Laman

Rabu, 05 Maret 2014

Batara Guru

Turun dari Langit

Dalam naskah La Galigo dijelaskan, bahwa Sang Pencipta mengirim pesan ke Batara Guru, bahwa siang telah berlalu dan ia harus keluar. Batara Guru menghadap orang tuanya, akan tetapi ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Dengan sangat terharu orang tuanya berkata kepadanya, bahwa ia harus ke Bawah (Bumi), menikah di sana dan mengembangkan keturunannya di Bumi. Sang Pencipta memberikannya sekapur sirih yang telah dikunyahnya, diikatkannya sebilah keris di pinggang puteranya, ditanggalkannya mahkotanya lalu diletakkannya di atas kepala puteranya itu, dianugerahinya dengan gelang tangan dan cincinnya serta cincin Datu Palinge’. Kemudian Sang Pencipta memberikan berbagai amanat. Bersabda Sang Pencipta :

“…Tiwiko ritu siri’ atakka narekko mattengnga lalenno nonno rilino … muadan-keng siri1atakka ri ataunnu … ianatu matu mancaji alek. Artinya Bawalah sirih atakka … manakala engkau tengah dalam perjalanan menuruni Bumi … susurkan siri’ atakka di bagian kananmu … itulah kelak menjadi hutan).

Selanjutnya Batara Guru akan membawa tumbuh-tumbuhan tertentu, beras pemuja dan sebagainya. Pada pertengahan perjalanan ke bawah ia harus meremas gunung, mengelompokkan hutan, membentangkan bukit, menggali lembah, menghamparkan lautan, menata danau, mengairi sungai membelah daratan, membuat kelokan-kelokan sungai, melubangi gua, menciptakan pusar air. Apabila ia tiba dekat tempat Dunia Tengah lalu ia meletakkan tumbuh-tumbuhan, lalu akan jadilah burung-burung yang akan turun ke bawah dan menciptakan margasatwa yang lain. Selanjutnya Sang Pencipta memberikan petunjuk-petunjuk yang lengkap bagaimana menyembuhkan anak-anak yang sakit dengan memeberitahukan sebab musababnya.

Terjadilah gejolak alam ”Dan menyembahlah sekarang tiga kali pada Langit dan Dunia Bawah!” sabda Sang Pencipta dan katakanlah : ”Aku adalah hambamu, ya tuanku! Yang engkau telah tempatkan di Bumi untuk mengembangkan turunanmu!” sambil menangis Batara Guru menyembah : ”Kehendakmulah yang berlaku, wahai tuanku, kawinkanlah aku” Sang Pencipta : ”Jagalah hidupmu sebagai manusia, bukan sebagai Dewa” dibukanya cerana kencananya, dikunyahnya sirih lalu menatap puteranya dengan tajam, sementara ia hampir-hampir tidak sadarkan diri. Batara Guru bangkit berdiri, Sang Pencipta kembali menatapnya dengan tajam, meniupnya tiga kali, lalu menunjuk ke segala penjuru angin, maka nyawa (bannapati) puteranya pun lenyaplah sudah. Kemudian Sang Pencipta meletakkan puteranya dengan sangat hati-hati dalam sebatang bambu betung, lalu diikatnya erat-erat. Ayunan tempat meletakkan bambu betung yang berisikan Batara Guru, disuruhlah melepaskan ikatannya; pelangi direntangkan. Sangka Batara ditugaskan mengumpulkan para penghuni langit, makhluk halus, pengawal Langit, bintang luku, bintang selatan dan bintang ayam jantan, yang semuanya diharuskan turut dalam rombongan pengikut Batara Guru turun ke Bawah (Bumi).

Manakala mereka telah berkumpul semua, dilepaskanlah rantai Langit, pintu Langit pun dibuka, gelap gulita dan gejolak alam dikirim ke bawah. Dengan iringan tersebut bintang-bintang dan makhluk Langit yang garang dan ganas turunlah ayunan dari tengah-tengah kubah Langit ke Bawah (Bumi). Pada pertengahan perjalanan Batara Guru menengadah ke Langit, menegok turun ke Dunia Bawah. Sesuai dengan amanat ayahandanya dicampakkannya ke bawah, kiri dan kanan buah pala yang telah mekar (Tallitimpebba), sambil menurun ke bawah membentuk Bumi, meremas gunung dan seterusnya seperti yang telah diuraikan di atas. Tumbuh-tumbuhan yang telah dibawanya dari Langit pada sebelah kiri dan kanannya dan menghamburkan dedaunan setelah tiba di Bumi semua telah menjadi hutan. Ketika telah dekat dengan Bumi dihamburkanlah keluar umbai-umbai dari daun lontar, lalu menjelma menjadi berbagai macam margasatwa. Kemudian dihamburkannya beras pemuja (wenno dan cacubanna), seketika ramailah burung-burung dari berbagai jenis dan aneka warna saling bersaut-sautan bunyinya, melompat dari dahan ke dahan menghuni rimba. Akan tetapi ayunan dari tabung bambu dengan Batara Guru di dalamnya belum juga tiba. Tujuh kilatan petir, tujuh dentuman halilintar susul menyusul, hingga ayunan tiba. Setelah ia menurunkan muatannya, ia dikirim kembali ke Langit, tiba di istana Sang Pencipta. Melihat ayunan yang telah kosong itu segenap penghuni istana menangis dan meratap, para inang pengasuh tidak sadarkan diri. Datu Palinge’ duduk termenung kehilangan semangat, pangkuannya basah oleh air mata. Segera sesudahnya, pendamping perempuan diturunkan pula, yang bernama We Lele Ellung, We Saung Nriwu dan Apung Talaga, yang kelak menjadi selir. Diturunkan pula inang pengasuh yang bernama Talaga Unru’ dan Welompabare’, Bissu Puang RilaelaE yang ditempatkan di lereng gunung Latimojong. I We Asalareng dan We Ampalangi di Latenriwu. Di turunkan pula tujuh Oro Kelling masing-masing dengan sebilah kapak.

Istana Kerajaan Luwu di Turunkan

Setelah tiga bulan lamanya Batara Guru di Bumi, tanpa tempat tinggal. Ibunya di Langit sangat prihatin, ibunya mendesak Sang Pencipta menurunkan pusakanya berupa istana kerajaan yang lengkap dengan peralatan dan pelayannya. Pada malam harinya ketika pelita telah dinyalakan, Sang pencipta memerintahkan untuk menabuh genderang, rantai Langit dilepaskan dan membuka palang pintu gerbang Langit, melalui gerbang itu To Letteile’ turun ke bawah diiringi dengan badai yang maha dahsyat. Di tengah malam itu, ketika Batara Guru sedang tertidur pulas di dalam bambunya tanpa menyadari apa-apa, turunlah sebuah istana, demikian pula inang pengasuh dan pengiring-pengiring lain serta pohon-pohon asam. Pada saat fajar menyingsing tibalah istana itu di tengah-tengah suatu rimba yang lebat dalam ibukota Luwu. Api Langit padam, taufan dan badai pun berhenti. Manakala hari telah pagi, bangkitlah Batara Guru dari tidurnya, ia melihat istana, balairung dan sebagainya. Bersama dengan Oro Kelling ia berjalan melalui negeri Luwu, tanpa adat kebiasaan dan tanpa ada orang lain kecuali si Oro Kelling. Para inang pengasuh mengatakan kepada orang-orang Langit yang ikut turun ke Bumi, agar mereka pergi untuk mengelu-elukan Batara Guru ke istana; mereka sendiri menyambutnya di istana dengan taburan beras pemuja (wenno) dan persembahan sirih. Kemudian menyusul persembahan santapan. Pada siang harinya Batara Guru hendak tidur. Maka berubahlah siang menjadi malam, Batara Guru pun membaringkan diri lalu tertidur

Menjemput Pusakanya di Pantai

Setelah lima bulan Batara Guru di Bumi, ia tercekam oleh kerinduan yang amat sangat ke Langit. Hari berganti malam dan ia pun beranjak ke peraduannya untuk tidur. Pada tengah malam ia bermimpi naik ke Langit. Dalam suatu anak sungai di negeri Langit Limpomajang ia mandi, setelah itu ia naik lebih tinggi lagi ke Ruanglette’ Boting Langi’ duduk dalam balairung di bawah pohon asam. Lebih jauh ia memimpikan, bahwa pamannya, kemudian adiknya hendak menyabung beberapa ekor ayam jantan, yang ada tanda-tanda tertentu. Ia melarangnya dan Sang Pencipta pun demikian, karena ayam-ayam itu akan dikirim ke Bumi. Dengan gembira Batara Guru menemui ayah bundanya dalam istana mereka. Oleh ayahnya dibukalah cerananya, diberikannya kepada puteranya sekapur sirih yang telah dikunyahnya sambil memberitahukan bahwa esoknya ia harus ke tepi pantai untuk menjemput suatu hadiah yang diperuntukkan kepadanya. Adapun hadiah itu merupakan sekapur sirih yang dibungkus dengan kain sutra seperti yang diberikan oleh gadis-gadis remaja kepada kekasihnya; benda itu tak boleh dibawanya ke gelanggang sabung ayam, hendaklah disimpannya sebagai harta pusaka untuk anak cucunya.

Dengan menangis sambil berbaring menengadah ke atas Batara Guru terjaga dari tidurnya ia terkejut dan bingung, sesaat kemudian ia sadar, disuruhnya menyalakan pelita, diceritakannya mimpinya kepada inang pengasuhnya dan ditanyakan apakah maksud Sang Pencipta dengan mimpi itu. Mereka tak menjawab pertanyaan itu, akan tetapi pada pagi itu juga Batara Guru bersama inang pengasuhnya dan beberapa pasukannya ke tepi pantai dalam suatu arak-arakan yang syahdu (sebagaimana layaknya dalam negara yang telah lengkap peralatannya) yakni dalam usungan dengan bunyi-bunyian. Setiba mereka di sana dunia seolah-olah mati tak ada burung terbang, tak ada semut yang merayap, lautan tak bergerak. Akan tetapi dalam mimpinya jelas sekali ayahnya berkata kepadanya, supaya ia pergi ke tepi pantai. Ia menunggu di pantai cukup lama, berikut kutipan ceritanya dalam Sure’ I La Galigo :

”… Na mangingi na tudang mattajeng ri pare’e, le massaile’ beo atau, namashinala natuju nyili’. Namua sia manu’-manu’ luttu’ na nyili’, anging rilau temmiri to’. Namakeddana ManurungngE ri laleng mua ininnawana ManurungngE, ”pekkuarei padampu-rampu To PalanroE, le napajaneng ronang makkeda ncajiangnge’ nganga’ laoko mai ana’ mebaja ri pare’e, le muala paddeatummu le riwinna pallojangngE le na masua rituju nyili’ ”.
Artinya :
”… Sudah bosan rupanya ia menunggu di pantai, melihat ke kiri ke kanan, tidak ada sesuatu yang tampak. Kendati burung-burung yang terbang tak juga ada yang tampak. Seekor pun semut tak ada yang terlihat, bahkan angin dari timur pun enggan juga berhembus. Kemudian berkatalah di dalam hati ManurungngE, ”Apa gerangan kehendak To PalanroE, sebab jelas tadi orang tuaku mengatakan bahwa besok ananda ke Pantai. Menjemput kirimanmu di pinggir pantai ternyata tidak ada yang tampak”. 

Ketika ia telah beranjak hendak kembali, namun ia melihat sebilah kelewang tergantung pada dahan kayu beroppa dan sekapur sirih yang dibungkus dengan kain sutra yang di kirim dari Langit dan di peruntukkan kepadanya, sedang payung kebesaran sang pencipta tergantung di pohon padada bersama sebuah perisai. Berikut kutipannya dalam Sure’ I La Galigo :

”… Namaelona toritaroe tune’ ri kawa, taddewe pole ri ale’ Luwu. Napemanggana La Unga Waru, La Ula’ Balu tassappe-appe le ri takkena beropaE alameng lakko sepammanan’na ri Boting Langi’. Nanyili’ toi Pajung rakkile nannaongie To PalanroE le ri paenre ri padaE. Le’ Ula’ Balu ripasitaro kanna ulaweng sepammana’na ri Wide’ Unru’. Natallo rio ManurungngE. Watanna mua La Tonge’ Langi’ ronnang marakka palessoriwi La Unga Waru le ri takkena beroppae, pasialai Pajung Rakille’ ManurungngE, napasiala kanna ulaweng sepammana’na ri Laleng Nriu’ …”.
Artinya :
”Maka, inginlah orang yang ditetapkan sebagai tunas di Dunia kembali ke Ale’ Luwu. namun terlihatlah olehnya La Unga Waru’ La Ula’ Balu, bergantungan di tangkai pohon beroppa kelewang emas pusakanya di Boting Langi’ juga tampak olehnya payung kilat tempat bernaungnya To PalanroE dinaikkan di pohon padada La Ula’ Balu yang disimpan di perisai emas pasukannya dari Wide’ Unru’. Sangat gembira ManurungngE. La Tonge’ Langi’ sendiri bergegas menurunkan La Unga’ Waru dari tangkai pohon beroppa, diambilnya bersama dengan Pajung kilat manurung dan perisai emas pasukannya dari Laleng Nriu …”

Batara Guru pun bersuka cita dengan anugerah-anugerah dari Langit itu, tiba-tiba lautan berubah bagaikan arang yang membara. Di sebelah kirinya terdapat berbagai jenis senjata, yang segera di perebutkan dengan gembira oleh anak buahnya.

Tidak ada komentar: