurun kebawah. Menurut Sekretaris Raja Luwu, Daeng Mattata, tegasnya Sawerigading diusir dan sawerigading menjadi pengembara.
Konon pada suatu petualangan pelayarannya, tibalah di selat Malaka dan membuang sauh disalahsatu pantai Pulau Sumatera. Kebetulan pada saat itu persediaan kayu bakar di armada WElenrEngngE sudah sangat menipis. Maka diperintahkanlah beberapa awak kapal untuk merambah pulau besar yang tidak dikenal itu. Maka turunlah mereka untuk “Mala Aju” (mengambil kayu) dengan membawa beberapa ekor anjing.

Setelah beberapa lama, para “Parala Aju” (pengambil kayu) itu tidak pulang-pulang ke kapal. Agaknya mereka tersesat dalam hutan yang lebat. Setelah ditunggu selama beberapa hari, Sawerigading memutuskan untuk melanjutkan pelayaran. Dititahkannya kepada para “oroE” untuk menarik sauh.

Sementara para “oro” menarik sauh, tiba-tiba kucing kesayangan Sang Opunna Ware’ (Sawerigading) melompat turun ke daratan. Maka Sang Sawerigading memanggil-mangil kucingnya dengan berbagai macam bujukan agar kembali ke kapal. Namun si kucing tidak menggubrisnya. Maka murkalah, Pangeran Manusia Dewa itu. “..maponco’ sunge’ko rEkko mupakkalEjja’ mEmengngi ajEmu ri TanaE Luwu ! “ (..kau akan berumur pendek jika menginjakkan kaki kembali di Tana Luwu !), demikian kira-kira bunyi kutukan itu. Lalu pelayaran dilanjutkan ke samudera berikutnya.

Sejak itu, kucing Sawerigading tinggal beranak pinak di pulau itu dan dikenal sebagai “macang” (harimau). Kemudian anjing-anjing yang turut mendarat bersama awak kapal sebelumnya, kini dikenal sebagai “baruang” (beruang). Adapun halnya dengan rombongan pencari kayu yang tersesat itu kemudian berkembang pula sebagai suku “malaju” (melayu ?), dari asal kata : Mala Aju (ambil kayu). Itulah sebabnya, “Kawali Luwu Mabboribojo” (Badik Luwu) sangat dihargai oleh perantau Bugis di Sumatera. “Sesuatu yang dijadikan sebagai “penjaga diri” karena harimau Sumatera senantiasa segan dan hormat pada pemegang Badik Luwu, pertanda keberadaan pertuanannya”, demikian La Cado mengakhiri kisahnya.

Pada suatu ketika I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewa- dewa yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil.
Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi. Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak bernama We Patyanjala Mutia Toja yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit yakni Simpurusiang, yang selanjutnya dikirim ke Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.

Dari perkawinannya, melahirkan Tumbuh sebagai anak yang dilimpahi kasih sayang berlebihan, I La Galigo jadi terbiasa menyalahgunakan posisinya sebagai pangeran putera mahkota, sebagai keturunan langsung Batara Guru Sang Manusia Pertama dan Patotoqe Yang Maha Kuasa. Jika ia kalah di gelanggang adu ayam, ia mengingkari kekalahannya lalu meraih senjata dan mebunuhi ayam yang menang aduan. I La Galigo adalah si congkak pongah yang menamakan dirinya Raja yang tiada taranya baik di Kayangan maupun di Dunia Bawah Tanah. Tanpa pandang bulu ia merayu dan “memojokkan” perempuan manapun yang ia suka, baik yang masih lajang maupun yang sudah bersuami. Ketika I La Galigo “terhasut” jatuh cinta pada We Tenrigangka yang sudah bersuami, ia merekayasa berita bohong bahwa mertua We Tenrigangka sakit. Suami We Tenrigangka pun berangkat menjenguk orang tuanya, dan I La Galigo menyelinap bagai pencuri masuk ke bilik We Tenrigangka, merampas hati perempuan itu dengan memakai kesaktian pemberian Sawerigading. Begitu suami We Tenrigangka pulang, I La Galigo kabur secara pengecut dengan meyamar dalam pakaian perempuan. Pendek kata, selain mencuri dan berdusta, I La Galigo banyak melakukan tindakan yang merupakan campuran antara keburukan dan kenakak-kanakan. Bahkan anak dan isterinya, La Mappanganro dan Karaeng Tompoq misalnya, mencari perkara kepadanya karena sepak terjangnya yang ngawur.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.
Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau, menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewa- dewa yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil.

Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi. Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.
ketika putri Sawerigading dan I We Cudaiq bernama I We Tenridio sakit keras, menurut para dukun istana dan Puang Matowa, bahwa I We Tenridio hanya bisa disembuhkan dengan peralatan bissu manurung yang ada di Ale Luwuq. Peralatan bissu tersebut milik saudara kembar Sawerigading We Tenriabeng yang sudah gaib ke Boting Langiq. Maka Sawerigading pun mengutus I La Galigo kembali berlayar ke Ale Luwuq untuk mengambil peralatan bissu tersebut. Lalu I La Galigo dengan dikawal oleh tujuh puluh pengawal khususnya berlayar menuju Ale Luwuq.

Pelayaran I La Galigo dari Negeri Cina menuju Ale Luwuq sangat bertolak belakang dari pelayaran Sawerigading dari Ale Luwuq menuju Negeri Cina. Kalau pelayaran Sawerigading selama berbulan-bulan, maka pelayaran I La Galigo hanya dalam sehari saja. Padahal perahu yang mereka tumpangi sama yaitu Perahu Welenrengnge. I La Galigo meninggalkan Negeri Cina pagi hari dan tiba di Ale Luwuq pada malam hari. Bahkan sebenarnya I La Galigo bisa berlayar hanya setengah hari seandainya mereka tidak singgah di Siwa dan Takkebiroq. Dari dua tempat yang singgahi menunjukkan bahwa Negeri Cina tidak jauh dari Ale Luwuq.

Catatan yang di tulis oleh Prof. Mattulada beberapa waktu lalu di Koran Pedoman Rakyat menceritakan tentang perjalanan Puang Sawe Ri Gading ke Buntu Kandora. Waktu itu belum di kenal Banua Puan. Di kisah itu, disebutkan pula bahwa Puang sawe Ri Gading menikahi Putri Pemangku Adat di Buntu Kandora sehingga keturunan Puang Sawe Ri Gading ada di Buntu Kandora. Kemudian Dari Buntu Kandora beliau menuju ke Buntu Tinoring. Ini menguatkan dugaan bahwa wanita yang di nikahi oleh Puang Lakipadada masih keturunan Puang Sawe Ri Gading. Dari Ullin pun diperoleh informasi bahwa ada kemungkinan putri yang di nikahi oleh Puang Tamboro Langi pun masih rumpun Keluarga Puang Sawe Ri Gading. JIka memang demikian adanya, sudah saatnya kita harus berbesar hati mengatakan bahwa sebelum abad 13, Pusat Kerajaan Luwu Kuno di wilayah Toraja jaman itu adalah di sekitar Sa’dan Balusu. Oleh karena terjadi perluasan wilayah, maka di bangunlah Pelabuhan di pesisir pantai. Di pesisir ini pula dibangun sarana-sarana perdagangan dan industri skala kecil. Bukti-bukti yang mendukung versi ini mengatakan bahwa sebagain rumpun keluarga Puang Sawe ri Gading tinggal di wilayah yang sekarang ini disebut Sa’dan Balusu. Konon Puang Sawe Ri Gading selalu membawa tongkat yang terbuat dari Kayu berwarna Hitam namun bukan Kayu Hitam yang serupa dengan yang biasa dipakai oleh beberapa tetua adat di wilayah Balusu.
Di sebelah selatan, kisah Sawerigading diceritakan oleh Sando Ne’ Tato’ Dena’ dari Mandetek di Ma’kale (To Minaa Sando atau memimpin imam Aluk To Dolo); dan dari Indo’ Somba, dari Kandora di Mengkendek. Kandora kelihatannya memiliki suatu asosiasi yang kuat sekali dengan Sawerigading, Contohnya dalam wujud suatu lumbung di Tongkonan Dulang Potok Tengan berisi batu pusaka, yang disebutkan adalah La Pindakati dari Cina yang menjadi batu, istri Sawerigading yang pertama. Batu pusaka itu dibawa oleh putri La Pindakati Jamanlomo atau Jamallomo, yang menikah dengan Puang Samang dari Gasing (suatu gunung di daerah Ma’kale). Dalam karangan Salombe’, ditekankan Jamallomo, yang adalah keturunan dari Batara Guru, hanya boleh dinikahi oleh keturunan To Manurun. Puang Samang, merupakan keturunan Tamboro Langi’, To manurun dari Toraja (yang diklaim di daerah ini turun di Buntu Kandora), Jamallomo kembali bersama Puang Samang ke Toraja, di mana mereka mendirikan Tongkonan Dulang pada Potok Tengan. (Salombe’ 1975:276-277).

KISAH KEPULANGAN LA GALIGO KE CINA DAN TERPIKATNYA KEPADA I DA’BATANGENG

Sesudah mengadakan pembicaraan dengan cucu saudari saudaranya (cucu dari Batara Lattu yaiu sodaranya La Pangoriseng) maka La PAngoriseng bersaudara menuju istana Lakko Manurungnge ri Ale Luwu. Diperintahkannya kepada segenap rakyat, untuk berkumpul di depan istana. Setelah seluruhnya berkumpul, mereka kemudian bersama-sama berangkat menuju pelabuhan menjemput paduka yang dipertuan (I Lagaligo) untuk mendarat, menjejakkan kaki dipusat Kerajaan Luwu.

Namanya titah Raja, perintah Sang Penguasa maka dalam sekejap mata saja terlaksanalah seluru titah baginda La Pangoriseng. Berdatanganlah segenap rakyat di negeri Luwu, memenuhi halaman istana raja Luwu. Rakyat banyak itu riuh rendah, karena bersuka cita atas kedatangan Baginda Yang Mulia yang sebentar lagu akan dijemput dipelabuhan.
Timbullah kembali semangat hidup rakyat luwu, karena datangnya putra mahkota (I La Galigo) Opunna Ware. Lalu berangkatlah I La Galigo sampai ke istana Lakko Manurungnge Mai ri Luwu. Setelah tiba dilihatnya jamuan lengkap, ditunggui oleh puluhan dayang-dayang. 
Bertanyalah I La Galigo :
“Apa gerangan yang telah terjadi wahai para dayang-dayang, sehingga di sini tersedia jamuan lengkap yang kalian tunggui, padahal tidak ada raja yang duduk dihadapan kalian ?”

Para dayang-dayang lalu menjawab:
“Santapan sehari-hari wahai Paduka yang mulia untuk Baginda (Sawerigading) yang pergi berlayar, mengasingkan dirinya dinegeri yang jauh. Seorang pula yang telah gaib, melayang naik ke Botting-Langi’ (Tenriabeng, adik kembar Sawerigading), menemukan jodoh di Ruwa Lette. Beliaulah yang disiapkan santapannya.”
Berkata I La Galigo:
“Kumpulkan segenap dayang-dayang ini wahai Ina! Janganlah kalian menunggui jamuan, padahal di hadapan kalian tidak ada seorangpun raja yang bersantap.”

Sesudah itu I La Galigo meneruskan langkahnya hingga ke ruangan tempat penyimpanan Genrang mpulaweng Manurungnge Mai ri Luwu. Lalu diraihnya Genrang itu, kemudian ditabuhnya bersama-sama dengan La Sulolipu, suara
genrangnya bertalu-talu. Tak ubahnya bunyi genrang apabila Sawerigading yang menabuh bersama La Pananrang.
Maka bangkitlah Sawerigading di tepat tidurnya, sembari berkata:
“Telah tiba wahai adinda Cudai, putramu di Luwu. Kanda dapat mendengarkan bunyi gendangnya sampai kemari.”

Batara Lattu’ pun menggeliat diatas pembaringannya sambil berkata:
“Telah tiba nian putranda di Luwu, bermukim di tanah leluhurnya Wattang mpare sambil menabuh genrang mpluaweng manurungnge, bersama-sama La Pananrang.”

Berkatalah sang pengiring/pengawal Batara Lattu sambil menghaturkan sembah sujud:
“Konon kabarnya wahai Paduka yang mulia! Dia adalah putranda dari ananda Sawerigading yang berbalasan dengan putranya La Pananrang menabuh genderang di luar.”

Batara Lattu, berkata:
“Suruhlah ia masuk ke dalam kamarku, agar aku bertutur sapa dengan bocah itu.”

Maka berjalanlah I Lagaligo memasuki kamar kakeknya, Batara Lattu. Iapun menghaturkan sembah sujud sebanyak tiga kali, kemudian mengambil tempat duduk dihadapan Batara Lattu. Berkatalah Batara Lattu:
“Tinggallah dikau di Luwu wahai ananda Galigo, menemaniku, selaku oenggati ayahandamu sebagai Pangeran Mahkota di ibu kota kerajaan Luwu.”

I La Galigo menghaturkan sembah sujud sambil berkta:
“Tapak tangan hamba hanya sekedar gumpalan darah, tenggorokan hamba pun tak ubahnya kulit bawang. Semoga nian hamba tidak kualat dalam menjawab titah paduka.”
lanjut La Galigo:
“Mohon restu paduka yang mulia. Hamba tidak dapat tinggal menetap di Luwu ini, sebab adinda We Tenridio’ sedang terserang penyakit parah. Ia mengidap penyakit yang menuntut diadakannya upacara tradisi di negeri Luwu, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan bagi Baginda Ratu yang mulia, Mallajangnge ri Kalempi’na. Demikianlah waha Paduka yang mulia, sehingga ayahanda tercinta Opunna Ware menitahkan hamba untuk menjemput Genrang mpulaweng anurungngE di Luwu ini.”

Berkatalah Batara Lattu:
“Kalaupun demikian berangkatlah ke tanah Ugi wahai ananda Galigo untuk mengantarkan Genrang pluaweng ManurungngE. Kelak, setelah selesai penyelenggaraan upacara selamatan bagi We Dio’, kembalilah kemari, untuk menggantikan ayahandamu sebagai penguasa di Wattang mpare.”

Sesudah selesai bertutur sapa dengan kakeknya, I Lagaligo pun melangkah ke luar. Berkisar satu tahun lamanya I Lagaligo tinggal di Luwu menunggui kakek dan ibu-ibu tirinya, barulah I Lagaligo bersama segenap sepupunya dan seluruh pengiringnya berlayar kembali menuju Cina. Diboyonglah Genrang mpulaweng ManurungngE ri Luw bersamanya.
Upacara selamaan We Dio’ pun diselenggarakan. Sudah empat puluh hari empat puluh malam lamanya penduduk bergembira ria di Latanete sambil memanggang kerbau. Berdatanganlah segenap sepupu I Lagaligo yang perempuan untuk menyaksikan keramaian di Latanete.

Pendopo penuh sesak dengan penduduk yang berdatanagan dari seganap penjuru. Tiada terkatakan ramainya suasana di Cina. Para anak-anak Datu yang tujuh puluh orang itu saling bergantian menabuh genderang, sehingga bunyinya pun bertalu-talu tiada hentinya. Tiada sekejappun genderang itu berhenti ditabuh silih berganti. I Lagaligo berpasangan dengan I La Sulolipu, La Pawennari dengan Sida’Manasa To Bulo’E, La Patenrongi dengan I La Pallajareng, dan berpasanganlah La Tenripale To Lamuru’E dengan La Pammusureng.

Para anak datu yang tujuh puluh orang itu tidak kunjung terlelap. Ingin pulalah I Da’Batangeng, Punna Lipu’E Cina Rilau, puteri La Makkasau menyaksikan keramaian di Latanete, maka bertitahlah ibundanya:
“Wahai anada I Da’Batangeng! Janganlah hendaknya ananda berkunjung ke Cina, hanya untuk menyaksikan keramaian di Latanete/Sinukkerenna I La Galigo/dari Luwu/Cobo’-cobonna maccariwakka I La Semmaga, tidak menyegani sesamanya raja, dianggapnya bahwa hanya dirinyalah raja yang berkuasa di kolong langit. Jangan sampai ditahannya usungan tumpanganmu dan tidak dibiarkannya dikau pulang kembali ke negerimu Cina Rilau.”

Berkatalah La Makkasau, ayahanda I Da’Batangeng, bahwa:
“Mengapakah gerangan wahai ibundanya I Da’Batangeng, maka dikau tidak memperkenankan keinginan putrimu pergi ke Cina, untuk menyaksikan keramaian di Latanete.”

Berkata pula Punna Lipu’E Cina Rilau (La MAkkasau):
“Kalaupun ternyata usungannya ditahan I La Galigo pakah salahnya jikalau ia dijodohkan dengan sepupunya itu. Biarlah putri kita pergi ke Cina, menyaksikan keramaian di Latanete.”

Maka berdandanlah I Da’Batangeng, bersalin pakaian yang indah lalu berangkatlah menuju Cina untuk menyaksikan keramaian di Latanete. Hanya dalam sekejap saja maka tibalah usungan yang membawa I Da’Batangeng. Ia lalu turun di depan istana. Ketika itu I La Galigo sedang mengadu ayam di atas arena adu ayam.
Ketika La Galigo menoleh, dilihatnya sepupunya yang sedang turun dari usungan, lalu melangkahkan kaki naik ke istana. Berkatalah La Galigo:
“Siapakah gerangan putri mahkota nan cantik jelita yang barusan tadi tiba dengan usungan ?”

La Pallajareng, menyahut:
“Rupanya dinda Galigo tidak mengenal sepupu kita Punna Lipu’E Cina Rilau. Ia bernama I Da’Batangeng, puteri Baginda La Makkasau.”

Serta merta I La Galigo mencampakkan ayam jagonya lalu bergegas melangkah ke istana untuk menyusul I Da’Batangeng. La Galigo langsung menuju ke atas pelaminan (lamming) menabuh genderang, berpasangan dengan La Sulolipu. Tabuhan genderangnya berbunyi seperti suara manusia:
“Dahului-dahuluilah si orang Walana itu. Cegat, cegatlah si orang Solo’. Dahuluilah bersanding di atas pelaminan emas. Sungguh takkan kubiarkan Punna Lipu’E Cina Rilau kebali kenegerinya. Saya berkeinginan menyandera usungan putri juwita dari Cina Rilau.”

Bergantian pamandanya menasehati La Galigo, demikian pula ayahandanya turut menasehatkan, bahwa:
“Janganlah wahai ananda Semmagga engkau menyandera usungan dari Cina Rilau. Jangan sampai hal itu menurunkan martabat pamndamu La Makkasau. Jikalau susungan putrinya tersandera. Biarkalah sepupumu itu kembali ke kampung halamannya.”

I La Galigo tidak sudi mendengarkan nasehat ayahnya, lalu berkata:
“Perkenankanlah wahai ayahanda adindaku I Da’batangeng tetap tinggal di istana Latanete, sementara itu ayahanda mengirimkan utusan untuk meminangnya pada baginda La Makkasau di Cina Rilau.”

Berbalaslah Sawerigading:
“Mengapakah gerangan wahai ananda Galigo engkau berkeinginan menyandera usungan dari Cina Rilau, padahal kita tidak menguasai wilayah kekuasaan pamandamu. Kita tidak dapat memaksakan kehendak sendiri terhadapnya.”
Namun I La Galigo sudah lupa diri, tidak sudi lagi mendengarkan nasehat.

Episode akhir Sureq Galigo yang kembali diisi oleh perkawinan Dunia Atas dan Dunia Bawah untuk melahirkan penghuni Dunia Tengah, dipuncaki oleh reuni keluarga besar anak cucu Batara Guru. Mereka yang terserak sampai ke Cina, yang menetap di Langit dan Dunia Bawah Tanah, semuanya datang berkumpul. Sawerigading, karena telah beranak cucu di Cina, tak lagi terkena kutuk jika kembali ke tanah asalnya. Ia akhirnya memang mudik ke tanah kelahirannya dan mengundang adik kembarnya, I We Teriabeng, turun dari langit. Kehadiran I We Tenriabeng membuat lengkap reuni keluarga besar Manusia Pertama di Dunia.
Pada akhir cerita Datu patotoE berpesan lewat utusannya supaya diusahakan orang-orang yang berdarah murni saling kawin-mawin. Raja di Luwu dipilih diantara bangsawan, yaitu yang paling tinggi derajat kebangswanannya. Menjelang pintu masuk kayangan akan ditutup dan dunia bawah akan dipalang, Datu PatotoE berjanji bahwa sejak saat itu dan seterusnya manurung-manurung berdarah putih dari waktu ke waktu dengan diam-diam dan secara rahasia akan dikirim ke Bumi, tempat kediaman manusia.

Reuni yang amat meriah itu, menurut saya, secara tidak langsung merayakan selesainya misi besar keluarga Batara Guru untuk menyebar beranak cucu, mengisi dunia dengan kehidupan. Dengan selesainya misi penyebaran kehidupan, kisahpun menjadi lengkap, sempurna dan harus ditamatkan. Dunia Tengah akhirnya gonjang-ganjing. Kejadian ini diikuti oleh tindakan Patotoqe untuk menutup pintu langit, dan putuslah hubungan langit dan dunia. Dunia tengah dan manusianya, harus bergerak sendiri, mejadi mandiri dalam menentukan jalan hidupnya. Hanya sesekali saja To Manurung turun dari langit, tapi mereka hanya boleh memerintah lewat sebentuk kontrak sosial politik dengan manusia yang diperintahnya.